APEC: Pintu Ekpsploitasi dan Kontrol (Bagian 2)

Keikutsertaan APEC: Indonesia Lebih Banyak Buntung

Forum kerjasama APEC menitikberatkan pada liberalisasi perdagangan dan investasi.  Semua usaha yang dikerahkan dalam forum APEC yang sudah berjalan selama 24 tahun pada tahapa awal lebih difokuskan pada liberalisasi perdagangan.  Usaha itu telah berhasil menurunkan tarif di kawasan APEC dari rata-rata 16,1 persen pada tahun 1989 menjadi 5,7 persen pada tahun 2012.  Sementara proses liberalisasi investasi dilakukan lebih belakangan.  Di Indonesia liberalisasi investasi baru kencang dilakukan sejak disahkannya UU Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007.

Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana manfaat dan capaian atau kerugian yang diderita negeri ini, selama ikutserta dalam forum APEC, juga bisa dilihat dari pengaruh kedua hal itu yaitu pengaruh linberalisasi perdagangan dan pengaruh liberalisasi investasi.

Perdagangan Kedodoran

Liberalisasi perdagangan mengharuskan tarif impor berbagai komoditas diturunkan bahkan dinolkan.  Dari data yan ada sejak APEC didirikan terjadi penurunan tarif rata-rata dari 16,8 persen pada tahun 1989 saat APEC didirikan menjadi rata-rata 5,7 persen pada tahun 2012.  Hambatan non tarif pun juga harus disingkirkan.  Ketika hambatan itu makin tipis dan mengarah kepada dihilangkan secara total, konsekuensinya barang dari luar pun masuk mengalir deras membanjiri pasar dalam negeri.  Ini ditunjukkan oleh terus meningkatnya angka impor sementara kinerja ekspor tidak membaik hingga menimbulkan defisit perdagangan. Bahkan angka defisit perdagangan tahun 2012 menjadi tertinggi sejak 1961.

Lonjakan impor itu terjadi hampir pada semua sektor, baik pertanian maupun industri. Jika dilihat data Badan Pusat Statistik 2013 (http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01apr13.pdf ) sebagian besar impor Indonesia adalah impor bahan baku yang mencapai 76,90 persen, impor barang modal 16,83 persen, sedangkan impor barang konsumsi sebesar 6,27 persen.

Di dalam Booklet Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2013 yang dikeluarkan oleh BPS disebutkan nilai impor barang modal dan beberapa komoditas tahun 2009 sebesar USD 47,283 miliar lalu naik menjadi USD 66,946 miliar tahun 2010, naik lagi menjadi USD 92,577 miliar dan naik menjadi USD 107,193 miliar tahun 2012.

Impor secara keseluruhan terus mengalami kenaikan tajam.  Nilai impor keseluruhan tahun 2009 mencapai USD 96,829 miliar, lalu naik menjadi USD 135,663 miliar tahun 2010, lalu naik menjadi USD 177,436 miliar dan naik lagi menjadi US 191,690 miliar tahun 2012.

Pada tahun 2011 neraca perdagangan mencetak surplus USD 26,1 miliar.  PErlu dicatat nilai ekspor pada 2011 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sementara pada tahun 2012 neraca perdagangan mengalami defisit USD 1,63 miliar.  Sementara pada tahun 2013 sampai Agustus juga terjadi defisit neranca perdagangan mencapai USD 5,5 miliar.

Perkembangan drastis neraca perdagangan 2011-2012 dari surplus USD 26,1 miliar tahun 2011 menjadi defisit USD 1,63 miliar tahun 2012 menandakan ekspor Indonesai tidak stabil.  Sebab dari sisi impor terus mengalami kenaikan.  Ketidakstabilan nilai ekspor itu disebabkan surplus neraca perdagangan tersebut ditopang oleh hanya beberapa komoditas utama, yaitu gas, batubara dan CPO.  Jika harga komoditi utama itu turun maka nilai ekspor pun langsung turun signifikan.  Berdasarkan data Bank Dunia, harga komoditas utama Indonesia jatuh cukup dalam sepanjang 2012. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) turun 32,35% dari US$1.027 per metrik ton (mt) menjadi hanya US$776 per metrik ton. Harga minyak biji sawit (kernel palm oil/KPO) terjun bebas 79,40% dari US$1.367 per mt menjadi hanya US$762 per mt. Harga batu bara sendiri turun 18,07% dari US$109,66 per mt menjadi US$92,88 per mt.

Minyak mentah, gas, minyak kelapa sawit (CPO dan KPO) dan Batubara menjadi pilar utama yang menopang nilai ekspor Indonesia.  Sumbangan keempat komoditi itu selama empat tahun terakhir (2009-2012) mencapai sepertiga dari total nilai ekspor Indonesia, seperti terlihat dalam tabel berikut:

 

Tabel Share Nilai Ekspor Komoditas Utama

Komoditi

2009

(Total ekspor
USD 116.510,0 juta)

2010

(Total ekspor
USD 157.779,1 juta)

2011

(Total ekspor
USD 203.496,6 juta)

2012

(Total ekspor
USD 190.020,3 juta)

USD juta

%

USD juta

%

USD juta

%

USD juta

%

Minyak bumi mentah

7.820,3

6,71

10.402,9

6,59

13.828,7

6,80

12.293,3

6,47

Gas

8.935,7

7,67

13.669,5

8,66

22.871,5

11,24

20.520,4

10,80

Minyak Kelapa Sawit

10.367,6

8,90

13.469

8,54

17.261,2

8,48

17.602,2

9,26

Batubara

13.817,1

11,86

18.499,4

11,72

27.221,9

13,38

26.166,3

13,77

Jumlah

40.940,7

35,14

56.040,8

35,52

81.183,3

39,89

76.582,2

40,30

Diolah dari data tabel Ekspor Migas dan Beberapa Produk Unggulan Non-migas, 2009-2012.

Sumber: Booklet Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2013

 

Fakta ini memberikan gambaran tentang profil ekspor.  Data ini juga menunjukkan kenapa pemerintah begitu ngotot dalam forum internasional terkait dengan masalah minyak kelapa sawit, sebab selama empat tahun sumbangan minyak kelapa sawit terhadap total nilai ekspor mencapai lebih dari 10 persen dan terus meningkat.

Data terebut juga memberikan gambaran bahwa ekspor Indonesia didominasi oleh sumber energi dan bahan mentah.  Data diatas belum ditermasuk ekspor bahan mentah seperti mineral tembaga, bauksit, besi, dsb; bahan mentah produk pertanian seperti kakao, kopi, teh. Ini memberikan gambaran bahwa Indonesia lebih berposisi sebagai pemasok sumber energi dan bahan mentah yang sangat diperlukan oleh industri negara maju.

 

Pertanian Terpuruk

Menurut data Kementerian Pertanian, nilai impor pertanian pada 2004 baru sekitar USD 5 miliar, naik menjadi USD 5,2 miliar pada 2005, lalu naik menjadi USD 8,6 miliar pada 2007, dan melonjak menjadi USD 20,6 miliar pada 2011. Artinya selama 2004-2011 nilai impor pertanian naik empat kali lipat.

Disisi lain, liberalisasi mengharuskan pengurangan bahkan pencabutan berbagai subsidi bagi petani. Para petani dan produsen pertanian pun kedodoran dan kalah bersaing dengan produk pertanian dari luar yang harganya murah.  Impor pertanian pun terus membengkak dan ketergantungan kepada pangan impor makin besar, seperti dalam kasus kedelai, kacang merah, jagung, daging sapi, sayuran, produk hortikultura bahkan singkong dan garam.

Tahun 2011, baik ubi kayu segar maupun olahan, Indonesia menggelontorkan dollar AS sebesar US$ 211.254.000, atau setara dengan Rp 2,3 triliun. Pada 2010, Indonesia mengimpor tomat sebanyak 10.429 ton, bawang merah 64.247 ton, bawang putih 367.007 ton, cabe 18.358 ton, dan kentang 50.384 ton, bahkan bawang daun juga diimpor sebanyak 454 ton. Begitu juga kacang merah 225 ton, dan buncis 7.751 ton, serta sayuran lainnya mencapai 266.436 ton.

Neraca nilai perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Pada 2009 neraca nilai perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia, menunjukkan negatif sebesar US$ 2,4 miliar, pada 2010 kembali negatif yang justeru lebih besar, yaitu US$ 3,42 miliar, dan semakin parah lagi pada 2011, yaitu negatif US$ 6,44 miliar.

Setidaknya ada empat komoditas impor utama tanaman pangan Indonesia, yang dapat dihasilkan di Indonesia tetapi menggunakan dollar Amerika Serikat untuk membelinya pada 2011 adalah sebagai berikut: beras (US$ 1,54 miliar), kedelai (US$ 1,25 miliar), jagung (US$ 1,03 miliar) dan kacang tanah (US$ 0,27 miliar).

Indonesia juga membelanjakan devisa yang cukup besar untuk mengimpor komoditas peternakan, yaitu melebihi US$ 3 miliar pada 2011. Dan, nilai impor komoditas peternakan Indonesia terus meningkat, yaitu 2009 (US$ 2,13 miliar), 2010 (US$ 2,77 miliar).

Akibat dari liberalisasi pertanian itu, hampir pada sebagian besar komoditas kita tergantung pada asing.  Terkait dengan komoditas pangan utama juga mengalami hal yang sama.  Padahal ini sangat menentukan ketahana pangan dan kestabilan. AKibat tergantung pada asing atau impor maka nasib rakyat negeri ini akhirnya berada di bawah belas kasihan asing atau ada ditangan para importir.  Kasus ginjang ganjing harga kedelai, daiging sapi, gula, sayur-sayuran sebagainya jelas membuktikan hal itu.  Celakanya pemerintah manut begitu saja dengan skenario liberalisasi itu.

Bahkan di negara agraris ini, usaha bidang pertanian justru tidak memberikan harapan menjanjikan.  Akibatnya banyak petani yang tidak mau lagi bertani.  Dalam 10 tahun terakhr jumlah petani terus menyusut. Menurut data BPS, jumlah petani pada 2003 lalu masih mencapai 31,17 juta orang. Namun hingga pertengahan tahun 2013 ini, jumlahnya sudah menurun menjadi 26,13 juta orang.  Ini berarti dalam sepuluh tahun terakhir ada penurunan jumlah petani sebesar 5,04 juta orang atau ada penurunan 1,75 persen per tahun. Penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 40,61 juta orang di tahun 2004 menjadi 39,96 juta orang pada 2013. Sementara itu, persentasenya menurun dari 43,33 persen di 2004 menjadi 35,05 persen di 2013.

 

Industri Menyusut Akibat Deindustrialisasi

Jika sektor pertanian yang menopang kehidupan sebagian besar rakyat negeri ini kondisinya memble, dan terus mengalami kemunduran, selama keikutsertaan negeri ini dalam APEC, bagaimana dengan sektor industri?

Data-data yang ada menunjukkan sektor industri juga mengalami kemunduran.  Hal itu akibat industri dalam negeri tidak mampu bertahan dan memenangkan persaingan menghadapi gempuran dari derasnya produk indiustri dari luar yang terus membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang murah.  Banjirnya produk industri luar negeri itu terjadi sejak dilakukannya liberalisasi perdagangan dengan diturunkannya tarif dan hambatan non tarif.  Bahkan pada beberapa komoditi tarif sudah dinolkan.

Dalam sektor industri, banyak industri dalam negeri yang tidak bisa bersaing dengan produk luar yang terus membanjiri pasar dalam negeri dengan harga lebih murah.  Akibatnya banyak perusahaan terpaksa gulung tikar dan tutup.  Hal itu bisa dilihat dari data BPS tentang Jumlah Perusahaan Menurut Sub Sektor 2001-2010, seperti terlihat dalam tabel berikut:

 

Jumlah Perusahaan Menurut Sektor 2006 – 2010

Subsektor

2006

2007

2008

2009

2010

2006-2010
Makanan dan minuman

6 615

6 341

6 063

5 871

5 579

-1 036

Tembakau

1 286

1 208

1 131

1 051

978

– 308

Tekstil

2 809

2 820

2 355

2 601

2 585

– 224

Pakaian jadi

3 256

2 917

2 655

2 140

1 968

-1 288

Kulit dan barang dari kulit

813

764

685

669

662

– 151

Kayu, barang dari kayu, dan anyaman

1 782

1 648

1 435

1 252

1 237

– 545

Kertas dan barang dari kertas

526

553

477

452

505

– 21

Penerbitan, percetakan, dan reproduksi

897

789

748

695

463

– 434

Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar nuklir

73

96

84

73

75

 2

Kimia dan barang-barang dari bahan kimia

1 179

1 151

1 082

1 089

1 084

– 95

Karet dan barang-barang dari plastik

1 847

1 774

1 715

1 639

1 660

– 187

Barang galian bukan logam

2 047

1 916

1 783

1 698

1 616

– 431

Logam dasar

276

260

237

234

256

– 20

Barang-barang dari logam dan peralatannya

1 020

981

902

913

898

– 122

Mesin dan perlengkapannya

477

436

435

409

402

– 75

Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data

10

10

9

9

10

 0

Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya

279

285

271

248

245

– 34

Radio, televisi, dan perlatan komunikasi

227

227

205

216

220

– 7

Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam

61

70

70

67

68

 7

Kendaraan bermotor

336

302

305

283

278

– 58

Alat angkutan lainnya

380

380

333

324

326

– 54

Furniture dan industri pengolahan lainnya

3 135

2 914

2 569

2 409

2 191

– 944

Daur ulang

137

156

145

126

39

– 98

Total

29 468

27 998

25 694

24 468

23 345

6 123

Ket: diolah dari data BPS

 

 

Data ini memperlihatkan pada tahun 2007 ada 1.470 perusahaan tahun sebelumnya yang lenyap.  Lalu tahun 2008 ada 2.304 perusahaan lenyap tehun seelumnya lenyap.  Tahun 2009 sebanyak 1.226 perusahaan tahun sebelumnya hilang dari peredaran.  Dan pada tahun 2010 sebanyak 1.123 perusahaan tahun sebelumnya tidak mampu bertahan dan harus lenyap.  Sehingga total selama periode 2006-2010 sebanyak 6.123 perusahaan tidak mampu bertahan dan harus tutup.

Secara lebih rinci dari data tabel diatas dapat dilihat bahwa dari tahun 2006-2010 jumlah perusahaan makanan dan minuman turun dari 6.615 menjadi 5.579 (sebanyak 1.036 perusahaan lenyap); perusahaan tembakau turun dari 1.286 tahun 2006 menjadi 978 tahun 2010 (308 perusahaan lenyap); perusahaan tekstil turun dari 2.809 tahun 2006 menjadi 2.585 tahun 2010 (224 perusahaan lenyap); perusahaan pakaian jadi turun dari 3.256 tahun 2006 menjadi 1.968 tahun 2010 (1.288 perusahaan lenyap); perusahaan barang kayu, barang dari kayu dan anyaman turun dari 1.782 tahun 2006 menjadi 1.237 tahun 2010 (545 perusahaan lenyap); perusahaan penerbitana, percetakan dan reproduksi turun dari 897 tahun 2006 menjadi 463 pada tahun 2010 (434 perusahaan lenyap); perusahaan karet dan barang-barang dari plastik turun dari 1.847 tahun 2006 menjadi 1.660 tahun 2010 (187 perusahaan lenyap); perusahaan barang galian bukan logam turun dari 2.047 tahun 2006 menjadi 1.616 tahun 2010 (431 perusahaan lenyap); perusahaan barang-barang dari logam dan peralatannya turun dari 1.020 tahun 2006 menjadi 898 tahun 2010 (122 perusahaan lenyap); perusahaan furniture dan industri pegolahan lainnya turun dari 3.135 tahun 2006 menjadi 2.191 tahun 2010 (944 perusahaan lenyap).  Dan secara total sebanyak 6.123 bermacam perusahaan lenyap (29.468 perusahaan tahun 2006 menjadi 23.345 perusahaan tahun 2010).  Lenyapnya 6.123 perusahaan termasuk diantaranya perusahaan padat karya seperti tembakau, makanan dan minuman, tekstil, pakaian jadi, dsb, tentu mengakibatkan puluhan atau ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dan berikutnya keluarga mereka jutaan orang juga mengalami kesulitan karena kepala keluarga atau anggota keluarganya kehilangan pekerjaan.

Itu artinya selama periode tahun 2006 – 2010 yang terjadi adalah deindustrialisasi.  Yaitu proses dimana industri bukannya berkembang tetapi justru mengalami penyusutan.  Sektor yang paling deras proses deindustrialisasinya adalah industri pakaian jadi; makanan dan minuman; furniture dan pengolahan lain; kayu, barang dari kayu dan anyaman; penerbitan, percetakan dan reproduksi; barang galian bukan logam; tembakau; tekstil; kulit dan barang dari kulit; barang-barang logam dan peralatannya.  Tentu perusahaan-perusahaan itu tutup karena tidak mampu bertahan.  Salah satu faktor utama adalah besarnya serbuan barang impor dengan harga yang murah dan semakin besarnya biaya akibat kenaikan BBM, listrik, bahan baku.  Dan jika dikerucutkan, semua itu karena lemahnya atau bahkan tidak adanya dukungan dari pemerintah.  Itu artinya, industri dan dunia usaha pada umumnya dibiarkan masuk dalam persaingan bebas akibat liberalisasi yang dilakukan pemerintah sementara pemerintah tidak menyiapkan mereka, tidak memberikan perlindungan dan dukungan agar mereka minimalnya bisa bertahan dan syukur-syukur bisa memenangkan persaingan.

Deindustrialisasi itu bisa dianggap sebagai dampak yang sangat serius dari liberalisasi yang dilakukan selama ini, yang diantaranya dilakukan sebagai konsekuensi dari keikutsertaan dalam APEC.  Sebab industrialisasi berarti terjadinya penciptaan nilai tambah atas bahan baku.  Dengan terjadinya deindustrialisasi maka penciptaan nilai tambah itu akan lambat atau bahkan tidak terjadi.  Maka pada akhirnya bahan baku dan sumber daya alam yang ada di dalam negeri akan dijual dalam bentuk mentah.  Tentu saja lambat laut akan habis.  Sayangnya hal itu tidak disertai perolehan yang besar, sebab perolehan besar itu terjadi dengan adanya penciptaan nilai tambah melalui pengolahan dalam industri.  Disamping itu, industrialisasi adalah pra syarat menjadi negara maju.  Jika yang terjadi justru deindustrialisasi, maka angan-angan menjadi negara ekonomi maju akan semakin jauh dari kenyataan.  Itu artinya negeri ini akan terus menjadi negara ekonomi berkembang atau malah mengalami kemunduran.  Konsekuensinya, negeri ini akan terus menjadi obyek, bukan subye; akan terus dieksploitasi.

Proses deindustrialisasi dengan lenyapnya ribuan perusahaan itu, tentu berakibat hilangnya lapangan kerja dari sektor industri.  Meski bisa saja, perusahaan baru yang muncul atau perusahaan lama berkembang kapasitasnya sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan baru.  Namun bukan berarti pekerjaan yang kehilangan pekerjaan dari sektor lainnya lantas ditampung di lapangan kerja baru yang terbuka itu.  Dari data jumlah tenaga kerja di perusahaan besar dan sedang menurut sektor yang dirilis oleh BPS, ternyata selama periode 2006 – 2010, jumlah tenaga kerja di perusahaan besar dan sedang justru menyusut.

 

 

Jumlah Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang Menurut Sektor 2006-2010

Subsektor

2006

2007

2008

2009

2010

2006 – 2010

Makanan dan Minuman

 784.129

 748.155

 721.457

 714.824

 715.648

– 68.481

Tembakau

 316.991

 334.194

 346.042

 33.159

 327865

 10.874

Tekstil

 57.271

 558.766

 484.732

 498.005

 52.547

– 4.724

Pakaian jadi

 583.634

 523.118

 495.518

 464.777

 48.147

– 535.487

Kulit dan barang dari kulit

 237.626

 210.854

 219.792

 219.071

 225.481

– 12.145

Kayu, barang dari kayu, dan anyaman

 299.278

 279.622

 241.226

 214.991

 219.641

– 79.637

Kertas dan barang dari kertas

 12.643

 134.305

 126.883

 120.001

 126.379

 113.736

Penerbitan, percetakan, dan reproduksi

 65.561

 58.519

 59.065

 6.098

 44.915

– 20.646

Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir

 5.853

 9.018

 6.727

6.711

6.964

1.111

Kimia dan barang-barang dari bahan kimia

 208.406

 213.095

 19.999

 211.667

 216.433

 8.027

Karet dan barang-barang dari plastik

 348.405

 343.155

 360.181

 339.297

 36.349

– 312.056

Barang galian selain logam

 19.063

 177.304

 176.459

 175.127

 171.313

 152.250

Logam dasar

 65.069

 64.233

 64.099

 60.632

 64.643

– 426

Barang-barang dari logam dan peralatannya

 111.388

 129.577

 14.733

 126.921

 142.885

 31.497

Mesin dan perlengkapannya

 106.321

 83.714

 87.192

 71.276

 74.751

– 31.570

Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data

 1.477

 3.427

 3.009

 2.892

 2.908

 1.431

Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya

 79 .996

 82.764

 77.094

 80.529

 80.611

  615

Radio, televisi, dan peralatan komunikasi

 141.672

 147.283

 117.274

 130.173

 134.414

– 7.258

Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam

 20.275

 23.412

 25.071

 19.938

 20.805

  530

Kendaraan bermotor

 86.066

 79.216

 86.928

 85.362

 92.999

 6.933

Alat angkutan lainnya

 72.474

 85.925

 91.136

 81.761

 97.376

 24.902

Furniture dan industri pengolahan lainnya

 325.362

 326.785

 313.656

 322.741

 362.437

 37.075

Daur ulang

  595

 8.496

 7.071

 5.908

 2.247

 1.652

Jumlah

4.755.703

4.624.937

4.457.932

4.345.174

4.501.145

– 254.558

Ket: diolah dari data BPS

 

Sektor pertanian selama 10 tahun terakhir jumlah petani berkurang 5 juta orang.   Itu artinya 5 juta orang itu tidak lagi bekerja di sektor pertanian.  Dikatakan bisa jadi mereka beralih masuk bekerja di sektor industri.  Tapi data perkembangan jumlah pekerja di industri besar dan sedang diatas, selama periode 2006-2010 ternyata justru jumlah tenaga kerja di industri besar dan sedang berkurang 254.558 orang tenaga kerja.  Maka jangankan menampung limpahan dari sektor pertanian, mempertahankan jumlah tenaga kerjanya saja sektor industri besar dan sedang tidak berdaya.  Gabungan kedua data sektor pertanian dan industri besar dan sedang itu, mengindikasikan ada 5,254 juta orang yang kehilangan pekerjaan selama periode 2006-2010.  Kondisi kedua sektor tersebut yaitu pertanian dan sektor industri besar dan sedang selama 2010-2013 juga tidak mengalami perbaikan signifikan.  Proses deindustrialisasi juga terus terjadi.  Pertanian juga terus mengalami keterpurukan.  Dengan kondisi seperti itu, sulit diprediksi akan terbukan lapangan kerja apalagi dalam jumlah 5,254 juta selama tiga tahun terakhir.  Kondisi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan terhadap klaim terus turunnya angka pengangguran yang selama ini diklaim pemerintah.

 

Liberalisasi Investasi : Makin Dikuasai Asing

Liberalisasi investasi mengharuskan pintu investasi asing dibuka selebar-lebarnya, kepemilikan asing atas usaha di dalam negeri dan bidang usaha untuk investasi asing tidak boleh dibatasi.  Dalam UU Penananam Modal No. 25/2007, modal asing dan modal dalam negeri diperlakukan sama.  UU ini menfasilitasi penguasaan lahan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun. Padahal zaman Agrariches Wet-nya kolonial Belanda penggunaan tanah oleh swasta hanya dibolehkan hingga 75 tahun.

Sementara berdasarkan daftar negative investasi yakni Perpres 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, hampir seluruh sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, migas, keuangan dan perbankkan boleh dikuasai oleh modal asing secara mayoritas bahkan hingga 95 %.

Akibatnya, perekonomian negeri ini sebagian besar dikuasai asing.  Asing menguasai sebagian besar industri migas, perbankan, manufaktur, dsb.  Bahkan banyak perusahaan dalam negeri akhirnya dikuasai asing.

Sebagian besar kebutuhan hidup di negeri ini dikuasai asing.  Mulai air minum dalam kemasan dari Pure Life Netsle perusahaan Swiss dan Aqua yang dikuasai Danone Perancis; kecap Cap Bango dan Teh Sariwangi dimiliki Unilever Inggris;  Susu SGM milik Sari Husada 82% sahamnya dikuasai Numico Belanda; sabun Lux, Pepsodent dan aneka shampo dikuasai Unilever, Inggris. Berasnya impor dari Thailand dan Vietnam, gula impor dari Meksiko dan India. Motor/mobil dari perusahaan Jepang, Cina, India, Eropa atau Amerika. Segala macam peralatan elektronik, komputer, ponsel buatan perusahaan Jepang, Korea, atau Cina. Operator tetepon mayoritas dikuasai asing baik Indosat, XL, Telkomsel.  Belanja? Carrefour punya Perancis, Alfamart 75% sahamnya punya Carrefour; Giant dan Hero dikuasai Dairy Farm International, Circle K dari Amerika dan Lotte dari Korsel. Beberapa Bank (BCA, Danamon, BII, dan Bank Niaga) sudah milik asing meksi namanya masih Indonesia. Bangun rumah pakai semen: Tiga Roda Indocement milik Heidelberg, Jerman (61,70%), Semen Gresik milik Cemex Meksiko dan Semen Cibinong milik Holcim (Swiss).

 

Wahai Kaum Muslimin

Jalan semua itu dibuka lebar oleh kebijakan liberalisasi ekonomi, perdagangan dan investasi yang diusung langsung oleh forum APEC.  Semua anggotanya harus mengikuti dan memenuhi semua yang digariskan dalam forum APEC yang tentu lebih ditentukan oleh negara maju.  Maka secara langsung APEC adalah jalan penguasaan asing atas negeri ini khususnya dibidang ekonomi.  Tak terkecuali ajang APEC kali ini, disinyalir akan dilakukan penandatanganan perpanjangan kontrak Freeport.  Sekaligus APEC juga menjadi pintu kontrol untuk mengarahkan kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya yang terkait.

Maka APEC secara langsung memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai negeri ini dan penduduknya yang mayoritasnya muslim.  Ini jelas perkara yang tidak dibenarkan, sebab Allah SWT berfirman:

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman (TQS an-Nisa’ [4]: 141)

 

Maka semua itu harus segera diakhiri.  Hal itu tidak bisa terwujud selama sistem kapitalisme yang melahirkan dan memelihara APEC tetap dipertahankan dan karenanya sistem kapitalisme itu harus segera dicampakkan.  Hal itu hanya akan terwujud melalui penerapan syariah Islam secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.  Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS HTI]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*