Ucapan presiden SBY dhadapan lebih dari 1200 pemimpin bisnis dari 21 negara-negara APEC memang terbukti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut dirinya sebagai Chief Salesperson Indonesia Inc.
“Sebagai Chief Salesperson Indonesia Inc, saya mengundang Anda untuk menjajaki peluang bisnis dan investasi di Indonesia,” ujarnya dalam pidato pembukaan acara APEC CEO Summit 2013.
Untuk melancarkan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada asing, saat ini sedang disusun RUU Perdagangan yang sarat liberalisasi. Revrisond Baswir seperti yang dilansir Suara Karya online (3/10), menyatakan Naskah akademik RUU Perdagangan yang disusun dan diajukan Kementerian Perdagangan ke DPR mencerminkan betapa buruknya apresiasi terhadap perdagangan nasional.
Menurutnya isi naskah akademik RUU Perdagangan terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan pun tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh simpati dan penghormatan.
Simak, misalnya, pembahasan mengenai hierarki berbagai kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Berbagai kerja sama perdagangan internasional yang selama ini diikuti Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut.
Posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, menyusul Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC, ASEAN+3, dan ASEAN+1. Akhirnya, di bawah ASEAN+1 terdapat berbagai kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral.
Menurut naskah akademik RUU Perdagangan, kerja sama bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan. “Kelemahan kerja sama bilateral itu adalah kemungkinan terjadinya hub-spokes problem, di mana jumlah komoditas nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh lebih banyak ketimbang bila ia maju atas nama ASEAN. Namun, apabila kerja sama bilateral itu tidak dilakukan, negara anggota yang tidak melakukan akan mengalami kerugian (opportunity cost) karena negara anggota lainnya sudah terlebih dahulu (first mover advantage) melakukan kerja sama bilateral.”
Sikap hormat berlebihan itu dapat disimak pula ketika berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut naskah akademik RUU Perdagangan: “Pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional: WTO, GATS, ASEAN Economic Community, dan lain-lain.”
Masih menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu, pradigma liberalisasi sangat vulgar terlihat sejak halaman pertama. Pada Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan Filosofis yang mendasari penyusunan NA RUU Perdagangan. Menurut NA RUU Perdagangan: “Market mechanism is the best mechanism for the economy.” Dengan landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi liberal itu, kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu tampaknya memang disusun sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945.
Dalam Bab II dan III, asas-asas yang digunakan dalam menyusun NA RUU Perdagangan itu antara lain mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen keempat). Sehubungan dengan itu, salah satu asas yang digunakan adalah asas demokrasi ekonomi, yang sepintas pencantuman asas itu memang tampak heroik, namun sesungguhnya hanya basa-basi karena tiadanya definisi yang jelas.
“Bahkan, tidak berlebihan, menurut Kementerian Perdagangan, demokrasi ekonomi sesungguhnya hanya slogan kosong yang tidak jelas ujung-pangkalnya,” ujarnya. (AF)