Konferensi Pers Roundtable Discussion Tokoh Perempuan “Melawan Imperialisme AS terhadap Perempuan di Asia Tenggara Melalui KTT APEC dan Rezim Pasar Bebas”
HTI Press. Konferensi pers Roundtable Discussion Tokoh Perempuan “Melawan Imperialisme AS terhadap Perempuan di Asia Tenggara melalui KTT APEC dan Rezim Pasar Bebas” menampilkan Ibu Fika Monika Komara (anggota Central Media Office of Hizb-Ut Tahrir), Sister Sumayyah Ammar (anggota Muslimah Hizbut Tahrir Malaysia) dan Ustadzah Iffah Ainur Rochmah (Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia). Konferensi pers diawali dengan pembacaan press release, masing-masing oleh Iffah dan Fika.
Sister Sumayyah sebagai wakil Muslimah HT Malaysia menyatakan, bahwa MHTM menolak sekeras-kerasnya berbagai perjanjian karena merupakan penjajahan. Sedangkan, segala insentif dan dana yang diberikan oleh pemerintah negara anggota APEC kepada rakyat, khususnya pemerintah Malaysia, semata-mata adalah untuk kepentingan pemerintah kerajaan, bukan dalam rangka kesejahteraan rakyat.
Fika juga menyampaikan beberapa catatan penting CMO, terkait APEC: (1) APEC adalah organisasi para kapitalis untuk memperalat perempuan di Asia Tenggara dalam rangka menyelamatkan negara mereka (penjajahan. negara maju) yang sedang krisis ekonomi; (2) berharap pada insan media untuk dapat memberitakan bahwa rezim perdagangan bebas hanya berakibat pada penderitaan rakyat secara luas; (3) menyeru tokoh-tokoh perempuan sekawasan (Asia Pasifik) agar tidak tertipu dengan janji-janji manis yang sejatinya merupakan racun untuk makin memiskinkan dan mengeksploitasi perempuan.
Pada sesi diskusi, Santi dari Radio Cakrawala, menanyakan penjelasan tentang butir-butir perjanjian APEC. Iffah menyampaikan jawaban, bahwa ada 7 poin kesepakatan yang kesemuanya berkisar pada bagaimana mencapai tema besar APEC, bahwa Asia Pasifik adalah Motor for Economic Growth. “Semuanya soal bagaimana negara-negara Asia Pasifik dapat menjadi pasar bagi komoditas dari negara-negara besar, yaitu dengan memudahkan pintu masuknya ke negara pasar, misalnya dengan konsep connectivity. Karenanya, harus ada tindakan afirmasi yang lebih besar bagi kaum perempuan agar bisa meningkatkan taraf ekonomi negaranya. Tapi sejatinya ini tidak menyentuh akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Lihat, banyak perempuan Indonesia yang bekerja karena desakan ekonomi. Buruh migran contohnya, mereka jauh dari keluarga dan perlindungan dari negaranya. Mereka semua melakukan ini karena kemiskinan. Oleh karenanya, kami ingin menyadarkan masyarakat bahwa ini tidak akan mengentaskan perempuan dari kemiskinan, tapi justru makin memiskinkan perempuan. Ironisnya, para pemangku kebijakan di negeri ini tidak jauh dari konsep Women Empowerment dalam bidang ekonomi. Ini adalah kesesatan berpikir. Karena sebenarnya ada kesalahan pengelolaan sumberdaya alam, tapi perempuan dijadikan tameng bagi pemberdayaan ekonomi. Eksesnya makin luas dirasakan, karena makin banyaknya perempuan masuk ke dunia kerja dan menimbulkan problem sosial yang muncul secara simultan. Harusnya ini dihentikan, bukan malah membuka pintu.”
“Karenanya, perlu ada koreksi mendasar. Mengalihkan perempuan pada pemberdayaan ekonomi sama saja mengalihkan rakyat dari persoalan yang mendasar yang melanda kehidupan mereka. Kami dari Muslimah HT memberikan solusi berdasarkan Islam. Kami menganggap bahwa ini bukan semata persoalan teknis. Kami akan mulai dengan mengajak dan menyadarkan bagaimana seharusnya kita memberdayakan perempuan. Dari sinilah seharusnya negara mengaruskan program-program pemberdayaan perempuan,” tegas Ustadzah Iffah.
“Action resmi HT adalah menyadarkan umat melalui edukasi dan pencerdasan umat, disamping melakukan sounding kepada pemerintah. Misalnya dengan mengundang para birokrat ke acara ini, seperti Ibu Linda Gumelar,” tambah Fika.
Sister Sumayyah menambahkan tentang fenomena kenaikan pusaran hidup di Malaysia. “Kaum laki-laki di Malaysia, meski sudah bekerja tapi terkadang masih kurang hasilnya. Sehingga harus dibantu oleh istrinya untuk bekerja, agar cost untuk 1 keluarga dapat ditanggulangi. Belum lagi dengan side effect bagi perempuan bekerja, seperti peningkatan angka kasus kematian anak akibat tersedak susu. Ini akibat kurang perhatiannya para pengasuh di tempat penitipan anak. Karena jumlah anak yang dititipkan di tempat penitipan anak terlampau banyak. Ditambah dengan adanya fakta bahwa tiap 15 menit terjadi 1 kasus perceraian. Jadi dapat disimpulkan, kehidupan di Malaysia sejatinya sudah seperti di Barat. Demikian pula dari sisi jerat ekonomi TPPA (Trans-Pacific Partnership Agreement) sebagai perjanjian yang dimotori oleh AS. Ketergabungan Malaysia jelas merugikan, karena konsekuensinya adalah lebih kuatnya ikatan Malaysia dengan kepentingan AS.”
Di akhir sesi diskusi, ada pertanyaan dari jurnalis Republika, tentang bagaimana sikap HT menyikapi eksploitasi perempuan yang banyak terjadi di depan mata. “Tidak selayaknya perempuan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga atau pahlawan remitansi negara. Yang mana tiap tahun jumlahnya bertambah dan tiap tahun angka kasusnya juga meningkat. Terlebih di luar negeri, Indonesia dikenal sebagai pengekspor TKW. Dalam Islam, perempuan adalah kehormatan keluarga dan kehormatan bangsanya,” tegas Iffah.
“Kasus penyiksaan pada pembantu sebenarnya tidak hanya di luar negeri, tapi juga di dalam negeri. Ini karena negara tidak punya action untuk mencegah kezholiman, karena berideologi kapitalisme berkonsekuensi pada mandulnya dari peran tersebut,” tambah Fika.
“Bayangkan jika dalam sebuah keluarga, ayah dan ibu bekerja sementara pembantu harus menjaga anak-anak dalam waktu yang panjang (pagi-malam). Mau tidak mau, ini menimbulkan stres dan kepenatan. Misal, saat mereka pulang kerja dan menemukan keadaan rumah yang berantakan, pastinya berlanjut pada ketegangan antara majikan dan pembantu. Ini tidak ada kaitannya dengan sekat nasionalisme, apakah pembantunya berasal dari Indonesia (maid indon) atau tidak. Jadi tidak ada kaitannya juga dengan sentimen negara asal maid-nya,” ulas Sister Sumayyah, menutup sesi konferensi pers.