Imperialisme AS di Balik Topeng APEC
Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasiyah DPP MHTI)
APEC Melempangkan Jalan Menuju Pasar Bebas
Sejak awal sejarahnya APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) adalah organisasi buatan negara-negara Kapitalis dalam rangka menjaga kepentingan ekonominya. Diprakarsai oleh Perdana Menteri Australia, Bob Hawke, APEC resmi dibentuk pada bulan Nopember 1989 di Canberra, Australia. Liberalisasi perdagangan dan investasi adalah merupakan sasaran utama APEC. Hal ini menjadi sangat jelas sejak Deklarasi Bogor tahun 1994 ketika para pemimpin APEC menetapkan sasaran perdagangan bebas dan investasi untuk negara maju tahun 2010 dan negara berkembang 2020.
Sejak digelarnya APEC Economic Leaders Meeting (AELM) di Seattle, AS, tahun 1993, setiap tahun dilahirkan deklarasi atau kesepakatan bersama di antara para pemimpin negara-negara anggota APEC. Dan dalam perjalanannya APEC mengalami perubahan strategi dalam membuka pasar. Jika sebelumnya ditentukan deadline bagi negara-negara anggota untuk membuka pasarnya pada tahun 2010 (untuk negara maju) dan 2020 (untuk negara berkembang), maka kini proses diubah menjadi keterbukaan pasar secara sektoral satu per satu. Artinya, negara anggota yang merasa sudah siap, bisa menentukan sendiri sektor apa saja yang secepatnya mencapai ke-terbukaan pasar. Sedangkan negara yang belum siap menyusul kemudian. Inilah yang kemudian disebutkan sebagi liberalisasi dini secara sukarela (EVSL/ Early Voluntary Sectoral Liberalization).
Menurut pengamat dari CSIS, R. Pande Silalahi, adanya perubahan tersebut menunjukkan adanya keinginan untuk menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi lebih cepat. Dan dalam waktu yang bersamaan menunjukkan adanya keraguan akan kekompakan negara anggota dalam mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa setiap negara mendukung liberalisasi perdagangan dan investasi, bila dengan itu kemakmuran masyarakat dapat ditingkatkan secara berarti. Sebaliknya, bila liberalisasi tidak segera menghasilkan manfaat, bahkan untuk sementara membebani masyarakat, akan muncul ketidaksetujuan, atau alternatif lain yang dianggap lebih baik. (http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F31412/dimana-apec.htm)
Keinginan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan dan investasi ini juga terlihat pada banyaknya desakan yang dilakukan AS dalam banyak forum. Salah satunya adalah desakan untuk merampungkan Kemitraan Trans Pasifik. Wakil Amerika di APEC Bart Peterson yang ditemui di sela-sela “Asian Architecture Conference” di CSIS Washington DC hari Kamis mengatakan, TPP adalah target utama untuk dirampungkan dalam forum APEC di Bali. “Kemitraan Trans Pasifik adalah kesempatan emas – satu lagi langkah lain menuju perjanjian perdagangan bebas bagi negara-negara Asia Pasifik, yang menjadi tujuan sesungguhnya bagi APEC dan komunitas bisnis di dalam APEC. Jadi kami benar-benar berharap agar Kemitraan Trans Pasifik ini akan dirampungkan segera dan tidak saja menjadi model perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik tetapi juga di seluruh dunia,” kata Peterson.
Kemitraan Trans Pasifik digagas oleh Amerika dan blok negara-negara maju yang tergabung dalam G8 dan diharapkan mulai berjalan sebelum akhir tahun 2013. Negara-negara yang masuk dalam TPP adalah Amerika, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam. Bulan Maret lalu Jepang secara mengejutkan memutuskan untuk ikut bergabung dalam TPP. Ke-12 negara ini kemudian mengadakan perundingan putaran ke 18 di Kinabalu – Malaysia pada bulan Juli dan akan kembali bertemu dalam forum APEC di Bali – Indonesia Oktober 2013. (voaindonesia,12/9)
Selain itu upaya pengarusan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan dan investasi ini juga nampak pada desakan terbentuknya Komunitas ASEAN 2015. Saat ini ASEAN sedang mengintensifkan usahanya untuk mewujudkan Komunitas ASEAN, yaitu ASEAN sebagai “Single Market, Single Production Base” tepat waktu dan tepat target. Demikian disampaikan Dr. AKP Mochtan, ASEAN Deputy Secretary-General for Community & Corporate Affairs dalam sambutannya pada pertemuan bertema “ASEAN goes local – towards the ASEAN Economic Community 2015” yang berlangsung pada 18 – 19 September 2013 ini. (kemlu, 19/9).
Bak gayung bersambut, desakan kuat AS ini ditangkap oleh Indonesia. Indonesia sengaja dipilih untuk memainkan peranan penting dalam mengarahkan APEC. Sebagai ketua APEC, Indonesia telah berhasil memuluskan banyak hal untuk mendukung tercapainya tujuan APEC. Kementerian Luar Negeri bersama dengan Bappenas dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengadakan pertemuan kedua Komite Nasional Tingkat APEC tahun 2013. Menlu Marty M. Natalegawa mengatakan Indonesia selama tahun 2013 bertanggung jawab sebagai Kepala KTT APEC yang akan diselenggarakan pada Oktober 2013. Oleh karena itu, selama enam bulan terakhir Kementerian Luar Negeri telah melakukan beberapa kegiatan sebagai bagian dari persiapan. (apec2013.com, 20/6)
Rangkaian pertemuan menuju APEC sudah dimulai dengan melahirkan konsep koneksi ekonomi. Semuanya makin mengokohkan posisi Indonesia yang amat terbuka bagi ekonomi pasar bebas. Prioritas APEC 2013 adalah attaining the Bogor Goals (mencapai Bogor Goals), achieving sustainable growth and equity (mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan) dan promoting connectivity (promosi konektivitas). (apec2013.com, 8/4).
Pasar Bebas Membunuh Usaha Kecil
Meskipun kesepakatan dalam APEC tidak bersifat mengikat negara-negara anggotanya, namun keberadaan Bogor Goals menyebabkan APEC berjalan seiring dengan WTO. Sedangkan Indonesia sendiri telah meratifikasi Putaran Uruguay melalui UU no 7 tahun 1994. Artinya, pasar bebas adalah keniscayaan bagi Indonesia. Itulah sebabnya Indonesia sangat berambisi untuk mewujudkan isu konektivitas ini.
Dalih yang dikemukakan untuk menerima isu konektivitas ini, terutama konektivitas fisik adalah kebutuhan akan investasi pada pembangunan infrastruktur. Sebagai salah satu prioritas nasional, pembangunan infrastruktur harus terus ditingkatkan untuk mendorong daya tahan (resilient) ekonomi melalui pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Peningkatan investasi infrastruktur sebesar 10 persen diharapkan akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1 persen. Pembangunan infrastruktur tentunya akan memberikan efek limpahan bagi sejumlah agenda pembangunan lainnya seperti perluasan pasar lapangan kerja, peningkatan pendapatan masayrakat, penguatan akses pendidikan dan kesehatan, serta komitmen pengentasan kemiskinan. Kebutuhan investasi infrastruktur di Asia Pasifik selama periode 2010-2020 diperkirakan mencapai 8 triliun dollar AS. (http://www.setkab.go.id/artikel-10482-apec-dan-mp3ei.html)
Padahal sebenarnya isu konektivitas itu didengungkan untuk mewujudkan rantai pasok global (global supply chain) bagi negara maju. Dengan demikian, maka ekspansi (perluasan) modal dan distribusi komoditas, akan berjalan dengan baik. Dengan pasar bebas, maka industri raksasa internasional (MNC/TNC) yang berada di bawah kendali mereka, akan lebih leluasa melakukan take-off kekayaan alam dunia ketiga. Namun sebaliknya, indsutri Negara berkembang, termasuk Indonesia, justru akan mengalami kemunduran dan colaps akibat kalah bersaingnya komoditas produk luar yang tentu saja jauh lebih murah.
Industri domestik kita juga kalah bersaing dengan industri luar negeri. Berdasarkan catatan International Instititute for Management Development dalam World Competitiveness Year book 2006-2008 menyebut daya saing Indonesia semakin merosot hingga ke peringkat 52 dari 55 negara. Sumber lain versi World Economic Forum menunjukkan daya saing Indonesia berada di posisi 54 atau lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/01/02/free-trade-agreement-cina-asean-dan-ancaman-imperialisme-asia-46903.html)
Jadi semakin jelaslah bahwa pasar bebas hanya menguntungkan negara maju bukan negara berkembang. Harusnya pemerintah bisa mengambil pelajaran dari penerapan ACFTA (ASEAN–China Free Trade Area) tahun 2010 lalu. Ini adalah contoh riil yang harus dipertimbangkan baik-baik. Data neraca perdagangan Indonesia-Cina menunjukkan, sebelum diberlakukannya ACFTA (2009), nilai ekspor Indonesia ke Cina sebesar Rp 7,97 triliun dan impor Rp 9,73 triliun. Sedangkan setelah diberlakukannya ACFTA, nilai ekspor kita meningkat menjadi Rp 10,21 triliun, dan impor kita juga melonjak drastis menjadi Rp 14,82 triliun (52 persen). Peningkatan ekspor barang dan jasa kita masih kalah dengan impor dari Cina. Artinya, Cina memang lebih agresif dan lebih banyak melakukan serbuan ke pasar domestik dalam negeri Indonesia dibanding produk kita yang laku di sana.
Sekadar gambaran, produksi sepatu Cibaduyut oleh Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu (AMIB) Jawa Barat, anjlok hingga lebih dari 60 persen pasca pemberlakuan ACFTA (Republika, Juli 2010). Dan, industri sepatu yang dibina koperasi AMIB sulit bersaing dengan sepatu-sepatu yang berasal dari Cina. Hal yang sama terjadi di Batang, Jawa Tengah, di mana ratusan pekerja garmen tingkat rumahan terpaksa menganggur terkena pemutusan hubungan kerja. Sebab, makin merosotnya pesanan dan berhentinya pesanan garmen, terutama celana jin setelah produk Cina membanjiri pasar dengan harga lebih murah. (http://artikel-media.blogspot.com/2011/01/setahun-acfta-industri-kecil-gulung.html)
Bukan tidak mungkin, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut angka pengangguran akan terus meningkat. Menteri Perindustrian Mohammad S. Hidayat memaparkan, sejak pemberlakuan ACFTA, terjadi penurunan produksi dalam negeri sekitar 25-50 persen pada sembilan sektor industri tersebut; selain penurunan 10-25 persen di bidang penjualan di pasar domestik, penurunan 10-25 persen keuntungan dan pengurangan 10-25 persen tenaga kerja. Beberapa usaha bahkan ada yang sudah gulung tikar dan beralih dari produsen menjadi hanya perakit dan pengemas saja (Republika, 12/4/2011).
Jadi apa yang diharapkan oleh Pemerintah dari kesepakatan pasar bebas ini, justru menjadi mimpi di siang bolong. Harapan kesejahteraan tak ubahnya seperti mitos yang hanya terdengar manis ditelinga. Alih teknologi misalnya, perusahaan asing yang menjarah kekayaan alam kita, justru hanya meninggalkan setumpuk persoalan. Tingkat penggunaan teknologi industry kita tetap jauh tertinggal dengan negara-negara maju. Negara kita memang telah terbuai mimpi penjajahan gaya baru ala neo-liberalisme yang berkedok pasar bebas. Paham neo-liberalisme telah melempar mitos kesejahteraan yang justru kontradiktif dengan fakta yang ada.
Menurut Mansour Fakih, mitos-mitos Neo-liberalisme tersebut dapat dilihat dari beberapa skema, antara lain : Pertama, perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan. Kedua, WTO dan TNC (Trade Negotiations Committee) akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis. Ketiga, kaum perempuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun konsumen. Keempat, bahwa paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal. Dan Kelima, perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam ketahanan pangan di negara-negara dunia ketiga. (Mansour Fakih, dalam ”Bebas dari Neoliberalisme”.Insist Pers, Yogyakarta, 2003)
APEC, Alat AS Menguasai Asia Pasifik
Secara konteks geografis, Asia pasifik merupakan sebutan bagi wilayah yang diisi oleh Negara -Negara Asia di sekeliling lingkar luar pasifik (pacific rim) yang membujur dari Oceania, hingga ke Rusia, dan turun kebawah sepanjang pantai barat Amerika. Wilayah ini menjadi penting karena perkembangan dan kemajuan ekonominya yang menakjubkan dunia.
Karenanya para ahli mengatakan Asia Pasifik telah menjadi pusat kekuatan politik dan ekonomi dunia. Ini lantaran di kawasan ini telah menerapkan proses globalisasi secara positif, melakukannya secara bertahap namun pasti dalam mengimbangi pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan lain dunia. Maka tak heran kalau kawasan ini menjadi incaran Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara pesaing ekonomi terkuat di dunia saat ini.
Tidak hanya AS dan China yang berkepentingan dengan kawasan Asia Pasifik. Negara-negara Eropa juga punya kepentingan yang sama. Apalagi kawasan ini di masa lalu adalah bekas jajahan mereka (Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman). Hal ini tentu telah diperhitungkan oleh AS dan China. Australia sebagai perpanjangan tangan kekuatan Eropa di Asia Pasifik bisa saja menjadi ancaman bagi kerjasama AS-China. Oleh karena itu, AS menempatkan pangkalan militernya di Darwin untuk memantau gerak-langkah Australia khususnya ke kawasan Pasifik Selatan.
Desakan kuat AS dalam APEC bukannya tanpa alasan. Sebagai negara yang mengemban ideologi Kapitalis, AS memiliki motif ekonomi yang sangat kuat dibalik berbagai slogan yang diungkapkan tentang pasar bebas. Dan Asia Pasifik saat ini menjadi target utama AS karena potensi yang sangat besar. Secara jelas hal ini disampaikan oleh Panglima Komando Militer AS di Kawasan Pasifik (PACOM), Laksamana Samuel J. Locklear III. Locklear menegaskan bahwa posisi Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Pasifik kini makin strategis di tengah perubahan dinamika kekuatan global. Itulah sebabnya AS dalam beberapa tahun terakhir menitikberatkan kepentingan keamanannya di Asia Pasifik. Locklear menyebut pergeseran fokus itu sebagai “Perimbangan Kembali (Rebalance) Peran AS di Asia Pasifik.” Dia menegaskan perimbangan yang dimaksud bukan bersifat konfrontatif atau untuk menyudutkan negara atau pihak tertentu. “Ini bukan hanya menyangkut militer tapi juga kebijakan, diplomasi, dan perdagangan. Perimbangan ini adalah suatu strategi kolaborasi dan kerjasama,” kata Locklear.
Dia pun memaparkan data yang cukup spesifik dalam menegaskan betapa banyak dan beragamnya kekuatan di Asia Pasifik saat ini dan itu menjadi perhatian utama AS. “Kawasan ini punya dua dari tiga ekonomi terbesar di dunia dan tujuh dari 10 negara terkecil di muka bumi,” kata Locklear. “Asia Pasifik juga punya negara yang berpenduduk paling banyak di dunia, dan juga negara demokratik terpadat, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbanyak, dan republik terkecil,” lanjutnya.
Dari segi bisnis dan perdagangan, Asia Pasifik juga sangat strategis. Kawasan ini “memiliki sembilan dari 10 pelabuhan terbesar di dunia, dan jalur-jalur laut paling sibuk yang menghasilkan lebih dari US$8 triliun dari arus perdagangan dua arah yang melibatkan setengah dari total kargo kontainer dunia dan 70 persen dari kapal-kapal pengangkut bahan energi melintasi lautan Pasifik setiap hari,” kata Locklear. Setiap tahun, 63 ribu kapal melintas Selat Malaka; 3.500 di Selat Sunda, dan 3.900 di Selat Lombok. Di Selat Malaka, tonase kapal-kapal dagang yang melintas setiap tahun mencapai 525 juta ton dengan nilai US$390 miliar, di Selat Sunda sebanyak 15 juta ton dengan nilai total US$5 miliar, sedangkan di Selat Lombok sebanyak 140 juta ton senilai US$40 miliar.
Di sisi pertahanan dan keamanan, Asia Pasifik dianggap AS sebagai kawasan yang paling banyak diperlengkapi kekuatan militer. “Kawasan ini punya tujuh dari 10 kekuatan militer terbesar. Lalu, angkatan-angkatan laut terbesar dan paling mutakhir berada di Asia Pasifik.” Selain itu, tidak boleh diabaikan bahwa lima dari negara-negara kekuatan nuklir dunia berada di kawasan ini.
Maka kini Laksamana Locklear memimpin komando gabungan militer terbesar yang dimiliki AS. Wilayah operasi PACOM meliputi Asia Pasifik, Asia Timur, dan Asia Selatan. PACOM dibekali seperlima dari total kekuatan militer AS dan akan memimpin 60 persen dari armada Angkatan Laut Amerika. Saat ini, armada militer AS di Pasifik diperkuat oleh lima kapal induk dengan kekuatan pendukung, yaitu 180 kapal, 1.500 pesawat, dan 100.000 personel militer aktif. “Jadi, kini ada sebanyak hampir 350 ribu personel militer AS yang berdinas dan tinggal di Asia Pasifik dan bersama mereka juga ada hampir 70 ribu anggota keluarga mereka… Saya tegaskan bahwa Amerika merupakan kekuatan Pasifik. Tidak hanya terletak di Pasifik, namun kami juga punya ikatan sejarah dan ekonomi dengan para negara tetangga sehingga mereka menyadari bahwa kita punya kepentingan yang signifikan sebagai sama-sama negara di Asia Pasifik,” kata Locklear. (http://www.arrahmah.com/news/2013/02/09)
Penutup
Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi, juga berarti menyerahkan semuanya kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan). Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan perdagangan internasional dan investasi.
Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari tiga aspek: Pertama, penghilangan peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat, dan ini adalah doktrin dasar ekonomi kapitalisme liberal. Ini jelas menyalahi Islam. Islam menetapkan pemerintah/negara wajib berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya.
Kedua, perdagangan bebas yang memungkinkan seluruh pemain dunia leluasa bahkan bebas bermain di pasar dalam negeri tanpa hambatan -tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal dari negara kafir atau tidak-. Ini juga jelas bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan pelakunya. Jika pelakunya berasal dari negara kafir yang memusuhi Islam (Dar al-Harb Fi’lan) -seperti AS, Inggris, Prancis, Rusia, dsb- perdagangan tersebut jelas haram.
Ketiga, perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di pasar dalam negeri, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Keikutsertaan dalam perjanjian perdagangan bebas sama saja memberi jalan kepada asing untuk menguasai kaum muslim. Perjanjian perdagangan bebas apapun bentuk dan namanya merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat. Pemerintah seharusnya melindungi rakyat dari ketidakberdayaan ekonomi. Dengan perjanjian tersebut, sengaja atau tidak, Pemerintah telah membahayakan bahkan “membunuh” usaha dan industri dalam negeri baik skala besar apalagi skala kecil, yang tentu akan mengakibatkan makin meningkatnya angka pengangguran, Karena itu perdagangan bebas harus segera dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang telah terbukti mampu melindungi rakyat kecil dari keserakahan para pemilik modal. []