Hari Pangan Sedunia 16 Oktober: Pangan dan Bangsa Kurang Gizi
Oleh: Siti Nuryati, S.TP, M.Si
Penerima Penghargaan Menko Kesra RI atas Gagasan Pengentasan Kemiskinan dan Kearifan Lokal (2008). Alumnus Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB
Di momen Hari Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober tahun ini kita masih saja menelan fakta pahit dimana saat ini Indonesia berada di peringkat kelima negara dengan kekurangan gizi sedunia. Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900 ribu jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5 persen dari jumlah balita Indonesia, yakni 23 juta jiwa. Daerah yang kekurangan gizi tersebar di seluruh Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Tema HPS tahun ini pun sangat cocok dengan situasi pangan dan gizi di Indonesia, yakni Sistem Pangan yang Berkelanjutan bagi Ketahanan Pangan dan Gizi (Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition).
Fakta ini mestinya menyadarkan para pemimpin negeri ini untuk melihat kembali kebijakan pembangunan yang selama ini digulirkan yang ternyata masih menyisakan kelaparan dimana-mana. Bicara pangan adalah bicara soal hidup atau mati. Bicara pangan tentu tak lepas dari bicara soal gizi. Karena apalah artinya makan kalau bukan dalam rangka memenuhi asupan gizi bagi tubuh agar dapat hidup sehat dan produktif.
Berbicara pembangunan, sejak 1990-an sebenarnya sudah mulai disadari bahwa sumberdaya manusia (SDM) menjadi kata kunci pembangunan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Makin disadari bahwa investasi pembangunan tidak lagi terbatas pada sarana dan prasarana ekonomi untuk membangun industri, gedung, jalan, jembatan, pembangkit listrik, irigasi, perkebunan dan sebagainya. Pembangunan ekonomi memang perlu, tetapi itu saja tidak cukup. Perlu diberikan catatan bahwa pembangunan ekonomi baru dikatakan bermanfaat jika setiap individu rakyat dapat hidup sejahtera dimana salah satu indikatornya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan.
Tragedi kekurangan pangan dan gizi kini jelas akan mengancam kesehatan, kecerdasan, bahkan kelangsungan hidup generasi bangsa ini. Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Penyebab kurang gizi: Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.
Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dankeluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaanpangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Ketahanan pangan mengandung arti memiliki pangan yang cukup untuk mempertahankan kehidupan yang sehat dan produktif, baik hariini maupun di masa mendatang. Masyarakat dikatakan memiliki ketahanan pangan apabila semua anggota keluarga memiliki akses terhadap makanan dalam jumlah yang cukup dan mutu yang baik, dengan harga terjangkau, dapat diterima dan selalu tersedia secara lokal/dalam negeri secara berkelanjutan.
Kenyataannya saat ini ketahanan pangan masyarakat kita rapuh. Kelompok rentan yang akan pertama kali menjadi korban kerawananpangan adalah anak-anak. Tak ada yang menyangkal bahwa usia balita merupakan periode paling kritis dalam kehidupan manusia karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan ketrampilan motorik yang sangat nyata. Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan besar, jumlah, dan ukuran di tingkat sel, organ, maupun individu. Sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional, dan intelektual.
Sekadar contoh, apa yang terjadi di Banjarnegara. Penelitian Soblia (2009) menelisik hubungan tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan dan morbiditas dengan status gizi anak balita di wilayah tersebut menemukan masalah kesehatan yang terkategori tinggi/serius yang berdampak pada status gizi balita. Sebanyak 51,7% rumah tangga di wilayah ini memiliki kondisi sanitasi dan kesehatan fisik lingkungan yang kurang memadai. Selain soal kesehatan, ditemukan sebesar 69% rumah tangga tergolong rawan pangan. Berdasar garis kemiskinan BPS ada 39% rumah tangga di wilayah penelitian terkategori miskin. Angka kemiskinan ini akan membesar menjadi 97,6% ketika menggunakan garis kemiskinan versi Bank Dunia. Ini berarti, kemiskinan dan buruknya kondisi sanitasi berdampak pada status gizi keluarga di wilayah tersebut. Kondisi ini sangat nyata terlihat dengan tingginya angka kejadian balita “wasting” yang masuk dalam kategori “serious emergency situation”. Kita tahu Banjarnegara merupakan daerah di tanah air yang memiliki riwayat kurang pangan di tahun 1930-1940, terulang di tahun 1961-1962, terulang kembali di tahun 2004-2006. Kini di saat harga panganterus mendaki, riwayat kurang pangan kembali mendera daerah-daerah ini.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa memenuhi makanan yang bergizi, beragam dan berimbang jikalau daya beli masyarakat rendah? Indonesia memiliki lahan luas dan subur, berlimpah cahaya matahari sepanjang tahun dan tak kurang siraman hujan. Namun mengapa bisa terdengar kekurangan pangan di mana-mana? Pastilah ada yang salah pada kita. Salah satunya, pemerintah salah kaprah karena telah habis-habisan mengejar industrialisasi seraya melupakan pertanian. Yang terjadi kini, kita gagal menjadi negara industri, sementara alam terlanjur rusak, pertanian terbengkalai, dan kita telah masuk dalam jebakan pangan (food trap) negara lain. Selera makan kita pun berubah. Kini banyak orang lebih suka menyantap roti yang gandumnya tak tumbuh di Indonesia ketimbang singkong yang tanamannya tumbuh subur di pekarangan kita.
Mengingat ancaman krisis pangan terus meningkat, maka upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional tak bisa ditunda-tunda lagi. Pemerintah harus segera melakukan perbaikan besar-besaran di sektor pertanian dan pengolahan pangan agar jutaan penduduk negeri ini yang berada dalam ancaman kekurangan pangan dan gizi dapat kita selamatkan. Tak hanya itu, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan yang terjaga, akses air bersih juga menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah soal pendidikan yang jika tidak dibenahi akan terus melahirkan lingkaran setan yang tiada berujung. Rendahnya pendidikan berpotensi melahirkan kemiskinan. Sementara kemiskinan akan menjatuhkan pada potensi gizi buruk. Dan gizi buruk jelas akan menggerus SDM bangsa.
*Dimuat di Harian Kontan, tanggal 16 Okt0ber 2013