Kewajiban haji telah dinyatakan oleh Allah SWT dalam Alquran: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali Imran [03]: 97), tanpa disertai alasan (‘illat), dengan waktu, tempat dan tatacara yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, di dalam nash yang lain, Allah SWT menyebutkan hikmah di balik pelaksanaan ibadah ini.
Dalam surat al-Hajj [22]: 27 Allah menyatakan: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka..” Ibn Abbas menjelaskan makna, liyasyhadu manafi’ lahum (supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah manfaat dunia dan akhirat. Manfaat di akhirat berupa pahala dan keridhaan Allah SWT, sementara manfaat di dunia berupa pelaksanan kurban dan keuntungan dalam perdagangan (Ibn Katsir, Tafsir Alquran al-‘Adzim, Juz V/365).
Hikmah haji juga tidak terbatas dalam hal perdagangan, Imam ath-Thobariy menyatakan bahwa manfaat (al-manafi’) haji dalam dalam ayat di atas bersifat umum mencakup seluruh manfaat yang bisa didapatkan kaum Muslimin dari pelaksanaan ibadah haji. Sebab, tidak ada satu hadits atau reasoning yang bisa menjelaskan manfaatnya hanya berlaku untuk perkara tertentu dideskripsikan (at-Thabari, Jami’ul bayan fi ta’wîlil quran, Juz XVIII/160).
Persatuan Umat
Dari sisi politis, makna yang paling menonjol dalam pelaksanaan ibadah haji adalah persatuan umat. Pesatuan ini tampak dalam pelaksanaan wukuf di ‘Arafah, sebagai rukun paling utama dalam ibadah haji. Rasulullah SAW bersabda: “Haji adalah Arafah.” (HR. an-Nasa’i).
Arafah telah mempertemukan seluruh jamaah haji dari berbagai dunia, yang bukan hanya diikat oleh akidah yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, namun mereka juga menjalankan nusuk yang sama, berkumpul di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dan menyerukan seruan yang sama, yakni bacaaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, dzikr dan doa. Sejak matahari terbit, pada tanggal 9 Dzulhijjah, mereka berbondong-bondong datang memasuki Arafah. Tepat pada saat zawal, ketika wukuf telah dimulai, lautan manusia; tua-muda, pria-wanita, hitam-putih, semuanya tumpah ruah di tempat itu. Semuanya berpakaian sama, tidak peduli jabatan, status sosial dan kedudukan mereka. Semuanya berpakaian ihram. Tidak ada kelas, karena semuanya sama.
Inilah pemandangan agung (masyhad a’zham) yang dibanggakan oleh Allah SWT kepada para malaikat-Nya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan: “Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Ibadah haji benar-benar telah membuktikan kebenaran firman Allah SWT: “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian. Maka, sembahlah Aku.” (TQS. al-Anbiya’ [20]: 92). Ketika seluruh umat Islam ini benar-benar melebur menjadi satu.
Bukan hanya itu, pada masa Rasulullah SAW dan kekhilafahan setelahnya, persatuan umat juga tampak dari kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Di Arafah, tepatnya di tempat yang kini berdiri kokoh Masjid Namirah, di situlah Nabi SAW selaku kepala negara menyampaikan khutbahnya yang sangat terkenal itu. Selain mendeklarasikan hak-hak manusia, kemuliaan darah, harta, hari dan tanah suci Haram, sebagaimana dalam sabda baginda SAW, “Wahai seluruh umat manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian hukumnya haram bagi kalian untuk dinodai, sebagaimana menodai keharaman hari, bulan dan negeri ini.” Nabi SAW pun telah membatalkan seluruh praktik dan tradisi jahiliyah, mengharamkan riba dan sebagainya (as-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, Juz I/534).
Ri’ayah dan Muhasabah
Pada musim haji, umat Islam bukan hanya bertemu dengan kepala negara mereka, namun mereka juga dapat menyampaikan pengaduan dan koreksi (muhasabah). Sebaliknya para khalifah juga bertanya kepada mereka tentang hal ihwal para wali yang diangkatnya secara langsung dari masyarakaatnya.
Umar bin al-Khatthab menggunakan momentum haji untuk bertanya kepada para delegasi haji ihwal walinya yang diangkat untuk melayani kepentingan mereka. Mereka pun bisa mengadukan apa saja yang hendak mereka adukan kepada sang khalifah. Umar pun mengumpulkan para walinya dari berbagai wilayah pada musim haji (al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 180). Bahkan Umar pun pernah menghukum putra Amru bin ‘Ash di musim haji, karena perlakuannya terhadap seorang qibtiy di Mesir. Beliu berkata kepada ‘Amru Bin ‘Ash: “sejak kapan Anda memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka” (Majallat Tarikhil ‘Arobiy, Juz I/7127, Ibnu ‘Abdul Hadi al-Mubarrid, Mahdhus Showab fi Fadhail ‘Amiril Mukminin Umar Ibnul Khatthab, Juz II/473).
‘Atho Ibnu Abi Rabâh pernah menasihati ‘Abdul Malik Ibnu Marwan di musim haji: “Wahai Amîrul Mukminîn, bertakwalah kepada Allah SWT, dalam hal perlakuan Anda terhadap anak-anak kaum Muhajirin dan Anshor, bertaqwalah kepada Allah SWT dalam hal perlakuan Anda terhadap para penjaga perbatasan, perhatikan urusan kaum Muslimin, karena Andalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas urusan-urusan mereka, jangan biarkan orang-orang yang ada di depan pintu rumahmu…….”. Setelah ia selesai menyampaikan nasihatnya, Khalifah pun berdiri dan berkata: “Aku sudah lakukan itu semua”, lalu ia memegang tangan ‘Atho dan berkata: “Dari tadi engkau hanya memperhatikan urusan orang lain, sekarang apa kebutuhanmu..? ‘Atho menjawab: “Saya tidak perlu bantuan seorang makhluk”, lalu ia keluar. (Muhammad as-shlalabiy, ad-Daulah Umawiyah ‘Awamilul Izdihar wa Tada’iyatul Inhiyar, Juz II/477)
Pendidikan dan Dakwah
Pelaksanaan haji juga tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan dakwah Islam. Sebelum Daulah Islam berdiri, Rasulullah SAW menyeru kabilah-kabilah Arab yang datang ke Mekah di musim haji. Dalam meraih nushrah-nya Rasulullah SAW mendatangi Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanîfah, Bani ‘Amir Bin Sha’sha’ah, Muhârib, Fazârah, Ghasân, Murrah, Sulaim, ‘Abbas, Bani Nadhar, Bani al-Bukâ‘, ‘Adzarah, Rabî’ah, Bani Syaiban, al-hadhôromah, dll (Ibnu Hisyam, as-siroh, Juz II/75-76). Di antara seruan Rasulullah SAW kepada kabilah-kabilah itu: “Apahkan ada di antara kalian, yang membawaku kepada kaumnya, sungguh orang-orang Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalamullah” (HR. Ahmad dari Jabir Ibnu ‘Abdillah).
Setelah Daulah Islam berdiri, ibadah haji memiliki peran penting dalam dakwah dan tarbiyah, baik melalui khutbah-khubah, seperti khutbah Rasulullah SAW, atau pun wasilah amar ma’ruf nahi munkar lainnya. Rasulullah SAW sendiri pernah menegur orang-orang yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan manasik. Begitupun para khalifah setelahnya. Umar Ibnu ‘Abdil Aziz dalam penutup suratnya yang ditujukan kepada orang-orang yang sedang melaksanakan ibdah haji, menyatakan: “Seandainya aku tidak khawatir dapat menyibukkan kalian, niscaya aku deskripisikan -serinci-rincinya- perkara yang akan menghidupkan diri kalian dan yang akan membuat hati kalian mati” (Muhammad as-Shalabiy, ad-Daulah Umawiyah ‘Awamilul Izdihar wa Tada’iyatul Inhiyar, Juz III/488).
Pada masa lalu, musim haji juga dijadikan sarana untuk belajar dan meminta fatwa kepada para ulama, dengan bimbingan para khalifah. Sebagai contoh, bimbingan itu ditunjukkan oleh Khalifah ‘Abdul Malik Bin Marwan, agar orang tidak sembarangan meminta fatwa kepada orang lain. Ia menyatakan: “Tidak seroang pun memberi fatwa –di musim haji ini- kecuali ‘Atho Ibnu Abi Rabah, Imam, ‘alim dan faqih ahli Mekah” (‘Ali Ibnu Nayif as-Syuhud, al-Hadhoroh al-Islamiyah wa Ususuha, Juz I/395).
Demikianlah, ibadah haji dalam sejarah kehidupan umat Islam sejak masa Rasul SAW dan masa-masa berikutnya sangat sarat dengan makna dan pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hal ini dengan izin Allah akan bisa diwujudkan kembali ketika umat Islam disatukan kembali dalam naungan Khilafah Islam, sehingga pelaksanaan ibadah haji bukan hanya menjadi ibadah ritul semata. Wallahu A’lam []Abu Muntadi