Tidak mudah bagi seorang khalifah dalam hal menentukan prioritas antara kepentingan pribadi, kelompok dan kepentingan rakyatnya. Kepentingan rakyat harus selalu menjadi prioritas. Inilah yang selalu dipraktikkan oleh para khalifah dalam memimpin pemerintahan.
Suatu ketika Khalifah al Hadi (w. 170 H) disebutkan dalam sebuah riwayat akan menjenguk al Khaizaran, ibundanya yang tengah sakit. Namun, di tengah perjalanan, Umar bin Bazi’ pembantu khalifah menghentikannya seraya berkata,”Wahai Amirul mukminin berkenankah Anda jika saya tunjukkan kepada yang lebih wajib bagi Anda daripada ini?” Al Hadi berkata,”Apakah itu wahai Umar?” Umar berkata, ”Penanganan kasus-kasus yang sedang terjadi. Anda tidak menanganinya selama tiga tahun”. Al Hadi berkata, ”Perintahkan kepada pasukan untuk menuju lembaga khusus tindak penganiayaan”.
Kemudian ia memerintahkan sebagian pembantunya untuk menjenguk ibunya dan menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatannya. Ia lalu berkata kepada pembantunya, ”Katakan kepada ibuku bahwa Umar bin Bazi’ menyampaikan hak Allah yang lebih wajib dipenuhi daripada hakmu, ibuku. Kami akan berusaha memenuhi hak ini terlebih dahulu dan Insyaallah kami akan menjengukmu besok”.
Al Makmun, seorang khalifah dari Bani Abbasiyah mengkhususkan hari Ahad untuk memeriksa kasus-kasus penganiyaan yang terjadi di masyarakat. Suatu hari datanglah seorang wanita dengan pakaian lusuh dan raut muka penuh kesedihan. Wanita itu menyampaikan kezaliman yang menimpanya tanpa menyebut siapa pelakunya. Al Makmun lalu meminta wanita tersebut untuk mendatangkan lawan perkaranya ke pangadilan. Ahad sangat pagi sekali perempuan tersebut telah tiba di pengadilan. Ia datang seorang diri. Al Makmun bertanya, ”Siapa lawanmu? Ia menjawab, ”Orang utamamu, al Abbas bin Amirul Mukminin (Putra Khalifah sendiri)”. Al Makmun berkata kepada hakim Yahya bin Aktsam, ”Dudukkanlah keduanya di persidangan!”
Hakim menyelenggarakan persidangan keduanya di bawah pengawasan al Makmun. Perempuan tersebut kemudian berkata dengan suara keras hingga membuat sebagian pengawal khalifah membentaknya. Namun Al Makmun berkata, ”Biarkanlah ia, kebenaran membuatnya berbicara dan kebathilan membuatnya membisu”. Al Makmun lalu memerintahkan agar tanah perempuan yang diambil putranya segera dikembalikan kepadanya.
Dalam kasus yang melibatkan kezaliman anaknya itu, al Makmun langsung menanganinya sendiri meski tidak terlibat langsung karena alasan politik. Pertama, jika ia menanganinya secara langsung bisa jadi akan mengambil keputusan hukum yang akan menguntungkan putranya atau sebaliknya merugikannya. Ia tidak boleh memutuskan hukum yang merugikan anaknya meskipun boleh. Kedua, lawan sengketa putranya adalah perempuan. Khalifah harus menjaga kehormatan di hadapan perempuan yang sedang marah. Namun, al Makmun lah yang melakukan eksekusi keputusan pengadilan dan menetapkan haknya.
Untuk memberi pelajaran kepada para pejabatnya yang berbuat zalim, Khalifah al Manshur memecat salahsatu dari mereka lalu menyita hartanya. Harta sitaan itu lalu disimpan di baitu mal yang disebut Baitu Mal al Madzalim. Setiap harta sitaan ditandai dengan nama pemiliknya.
Penyitaan harta tersebut hanyalah sementara, terbatas sampai waktu tertentu. Karena penyitaan tersebut dimaksudkan untuk memberi pelajaran dan efek jera kepada pejabatnya yang berbuat zalim. Al Manshur berkata kepada putranya, ”Aku telah menyiapkan sesuatu untukmu, jika aku meninggal maka panggillah orang yang hartanya aku sita, lalu kembalikanlah kepadanya. Jika kamu melakukan hal itu, maka mereka dan masyarakat umum akan mencintaimu”. Al Mahdi pun menunaikan wasiat tersebut sepeninggal ayahnya.
Demikianlah para khalifah di atas berusaha menjaga amanah kekuasaan dengan sebaik-baiknya. Mereka meletakkan garis tegas di antara kepentingan pribadi, kelompok dan masyarakatnya. Saat memimpin negara, seorang khalifah bukan lagi bekerja untuk partainya apalagi kepentingan pribadinya, tapi bekerja sebagai wakil umat dalam melaksanakan hukum syara’ sebaik-baiknya. Maslahat umat sesuai hukum syara menjadi prioritas kebijakannya. Walllahu ‘alam bi ash shawab.[] Roni Ruslan