HTI Press- Dalam diskusi tematik Fokus Group Discussion tentang Good Government and Clean Governance “Antara Harapan dan Kenyataan” muncul perdebatan apakah demokrasi menyebabkan korupsi atau tidak.
“Adapun ketika tingkat korupsi itu meningkat ini dikarenakan sistemnya yang banyak sekali kelemahan bukan karena demokrasi yang sudah berjalan selama ini,” ungkap Calon Wakil Walikota Banjar H Darmadji Prawirasetia, Selasa (22/10) di Rumah Makan Primarasa Kota Banjar.
Pendapat Darmadji diperkuat dengan pernyataan Cecep Edi dari Tim Tipikor Polresta Banjar. Menurutnya, birokrasi dalam upaya penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian sangat terhambat oleh birokrasi yang ribet dan berbelit.
Ia juga mengakui bahwa sanksi hukum tindak korupsi saat ini tidak menimbulkan efek jera ditambah lagi adanya sanksi hukum yang dapat diperjualbelikan, oleh karenanya tindakan penanganan korupsi yang digencar dilakukan tetapi tidak membuat angka korupsi menurun. “Indikator ini terjadi dikarenakan moral-moral individunya yang rusak,” tegasnya.
Pendapat mereka seakan diamini oleh Tokoh Masyarakat Banjar Dede S Bahyan. “Adapun ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran yang menimpa itu terjadi dikarenakan adanya penyimpangan tekhnis saja,” ungkapnya.
Tokoh Muhammadiyah Kota Banjar Asep Purwanto dengan tegas membantah pendapat di atas. “Tindak korupsi ini muncul karena adanya ongkos demokrasi yang sangat mahal sebagai tebusan ongkos ganti yang harus menggantikan biaya pemenangan pemilu,” ungkapnya.
Menurutnya, sangat tidak mungkin sekali para pengusaha atau pun siapa saja yang memberikan dana-dana donatur pemilu tidak mengharapkan balas jasa dan imbalan, mana mungkin ada makan siang gratis. Inilah kenapa korupsi merajalela dan mengikat seluruh pilar-pilar negara ini.
“Selain itu demokrasi yang dijalankan Indonesia sekarang ini adalah demokrasi kebablasan sehingga mau tidak amu memaksa seseorang yang awalnya tidak memiliki niat korupsi berubah untuk berbuat korupsi, manusia dipaksa karena sistem sekarang ini,” simpulnya.
Sedangkan anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia yang asli Banjar Ibnu Aziz Fathoni, merangkum pendapat dua kubu tersebut.
“Sekarang ini sudahlah sistem demokrasi yang jelas merusak ditambah lagi dengan para pelaku birokratnya juga yang rusak, jelas sudah akan mengakibatkan kerusakan yang luar biasa. Maka dari itu solusi hanya dengan kembali kepada hukum Islam bukan dengan menggunakan aturan atau hukum-hukum jahiliyah seperti saat ini,” pungkasnya dalam acara yang dihadiri sekitar 30 ulama, tokoh masyarakat, akademisi, LSM, anggota parlemen, dan dosen.[] Tim Infokom Banjar/Joy