Formuda Surabaya
HTI Press. Minggu (20/10) DPD I Jawa Timur Muslimah HTI mengadakan acara FORMUDA –Forum Muslimah untuk Peradaban- di Gedung Pertemuan Putra Surabaya- PUSURA-, Jl. Yos Sudarso no. 9 Surabaya. Dihadiri 100 peserta dari berbagai kalangan tokoh, diantaranya tokoh PKK skala kecamatan dan kelurahan, birokrat, aktivis mahasiswa, caleg, aleg dan intelektual. Keakraban langsung terjalin dengan panduan dari moderator. Suasana juga semakin serius saat di tayangkan film berdurasi singkat tentang fakta APEC dan akibatnya bagi perempuan.
Ustadzah Diana Mufidah (DPD I Jatim MHTI) sebagai pembicara pertama menjelaskan definisi APEC dan realita APEC yang sebenarnya, yaitu liberalisasi perdagangan antar negara yang tidak seimbang kekuatan ekonominya. Artinya Negara-negara maju lebih kuat bersaing dengan Negara berkembang yang belum siap sektor industrinya. Ditambah lagi, Negara konsumen (Negara yang dijadikan pasar) harus menghilangkan pajak masuk. Akibatnya banyak pengusaha negara-negara berkembang bangkrut, termasuk negeri tercinta Indonesia. Bahkan data BPS sepanjang 2006-2010 menunjukkan jumlah industri yang ada di Indonesia berkurang sebanyak 6.123 dan pengangguran bertambah besar 254.558. Salah satu yang berbahaya dari Apec adalah menjadikan perempuan sebagai roda perekonomian (sebagai pekerja dan pasar bagi barang-barang Negara maju) yang mengakibatkan perempuan berlomba-lomba keluar rumah untuk bekerja, akibatnya di Surabaya pada September 2013 angka perceraian meningkat menjadi 5.476 perkara, gugat cerai meningkat dua kali lipat.
Hj. Nida Sa’adah dari DPP MHTI sebagai pembicara ke dua menjelaskan, bahwa sebenarnya kita memiliki solusi ketika kita terlanjur masuk dalam perjanjian APEC yang membuat perempuan mengalami berbagai bahaya. Solusinya adalah dengan keluar dari perjanjian tersebut. Nida membandingkan dengan kondisi saat Khilafah berdiri, saat itu Khalifahnya Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan mencari orang miskin untuk diberi zakat. Akhirnya Khalifah memberikan mahar bagi laki-laki yang mau menikah tapi tidak memiliki uang. Nah, solusi untuk kemiskinan Indonesia yang tidak perlu membuat perempuan bekerja adalah melepaskan diri dari utang luar Negeri, mengelola SDA secara mandiri, melepaskan diri dari liberalisasi perdagangan. Kemudian membuka lapangan pekerjaan yang luas dengan menata lahan dan menutup semua sektor ekonomi non-real. []