Sisi Eksploitatif Forum Ekonomi APEC Women

Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi MHTI)

 

Ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Barat dalam cara pandang terhadap perempuan.  Bila Islam selalu menjaga perempuan, demi mengamankan tugas masa depan dan menjaga harmoni kehidupan, yakni  sebagai ibu generasi dan ratu rumah tangga. Barat justru berpaling dari posisi itu.  Bercirikan pandangan kapitalis yang menempatkan keuntungan materi di atas segalanya, bagi Barat perempuan tak lebih hanya alat untuk mengumpulkan materi.  Realitas membuktikan, Barat tak segan-segan mengeksploitasi perempuan, baik finansial ataupun tenaganya demi tujuan tersebut. Sisi humanis dan romantis yang acap melekat saat mereka memperlakukan perempuan, hanya sekedar cara untuk menyembunyikan tujuan itu.

Ketamakan mereka pada harta, tercermin pada berbagai upaya yang mereka kemas dalam rancangan aksi yang seakan-akan meninggikan derajat perempuan.  Termasuk program-program internasional yang melibatkan, bahkan mengikat banyak negara dalam selubung gerakan pemberdayaan perempuan. APEC Women menjadi salah satu contoh mutakhir gerakan pemberdayaan perempuan di Asia Pasifik.  Sebagai salah satu ekonomi APEC  –sebutan bagi negara anggota APEC-, Indonesia yang diwakili Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) mendapat giliran menjadi penyelenggara APEC – WEF  (Asia-Pacific Economic Cooperation – Women and the Economic Forum) 2013 yang menjadi bagian perhelatan APEC 2013.  Tema Women as Economic Drivers  diangkat dan diselenggarakan selama 6 – 8 September 2013 di Hotel Westin, Nusa Dua – Bali.  Lihat saja, tema yang digunakan amat lekat dengan ciri Kapitalisme dengan cara memanfaatkan perempuan.

APEC : Sarana Eksploitasi Perempuan

Pertumbuhan selalu menjadi fokus utama pembahasan ekonomi kapitalis.  Kaum kapitalis berasumsi, gairah pertumbuhan ekonomi mampu meningkatkan produksi barang dan jasa.  Akibatnya kesejahteraan akan membaik, dan pada akhirnya bakal mengentaskan kemiskinan.  Karena itu mereka memanfaatkan segala cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, termasuk membuat forum khusus untuk perempuan.

Keterlibatan perempuan dalam  APEC mulai dipandang serius para petinggi ekonomi APEC saat pertemuan APEC November 2010 di Yokohama, Jepang.  Pemimpin APEC mengakui bahwa potensi penuh dari perempuan untuk berkontribusi terhadap perekonomian daerah Asia-Pasifik belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, mereka akan bekerja sama untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keuangan, pendidikan, pelatihan, pekerjaan, teknologi, dan sistem kesehatan dengan mempromosikan kewirausahaan dan kepemimpinan yang lebih besar bagi perempuan dalam bisnis dan pemerintah.  Untuk mewujudkannya, APEC berkolaborasi dengan jaringan perempuan dalam asosiasi bisnis dan organisasi internasional seperti Komisi Status Perempuan (Commission on the Status of Women) PBB dan UN Women.

Komitmen tersebut dikukuhkan dalam Deklarasi San Francisco yang diprakarsai saat KTT APEC yang diselenggarakan September 2011 di San Francisco.  Saat itu Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton mencanangkan momen The Participation Age yang menyatakan keterlibatan perempuan sebagai sumber penting pertumbuhan ekonomi melalui pemberdayaan penuh perempuan dan anak perempuan.  Dibentuklah Policy Partnership on Women and the Economy (PPWE) sebagi organ APEC yang khusus membahas isu gender.  Setahun kemudian dibentuk The Women and the Economy Forum (WEF) dalam KTT APEC di St. Petersburg, Rusia Juni 2012.

Jargon Women as Economic Drivers  sebenarnya telah disampaikan Melanne Verveer, mantan Duta Besar AS untuk  Global Women’s Issues bersamaan dengan pencanangan The Participation Age.  Setumpuk bukti dipakai Barat untuk melegalisasi alasan mereka ‘memperdaya’ perempuan lewat isu perempuan sebagai pengendali ekonomi. Di antaranya penelitian McKinsey –lembaga konsultan global AS- yang menyebutkan bahwa ketika perempuan memegang hampir 48 persen pekerjaan selama 40 tahun terakhir, mampu menyumbang seperempat dari PDB AS. Dengan kata lain , tiga setengah triliun dolar dihasilkan oleh peningkatan partisipasi perempuan dalam perekonomian. Keuntungan ini lebih besar dari PDB Jerman dan lebih dari setengah dari PDB dari Cina dan Jepang.

Cathy Russell, Duta Besar Amerika Serikat saat ini untuk Global Women’s Issues menggulangi pernyataan serupa dalam  APEC Women and The Economic Forum 2013 6 September 2013 lalu di Nusa Dua, Bali.  Russel memaparkan bahwa  penelitian membuktikan ketika perempuan  berpartisipasi secara ekonomi, baik sebagai pekerja atau pengusaha- ekonomi akan tumbuh dan kemiskinan akan berkurang. Karena, perempuan biasa menginvestasikan pendapatan mereka untuk meningkatkan standar hidup anak-anak mereka dalam pendidikan dan kesehatan.  Data Boston Consulting Group menunjukkan bahwa perempuan menabung lebih banyak dari laki-laki.  Fakta di 20 negara semi- industri menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan poin persentase dalam  pendapatan rumah tangga yang dihasilkan oleh seorang perempuan, agregat tabungan domestik meningkat dengan sekitar 15 persen.

Mengingat potensi keuntungan yang mampu diberikan perempuan, Barat membutuhkan transformasi fundamental dengan menghilangkan norma-norma sosial dan hambatan pasar yang mencegah partisipasi penuh perempuan dalam perekonomian. Karena itulah APEC WEF 2013 diselenggarakan bersamaan dengan APEC Small Medium Enterprises Working Group/SMEWG (Kelompok Kerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM APEC), dan dihadiri oleh 20 ekonomi APEC dan 4 organisasi pengamat. Masing-masing delegasi dipimpin seorang pejabat tinggi setingkat menteri yang bertanggung jawab untuk spektrum yang luas dari masalah kebijakan ekonomi yang responsif gender.  Dua hal penting yang terangkum pada pertemuan itu adalah promosi budaya kewirausahaan dan peningkatan akses keuangan.

Yang harus digarisbawahi adalah, apakah memang benar, pelibatan perempuan secara penuh dalm APEC memang hanya demi kepentingan mereka dan anak-anaknya?  Sedangkan kalangan kritis senantiasa menganggap bahwa APEC adalah alat imperialisme negara industri besar di bawah arahan AS, untuk menjarah pasar Asia Pasifik yang mengendalikan hampir 70 persen pangsa pasar dunia.  Bahkan Dr. Arim Nasim, Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP HTI, menjabarkan akronim APEC sebagai ‘Alat Penjajahan Ekonomi Capitalis’.  Sejarah membuktikan, Barat tidak pernah tulus memperlakukan perempuan.  Justru semua bukti tentang potensi perempuan dijadikan motivasi untuk memanfaatkan (baca: mengeksploitasi) mereka habis-habisan.  Demikian pula dalam forum APEC.  Petinggi-petinggi APEC yang berisikan oknum pemerintahan dan pemilik korporasi raksasa hanya menjadikan perempuan sebagai obyek eksploitasi, baik fisik maupun finansial.

Eksploitasi Finansial

Membahas bahaya APEC terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dengan membahas APEC secara umum.  Tiga prioritas APEC 2013 adalah mewujudkan hasil-hasil pertemuan APEC di Bogor tahun 1994 (attaining the  Bogor Goals), mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan merata (achieving sustainable and equitable growth, and connectivity), serta memperkuat konektivitas (promoting connectivity).

Agenda Bogor Goals sebenarnya adalah pengokohan perdagangan bebas melalui liberalisasi dan fasilitasi perdagangan, serta investasi yang didukung kerja sama ekonomi dan teknis seperti yang tertuang dalam APEC Bogor Declaration tahun 1994.  Artinya negara-negara anggota APEC yang memiliki basis ekonomi kuat seperti AS, Australia, Kanada, Selandia Baru, Jepang, China, Korea Selatan makin mudah mendapatkan pasar untuk produknya melalui liberalisasi aturan perdagangan produk pertanian/non pertanian dan jasa melalui penghapusan hambatan tarif dan non tarif.  Sedangkan negara-negara yang lemah basis ekonominya, seperti Indonesia, Chili, Peru, Papua New Guinea, tidak akan mampu menjual produknya sebanyak negara-negara kuat karena tidak semua kriteria layak ekspor bisa mereka penuhi. Intinya, mekanisme perdagangan bebas adalah persaingan yang tidak fair. Ustadz  Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI), menganalogikan hal itu sebagai pertandingan tinju tanpa kelas:  negara kuat yang berkualifikasi ‘kelas berat’ akan menghajar habis negara lemah yang berkualifikasi ‘kelas bulu’.

Mari kita lihat kasus-kasus yang terjadi di lapang.  Awal September 2013, kembali kedelai menjadi masalah nasional Indonesia. Harga kedelai berhasil menembus kisaran angka  Rp 9.500,00 – 10.000,00 bersamaan dengan menguatnya dollar AS atas rupiah.  Akibatnya, para produsen tahu dan tempe meluapkan kemarahan dengan aksi mogok produksi. Ketergantungan Indonesia pada impor kedelai diakui Menteri Pertanian Suswono, yang menyebutkan dua pertiga dari 2,5 juta ton kedelai Indonesia dicukupi dari impor.  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Amerika Serikat adalah negara importir terbesar untuk komoditas kedelai.  Impor kedelai Indonesia pada periode Januari sampai Agustus 2013 mencapai 1 juta ton dengan nilai impor mencapai USD 414 juta.  Bayangkan, betapa besar keuntungan yang diperoleh AS dari pasar kedelai Indonesia, apalagi kedelai termasuk komoditas yang mendapatkan penghapusan bea masuk 0%.  Sedangkan Indonesia dengan 10 ribu lebih perajin tahu dan tempe yang notabene termasuk industri kecil dan menengah hanya menjadi konsumen yang tak berdaya dengan permainan pasar. Fatalnya,  pemerintah lebih tunduk pada kesepakatan dagang daripada mengamankan industri rakyat.

Demikian pula perdagangan produk dairy (susu sapi) yang akan diolah menjadi mentega, yoghurt, es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lain.  Produksi susu petani lokal baru bisa memenuhi sekitar 20 persen dari total kebutuhan domestik. Wajar jika nilai impor Selandia Baru, Australia dan Eropa ke Indonesia mencapai US$700 juta atau Rp 6,3 triliun. Selandia Baru memiliki industri dairy yang modern dan mutakhir seperti Kraft Foods di Ringwood, Melbourne yang telah memfokuskan perhatiannya pada pangsa pasar pangan di Asia.  Adapula perusahaan konglomerat Australia, Murray Goulburn dengan investasi sebesar AUD $120 juta untuk membangun dua perusahaan pemrosesan susu di New South Wales dan Victoria.  Bayangkan keuntungan yang diperoleh pemerintah dan perusahaan besar Selandia Baru dan Australia terhadap pasar Indonesia saja.  Sedangkan Indonesia, sekali lagi  hanya menjadi pasar.  Apalagi banyak UMKM yang dimiliki perempuan, seperti bisnis makanan, tergantung pada hasil produk susu.

Dalam hal ini, gerakan UMKM yang menjadi salah satu fokus APEC WEF 2013 hanya dibutuhkan sebagai  pasar produk korporasi besar. Dalih mencapai pembangunan yang berkelanjutan dengan mengutamakan keadilan dan kesetaraan (achieving sustainable growth with equity) di antara ekonomi anggota APEC melalui peningkatan daya saing global UKM, hanyalah pemanis semata.  Perempuan yang dianggap belum mendapatkan kesetaraan akan diberikan pelatihan dan pendampingan dalam literasi keuangan dan ICT (Information Communications Tecnology) dengan melibatkan pihak swasta. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong langkah strategis peran perempuan dan anak Indonesia dalam pembangunan ekonomi.  Sejak Juli 2013, OJK dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menandatangni nota kesepemahaman tentang peningkatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan bagi perempuan dan anak.

Pada Agustus 2013 lalu Prudential Indonesia bekerja sama dengan berbagai mitra mengadakan lokakarya literasi keuangan bagi para perempuan dan pengusaha kecil di berbagai kota di Indonesia.  Untuk menyelenggarakan program  itu Prudential menginvestasikan dana sebesar US$ 10 juta atau Rp 100 miliar  untuk jangka waktu 3-5 tahun ke depan.  Dengan memiliki kemampuan literasi keuangan, perempuan akan cerdas dalam  mengelola pendapatan dan pengeluaran, memanfaatkan kredit, asuransi, tabungan dan investasi.  Sehingga peluang mencapai kebebasan keuangan pun akan semakin besar. Merekalah yang akan menjadi pasar potensial bagi produk barang dan jasa keuangan yang dikeluarkan korporasi raksasa milik asing seperti Prudential.  Apalagi dalam pertemuan ketiga Asosiasi Inter Bank China-ASEAN (China-ASEAN Inter-Bank Association/CAIBA) di Beijing 16-17 Oktober 2013, perbankan negara-negara ASEAN dan Cina sepakat untuk meningkatkan kerja sama di berbagai sektor keuangan, utamanya dalam bidang investasi dan perdagangan.

Indosat juga mengambil peran melalui berbagai program dukungan ICT untuk perempuan dalam berbagai layanan telekomunikasi.   Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli telah menandatangani MOU dengan Bank BTPN untuk memberikan kemudahan pembayaran melalui layanan seluler (Dompetku) bagi segmen perempuan. Kemampuan ICT diperlukan bagi perempuan untuk berhubungan dengan penyedia kebutuhan UMKM-nya, bukan memberi peluang bagi mereka untuk ekspansi pasar lalu tumbuh menjadi korporasi besar.  Menurut sebuah sumber di Kementrian Koperasi dan UMKM, pemerintah hanya memperhatikan pengusaha mikro  saja.  Itupun hanya memfasilitasi penyelenggaraan pameran.  Sedangkan pencarian pasar, diserahkan pada pengunjung/ importir yang langsung mendatangi lokasi pameran.

Jika demikian, dimanakah kesetaraan itu?  Bagaimana usaha mikro yang nilai penjualannya  di bawah Rp 50 juta/tahun harus bersaing dengan perusahaan besar yang nilai penjualannya puluhan hingga ratusan milyar?  Bukan hanya UMKM milik perempuan, yang jumlahnya 60% dari total UMKM Indonesia- saja yang tidak kuat, namun semua jenis UMKM.  Jadi sebenarnya, mereka hanya menjadi rantai kecil rantai bisnis raksasa, bahkan mereka hanya berposisi sebagi pembeli produk negara-negara kuat APEC.  Perempuan dimobilisasi untuk memiliki UMKM -hingga  Amerika Serikat yang pemerintahannya sempat shut down di pekan awal Oktober 2013 akan mengucurkan bantuan dana 80 ribu dolar AS kepada para pengusaha perempuan di kawasan Asia Pasifik (APEC)- untuk meningkatkan peran perempuan dalam dunia usaha.  “Saya sangat senang mengumumkan bahwa kami akan menyediakan 80 ribu dolar AS untuk medukung ekspansi program kepada pengusaha perempuan dan pembina,“ kata Duta Besar AS untuk Urusan Wanita Global, Cathy Russell pada Forum Wanita dan Ekonomi APEC ke-3 di Bali, 6 September 2013.

Tujuannya hanyalah menjadikan perempuan memiliki penghasilan sendiri, sehingga dia menjadi konsumen potensial bagi produk asing.  Survei Boston Consulting Grup (BCG) menyimpulkan bahwa secara global  perempuan akan mengontrol  15 triliun dolar untuk belanja pada tahun 2014. Dan  pada tahun 2028, BCG  mengatakan perempuan akan bertanggung jawab  bagi dua-pertiga belanja konsumen di seluruh dunia. Survei ABAC (APEC Business Advisory Council) menyimpulkan, di Indonesia perempuan memegang 65 persen keputusan konsumsi sehingga sedikitnya 300 miliar dollar AS konsumsi diputuskan kaum perempuan.  Di negara-negara maju, banyak barang yang dihasilkan sudah overproduksi. Namun karena krisis yang menimpa, pasar dalam negeri negara maju mengalami pelemahan daya beli.  Untuk itulah diperlukan kemandirian finansial perempuan Indonesia agar mampu membeli apapun yang mereka tawarkan.

Indonesia memang memiliki potensi pasar yang amat besar, termasuk di bidang kecantikan. Menurut data dari riset pemasaran EuroMonitor International, tingkat pertumbuhan industri kecantikan di Indonesia rata-rata 12 persen. Di tahun 2014, pertumbuhannya diprediksi mencapai 20 persen.  Karena itu penyelenggaraan pameran CosmoBeaute 17-19 Oktober 2013 diikuti sebanyak 220 perusahaan dan lebih dari 600 brand kecantikan hadir memamerkan produk dan serta teknologi terbaru mereka.  Mayoritas yang mengisi pameran, sekitar 70 persen berasal dari brand-brand luar negeri.  Para pengunjung yang datang pun berasal dari pemilik salon kecantikan dan spa, salon rambut dan kuku, para importir, hotel, sekolah kecantikan, department store, yang bisa jadi didominasi perempuan. Inilah upaya untuk menjadikan perempuan sebagai pelaku bisnis dan menyasar industri gaya hidup yang dipromosikan lewat ajang kompetisi kecantikan.

Realitas itu juga makin membuktikan bahwa Indonesia hanya menjadi pasar produk asing, karena  produk lokal Indonesia bukan menjadi jualan utama pameran tersebut.  Apalagi publik Indonesia, khususnya kelas menengah perkotaan, terdidik oleh media untuk lebih merasa bergengsi jika menjadi konsumen barang impor.   Sungguh malang, pemerintah Indonesia tidak sanggup menjadi tuan rumah untuk produk buatan rakyatnya sendiri.  Sedangkan perempuan, hanya menjadi korban sindikasi bisnis dengan memanfaatkan sisi keperempuanannya saja.  Jadi, bagaimana UMKM mau menjadi pemain utama bisnis?

Selain itu, untuk pengembangan usahanya, perempuan membutuhkan kredit. Karena itu Komnas Perempuan menginginkan pemerintah mengamandemen pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan perempuan sebagai pihak yang tidak cakap melakukan perjanjian, termasuk membuat perjanjian kredit dengan Bank.  Mereka ingin pemerintah segera mewujudkan pasal 13 UU nomor 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan  yang menyatakan persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan.  Sekali lagi kucuran kredit perbankan itu bukan untuk memfasilitasi perempuan menjadi pengusaha besar, namun sebagai peluang nasabah dari 49 persen masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan.  Dari sisi usaha mikro, kecil, dan menengah yang jumlahnya di Indonesia sekitar 52 juta orang, masih banyak yang belum bersentuhan dengan institusi keuangan bank.  Apalagi Bank Indonesia sudah menerbitkan aturan agar setiap bank di Indonesia harus menyediakan porsi 20 persen dari kreditnya untuk sektor UMKM pada tahun 2018.  Siapa yang menangguk untung?  Jelas pemain bisnis perbankan, yang 10 dari bank terbesar di Indonesia 6 di antaranya dimiliki pemodal asing seperti BCA (Mauritius), CIMB Niaga (Malaysia), Danamon (Singapura), Panin (Australia), Permata (Inggris), BII (Malaysia), sisanya adalah bank plat merah.

Eksploitasi Tenaga Kerja

Kesepakatan lain dalam penerapan pasar bebas yang menjadi tujuan pertemuan APEC di Bogor 1994 (Bogor Goals) adalah liberalisasi. Liberalisasi perdagangan itu dilakukan melalui penurunan hambatan-hambatan dagang, peningkatan investasi, peningkatan arus barang, jasa, modal, dan manusia secara bebas dan konsisten. Hal itu dikuatkan melalui prioritas APEC 2013 yang ketiga yakni meningkatkan konektivitas (promoting connectivity).  Perbaikan konektivitas di kawasan Asia Pasifik meliputi konektivitas fisik infrastuktur, konektivitas (perbaikan) institusi dan  ataupun hal-hal yang diperkirakan memperlancar hubungan antar penduduk (people to people).

Semuanya jelas merugikan Indonesia.  Anggota APEC Business Advisory Council (ABAC), Heru Dewanto mengatakan Indonesia pada dasarnya belum siap untuk terjun ke dalam liberalisasi perdagangan. Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, misalnya, menyebutkan bahwa liberalisasi investasi dan perdagangan dalam kerangka APEC itu hanya akal-akalan pemerintah untuk mendapatkan dana segar dalam mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. Menurutnya, APEC hanyalah motif utama pemerintahan SBY untuk mengatasi krisis, mendapatkan dana baru, pinjaman baru untuk mengatasi defisit, yang dibungkus dalam proyek-proyek ekonomi.

Proyek-proyek ekonomi ini menjadi bagian penting bagi pengusaha dari negara kuat untuk menanamkan investasinya, sekaligus mengokohkan cengkeraman bisnisnya di Indonesia.  Pada pertemuan pejabat senior (SOM) II APEC di Surabaya 15 April 2013, Ketua SOM Indonesia Yuri O. Thamrin menyebutkan bahwa tahun 2010-2020, wilayah Asia Pasifik diperkirakan akan membelanjakan kisaran 8 triliun dolar untuk berbagai proyek infrastuktur seperti energi, transportasi, komunikasi dan lainnya. “Saya tahu persis ada banyak sekali sumber dana pembiayaan di Asia Pasifik yang nganggur dan terus menunggu proyek-proyek yang layak dibiayai,” tegas Khamran Khan, wakil World Bank.

Apalagi APEC Bali ditargetkan untuk menghasilkan dokumen visioner yang menentukan wajah APEC pada 2030, seperti yang disampaikan Wakil Menlu Wardana saat konferensi pers 3 Oktober 2013 menjelang acara puncak APEC.  Penyusunan dokumen visioner yang  mengarah pada APEC 2030 itu  adalah promosi tentang pembangunan infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, pelabuhan dan bandara. Tentu saja yang mampu bermain dalam bisnis padat modal ini hanyalah korporasi asing.  Dalih yang dikemukakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur demi meratakan pembangunan ke wilayah-wilayah terpencil Indonesia hanya omong kosong belaka.  Dukungan infrastruktur itu justru di masa depan akan memuluskan pemasaran produk barang dan jasa dari pemain kuat juga.

Lalu dimana posisi rakyat, termasuk para perempuan dalam pusaran modal pebisnis global?   Mereka hanya memperoleh remah-remah kue raksasa yang diperebutkan pemodal asing.  Bukannya melindungi rakyatnya, Pemerintah malah justru memberikan karpet merah demi memuluskan tujuan itu.  Seperti pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) sebagai kawasan transmigrasi di perbatasan yang diprogramkan Kemenakertrans. Salah satu contoh kawasan transmigrasi itu adalah Salor, sebuah KTM yang di berada di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.

Kawasan KTM Salor dibangun sejak tahun 2009 dengan luas wilayah sekitar 96.340 Ha, yang terdiri dari areal pembangunan dan pengembangan permukiman seluas 36.500 Ha dan areal untuk pengembangan investasi perkebunan seluas ± 59.840 Ha. Komoditas yang dikembangkan dengan skala ekonomis di KTM Salor adalah padi, tebu dan palawija. Dalam pelaksanaan pembangunannya, kawasan KTM Salor diintegrasikan dengan program MIFEE (Merauke Integrated Food dan Energy State) yang merupakan program pemerintah untuk memenuhi swasembada pangan nasional.

“Pengkaplingan” wilayah Indonesia demi kepentingan investasi swasta (asing), sejalan dengan Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali – Nusa Tenggara dan Papua-Kepulauan Maluku.  Strategi pembangunan ekonomi Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku difokuskan pada 5 kegiatan Ekonomi utama, yaitu Pertanian Pangan – MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate), Tembaga, Nikel, Migas, dan Perikanan. Pengembangan MIFEE dialokasikan seluas 1,2 juta diarahkan pada terbangunnya kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, serta perikanan darat.  Proyek-proyek itu amat menggiurkan para investor.  Pada tahun 2010 jumlah investor yang memperoleh konsesi untuk merajai tanah di Merauke sebanyak 39 investor. Dalam waktu setahun, investor yang mendapatkan konsesi meningkat menjadi 48 investor. Kabarnya di tahun 2012 investor yang masuk di dalam skema MIFEE bertambah menjadi 62 investor. (http://en.ihcs.or.id/?p=296).

Jadi dengan transmigrasi, pemerintah berusaha untuk menyediakan tenaga buruh murah dari kawasan padat di Jawa untuk food and energy estate yang padat karya.  Maklum, kepadatan populasi Papua adalah 12,6 jiwa/km2, jauh lebih rendah dari rata-rata kepadatan populasi nasional yang 124 jiwa/km2.  Maka sebenarnya pemerintah tak hendak menumbuhkan wilayah ekonomi baru untuk mengentaskan kemiskinan Papua dan wilayah tertinggal lainnya.  Mereka hanya ‘menyediakan’ kebutuhan tenaga kerja bagi proyek-proyek perkebunan.  Jadi penduduk lokal ataupun pendatang hanya mendapatkan recehan, sedangkan keuntungan utama jelas dinikmati oleh kalangan kapitalis, baik yang berinvestasi untuk pembangunan infrastruktur, industri ataupun perbankan.

Eksploitasi tenaga tersebut tidak hanya menimpa laki-laki.  Era transmigrasi yang memposisikan perempuan hanya menjadi ‘istri petani’ seperti masa Orde Baru lalu sudah berubah.  Berhadapan dengan kemiskinan, perempuan kini harus ikut menanggung beban kehidupan dengan berbondong-bondong memasuki dunia kerja.  Apalagi pola perkebunan dalam bentuk food estate (perusahaan perkebunan) jelas membutuhkan tenaga kerja (buruh tani) untuk produksi maupun pengolahan hasil kebun.  Bukankah ini membuka pintu eksploitasi tenaga, seperti yang biasa terjadi dalam proyek-proyek industri kapitalis?

Di sisi lain, konektivitas akan membuka arus migrasi tenaga kerja besar-besaran di kawasan Asia Pasifik.  ASEAN akan memulainya dengan menerapkan ASEAN Economic Community 2015 (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang akan mulai berlaku Desember 2015. Migrasi menjadi isu penting pada saat  dunia menghadapi krisis ekonomi global.  Dengan dalih pertumbuhan ekonomi, transfer teknologi dan budaya, setiap negara dipaksa untuk menerima konsep kepentingan migrasi bagi pembangunan.  Indonesia akan menghadapi serbuan tenaga ahli madya dan profesional dari sesama anggota ASEAN dan ekonomi APEC.  Apalagi dengan tumbuhnya industri yang menggunakan teknologi canggih, pemanfaatan tenaga asing sebagai technical assistance menjadi satu paket dengan investasi modal asing.

Sedangkan pasar kerja di Indonesia memiliki kelebihan penawaran tenaga kerja tidak terampil.  Kondisi ini menjadikan posisi tenaga kerja Indonesia memiliki posisi tawar yang lemah.  Sungguh pemerintah yang tidak bertanggung jawab, membiarkan rakyat bersaing dengan tenaga ekspatriat.  Padahal kualifikasi mayoritas tenaga kerja Indonesia yang kurang trampil, kurang terdidik, kurang memiliki etos kerja kuat terjadi karena pemerintah tidak memberi akses bagi peningkatan kualitas diri mereka.   Sejarah terulang lagi, Indonesia kembali dijajah bangsa-bangsa asing.

Kalaupun Indonesia ikut memeriahkan migrasi tenaga kerja, yang dominan adalah pengiriman TKI/TKW untuk pekerjaan informal.  Kemenakertrans memang telah mencegah pengiriman TKI illegal tanpa dokumen yang sering menjadi sasaran empuk penangkapan aparat Malaysia dan TKI yang direkrut lewat calo, karena mereka dikirim tanpa bekal ketrampilan, hingga menjadi sasaran kekerasan majikannya.  Artinya, pemerintah cukup puas hanya berposisi sebagai sending countries ‘tenaga babu’. ILO (International Labour Organization) memperkirakan, lebih dari 60 persen dari jumlah PRT di seluruh dunia berasal dari Asia. Mereka datang dari Indonesia, Filipina, Srilanka, Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Vietnam.  Estimasi ILO pada tahun 2009 menyebutkan jumlah PRT di seluruh dunia sebanyak 50 juta orang dan kurang lebih 3 hingga 4 juta PRT bekerja di Indonesia.

Karena itu ASEAN telah mengeluarkan Deklarasi Tentang Perlindungan Dan Pemajuan Hak-hak Pekerja Migran dengan membentuk ASEAN Committee On The Implementation Of The ASEAN Declaration On The Protection And Promotion Of The Rights Of Migrant Workers  (ACMW)  untuk menangani masalah perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran. Bukan untuk sekedar melindungi buruh migran dari kebiadaban majikan dan negara penerima mereka, namun agar memastikan pengiriman buruh migran tidak terhenti karena isu-isu tersebut.

Bukankah kondisi ini menggenaskan?  Perempuan Indonesia kembali dimobilisasi untuk pergi jauh meninggalkan anak dan keluarganya hanya untuk dieksploitasi tenaganya dan dikeruk penghasilannya melalui remitansi yang dikirim ke negeri asal dan pajak yang dibayarkan di negara tempat kerjanya.  Wajar jika Analis Kebijakan Migrant care Wahyu Susilo mengatakan migrasi tenaga kerja merupakan bisnis yang menguntungkan dan sampai sekarang migrasi Tenaga kerja masih berbiaya tinggi.   Mau bagaimana lagi?  Pada saat pemerintah belum bisa menjamin kesejahteraan, menjadi buruh migran menjadi solusi satu-satunya bagi kalangan bawah negeri ini.  Hasil penelitian lapang yang dilakukan syabbah MHTI di kabupaten Cianjur menunjukkan motif menjadi TKW adalah keinginan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga.  Bahkan dampak perdagangan bebas yang menyebabkan sentra industri tekstil di Majalaya dan Ciparay, Bandung bangkrut menunjukkan 5% responden menjadi TKW, bahkan anak ikut menjadi TKW (5%).

 

 

Khatimah

Begitulah, realitas lapang menunjukkan betapa rusaknya rancangan perdagangan bebas itu.  Berapa banyak keluarga Indonesia harus terputus akses ekonominya, karena industri lokal tidak berdaya menghadapi serbuan investor asing yang padat teknologi.  Di Majalaya sebanyak 73.9% korban PHK disebabkan pabrik bangkrut, 21% karena pemutihan dan hanya 5% karena alasan kontrak dengan pabrik telah habis.  Sejumlah 84.2% responden korban PHK di Majalaya mengaku kondisi ekonomi keluarga tidak stabil dan terguncang  sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Tidak hanya sumber nafkah rumah tangga yang terganggu namun perempuan  juga ikut menjadi korban.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga, contoh kasus pada keluarga korban PHK di Majalaya. Mulai dari menjual barang-barang yang ada di rumah (5%), suami mencari pekerjaan tambahan (5%), hingga istri harus  bekerja membantu suami (78.9%). Berbagai pekerjaan dilakoni Istri, mulai dari jualan gorengan dan berdagang makanan keliling (68.4%), menjadi buruh pabrik dan karyawan toko (11%), mengelola sawah pribadi (5%),

Demikianlah realitas APEC Women.  Langsung maupun tak langsung amat merugikan, bahkan menghinakan perempuan.  Fitrah keibuan mereka harus tersingkir, tergantikan dengan peran ekonomi saja.  Itupun tak bisa dinikmati secara nyaman.  Karena penghasilannya tak bersisa dieksploitasi produk dan jasa kapitalis, melalui penciptaan kebutuhan-kebutuhan baru.  Tenaganya habis ‘didarmabaktikan’ bagi kemajuan majikan-majikan pemilik korporasi besar.  Mereka juga harus rela menggadaikan idealismenya, sebagai makhluk Allah yang kritis dalam menegakkan kema’rufan dan menghilangkan kebenaran bila berbenturan dengan kemaslahatan ekonominya. Padahal, hingga habis harta dan tenaga, masih saja mereka berhadapan dengan masalah klasik yang dihasilkan dari praktek ekonomi kapitalistik.  Jadi, mengapa kita tidak menjadi arus yang mendorong umat untuk memutus kepatuhan negeri-negeri muslim terhadap Barat?  Mengapa kita tidak memobilisasi perempuan untuk mengambil peran penting untuk menghapus penjajahan kapitalis?  Demi masa depan yang mensejahterakan, demi kehidupan yang berkah penuh ridlo Illahi dalam naungan Khilafah Islamiyyah ‘alaa minhajil nubuwwah. [PJS]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*