Negeri kita mah ada pemimpin atau tidak, tetap saja bisa berjalan.” Begitu di antara isi obrolan saya dengan beberapa tokoh awal Oktober lalu. Sebenarnya, ungkapan tersebut lebih mencerminkan betapa harapan dan kepercayaan kepada pemimpin di negeri Muslim terbesar ini nyaris lenyap, kalau tidak boleh dikatakan hilang sama sekali.
Pandangan ini wajar belaka. Sebagai gambaran, Presiden AS Barack Obama beberapa kali menunda kunjungannya ke luar negeri. Alasannya, kondisi dalam negeri lebih memerlukan dirinya. Pada Maret 2010, Obama membatalkan kunjungannya ke Indonesia. Rencana itu batal lantaran Presiden Obama tengah membahas masalah undang-undang tentang perawatan dan asuransi kesehatan bagi warga AS. “Saat ini AS sedang berada dalam posisi kritis,” ujar Presiden Paman Sam tersebut menyampaikan alasan.
Penundaan terulang kembali pada Juni 2010. Saat itu AS sedang menghadapi masalah tumpahan minyak yang parah di perairan AS.
Pada Oktober 2013, Obama membatalkan hadir pada forum APEC di Bali. Lagi-lagi, alasannya kondisi dalam negeri yang tidak memungkinkan. AS sedang shutdown. Bahkan Obama telah menjadikan agenda-agendanya di Afganistan, nuklir Iran dan Korea Utara, serta konflik Timur Tengah untuk kepentingan nasionalnya. Apa yang dia rancang di Asia Pacifik, termasuk APEC, hanyalah untuk menciptakan pekerjaan dan kepentingan rakyat AS. Jauh sebelumnya, Obama mengatakan, “Here, we see the future. As the world’s fastest-growing region-and home to more than have the global economy—the Asia Pacific is critical to achieving my highest priority: creating jobs and opportunity for the American people.” Demikian kata dia di depan Parlemen Australia (17/11/2011). Realitas ini sekadar untuk menunjukkan bahwa pemimpin negara imperialis saja memperhatikan rakyatnya.
Berbeda dengan itu, Presiden SBY memang senang blusukan; bukan ke Aceh, Poso, Papua, atau daerah miskin lainnya melainkan blusukan ke luar negeri. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan bahwa untuk tahun 2010 saja rata-rata biaya jalan-jalan ke luar negeri sebesar Rp 179 miliar pertahun, atau sekitar Rp 14 miliar perbulan. Padahal asuransi kesehatan masyarakat miskin hanya Rp 1 triliun pertahun untuk 32.53 juta rakyat miskin, atau Rp 12.809 perorang. Kepentingan rakyat diabaikan. Bahkan di depan peserta APEC CEO Summit di Nusa Dua, Bali, Ahad (6/10/2013), SBY menyatakan dirinya sebagai Kepala Penjualan Perusahaan Indonesia (Chief Salesperson of Indonesia Inc). Seakan-akan beliau menegaskan bahwa hubungan rakyat dan penguasa adalah hubungan antara pemilik modal dengan konsumen. Beliau pun menyiapkan landasan helipad Obama dengan biaya Rp 2 miliar. Uang sebanyak itu pun hangus begitu saja karena Obama urung datang. Bila uang itu digunakan untuk memberi makan orang miskin sehari Rp 20000 akan ada 100.000 orang mendapat bagian. Kekerasan sebagaimana terjadi di Papua pun kurang mendapatkan perhatiannya. Perhatian terlihat demikian cepat bila persoalan menyangkut partai atau dirinya.
Rasa keadilan pun nyaris tidak ada lagi. Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebagai tersangka korupsi sungguh mempertontonkan puncak mafia peradilan secara telanjang. Hukum dipermainkan. Konstitusi ditarik ke sana ke mari sesuai dengan besaran uang. Kasus pembunuhan yang menyangkut pejabat segera diselesaikan. Namun, ketika yang terbunuh rakyat jelata. pengusutan pun membisu seribu bahasa.
Di Bandung, saya bertemu dengan seorang tua yang anaknya meninggal sebelum Ramadhan 1434 H lalu. “Anak saya meninggal karena disiksa, dipelonco. Perutnya bocor. Pelakunya adalah tentara. Anak itu saya besarkan, sekolahkan, dicarikan pekerjaan, dan setelah itu mereka bunuh ia,” keluhnya kepada saya.
“Kini sedang dalam persidangan. Namun, belum tahu apa yang terjadi. Di dunia seperti ini memang tidak bisa mencari keadilan. Keadilan itu hanya untuk orang yang punya duit atau dekat dengan kekuasaan,” tambahnya. Lagi-lagi, rakyat diabaikan.
Ironis. Pemimpin lebih mementingkan dirinya, kelompoknya, atau pihak asing dengan membiarkan rakyatnya. Berkaitan dengan hal ini, Abu Dawud, al-Baihaqi dalam Al-Kubra dan Ash-Shaghir, dan Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengurusi urusan kaum Muslim, lalu ia menghindar dari kebutuhan, kekurangan dan kefakiran rakyatnya, Allah pasti akan menutup diri darinya ketika ia kekurangan, membutuhkan dan fakir.”
Imam Ahmad dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Syuraik, dari Abu Hushain, dari al-Wabili sahabat dekat Muadz bin Jabal, dari Muadz, yang berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan orang banyak, lalu ia menghindar dari orang yang lemah dan yang membutuhkan, pasti Allah akan menutup diri darinya pada Hari Kkiamat.”
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dalam hadis tersebut terdapat ancaman keras terhadap orang yang menjadi penguasa bagi rakyat. Ancaman tersebut berlaku pada penguasa yang menghalangi diri untuk memenuhi hak-hak masyarakat atau jika ia menyia-nyiakan rakyatnya tanpa uzur. Syaikh Faishal bin Abdil Aziz al-Mubarak menuturkan, “Ini adalah ancaman yang keras bagi orang yang menutup diri dari rakyatnya sehingga ia tidak menunaikan hajat-hajat rakyatnya; baik ia seorang raja, menteri, hakim, pemimpin, kepala bagian ataupun tingkatan yang lebih rendah lagi selama termasuk orang yang mengurusi urusan masyarakat.” (Tathriz Riyadh ash-Shalihin, hlm. 427).
Selain itu, Nabi saw. menegaskan, “Sesungguhnya sejelek-jelek penggembala adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya.” (HR Muslim).
Penguasa adalah penggembala. Penguasa yang kasar dan abai pada kepentingan rakyatnya merupakan penguasa yang sejelek-jeleknya. Berkaitan dengan kehidupan pemimpin Islam, Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Seorang khalifah tidak halal memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya. Satu piring lagi untuk ia berikan kepada rakyatnya.” (HR Ahmad).
Kapankah penguasa kaum Muslim akan sadar? [MR Kurnia]