Kenaikan Tarif Jalan Tol, Kemitraan Pemerintah Swasta Dan Khilafah
Oleh : Maiyesni Kusiar (Lajnah Mashlahiyah – MHTI)
Pemerintah sepertinya sangat ‘kreatif’ membuat rakyatnya susah. Pada awal tahun kita telah disuguhi dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) . Rakyat, terutama yang miskin dan hampir miskin, dibuat menjerit akibat kenaikan TDL yang diikuti kenaikan harga barang dan jasa. Tidak sampai di situ pertengahan tahun ini pemerintah kembali menaikkan harga BBM yang memicu harga barang kebutuhan pokok merangkak naik tanpa kendali. Belum lagi hilang rasa ‘shock’ masyarakat, pemerintah kembali memberikan kado pahit berupa kenaikan tarif 13 jalan tol sebesar 10-15%, yang diberlakukan sejak 11 Oktober 2013 (Detik.com/4/10/13). Parahnya lagi, mahalnya tarif jalan tol tersebut tidak berarti kualitas pelayanan menjadi lebih baik. Berbagai persoalan yang membebani masyarakat pengguna jalan tol hingga saat ini masih berlanjut, seperti antrian panjang dipintu tol, kecepatan minimum kurang dari 60 Km/jam, kemacetan yang sama dengan jalan tak berbayar bahkan lebih parah, serta kondisi jalan yang tidak selalu mulus. Bahkan akibat kemacetan parah pada ruas tol Cikarang-Tanjung Priok membuat kegiatan pengiriman barang berkurang dari 3 rit/hari menjadi 1 rit/hari. Kemacetan itu sangat merugikan pelaku usaha karena keterlambatan pengiriman barang bisa berujung penalti dari pihak pemesan (Inilah.com, 20 September 2013).
Akibat Tata Kelola Kapitalistik.
Adapun kenaikan tarif jalan tol, hal ini telah diatur dan dilegalkan Undang-Undang (UU) 38 Tahun 2004 pasal 48 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.15 Tahun 2005, khususnya pasal 68 yang mengatur soal evaluasi dan penyesuaian tarif tol yang dilakukan setiap 2 tahun sekali . Dimana kebijakan ini tidak terlepas dari tata kelola jalan yang kapitalistik. Yaitu dijadikannya Public Private Partnership (Kemitraan Pemerintah dan Swasta, KPS) sebagai modelnya. Yang tak kalah menariknya adalah pola KPS ini tidak hanya diberlakukan antara pemerintah dengan perusahaan swasta murni akan tetapi juga terjadi antara pemerintah dengan perusahaan milik negara. Sebagaimana diketahui PT Jasa Marga Tbk pengelola sebagian besar jalan tol merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun sekalipun milik Negara tetapi persis sama dengan perusahaan swasta, bisnis menjadi orientasi utama, bukan pelayanan. Pada tataran inilah kerangka kemitraan pemerintah swasta memiliki ruang dalam tatakelola jalan tol.
Pemerintah berkerja sama dengan PT Jasa Marga Tbk dengan bingkai konsensi, yaitu salah satu varian dari model KPS. Pemerintah memilih kontraktor swasta untuk bertanggung-jawab penuh untuk memberikan pelayanan infrastruktur pada wilayah tertentu. Sesuai konsensi, pihak swasta dalam hal ini PT Jasa Marga bertindak sebagai operator, pemeliharaan dan manajemen, sementara peran pemerintah tidak lebih sebagai regulator . Pembiayaan investasi pada konsensus diambilkan dari tarif yang dibayarkan oleh pengguna, sehingga aspek bisnis sangat menonjol.
Akibatnya, sekalipun tarif jalan tol ditetapkan bersadarkan kemampuan bayar pengguna jalan, namun aspek komersial, keuntungan tetap yang lebih menonjol. Yaitu kelayakan investasi dan Keuntungan Biaya Operasi Kendaraan (BKBOK) dan setiap dua tahun terjadi kenaikan tarif disesuaikan dengan inflasi. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan ada indikasi kenaikan tarif tol tidak wajar. Karena pada ruas jalan tol tertentu yang demikian padat, faktor peningkatan lalu lintas harian rata-rata (LHR) ruas jalan tol itu tidak ikut diperhitungkan dalam penentuan tarif tol yang baru.”Padahal dengan kenaikan volume jumlah pengguna jalan tol yang ‘bermacet ria’ di jalan tol, sebenarnya tarif tol tidak naik pun penyelenggara (operator) tetap untung (Neraca, 4/10).
Pada faktanya pengelolaan layanan publik dengan kebijakan kemitraan pemerintah swasta (KPS) mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Inggris yang merupakan pioneer KPS telah meninjau ulang pendekatan ini dan bahkan pemerintahan Cameron telah membatalkan program Building Schools for the Future yang menggunakan skema KPS. Skema KPS akan membuat harga menjadi mahal namun layanannya buruk. seperti diungkap daily telegraph bahwa untuk satu bola lampu yang dipasaran harganya 65 pence, dengan pola KPS dihargai 22 pound. Studi Cuthbert and Cuthbert (2008) tentang rumah sakit The Royal Infirmary of Edinburgh, tempat yang dibangun dengan skema KPS menunjukkan bahwa dengan capital cost berdasarkan KPS, sebenarnya pemerintah bisa dapat dua rumah sakit dengan standar yang sama yang dibangun dengan skema tradisional.
Perlu diketahui sebagian besar jalan tol yang ada saat ini merupakan milik Jasa Marga (Persero) Tbk merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagaimana diungkapkan oleh Seri S, Adityawarman, Direktur Utama Jasa Marga bahwa Jasa Marga sampai hari ini mengoperasikan lebih kurang 545 kilometer, dari panjang jalan tol di Indonesia sekitar 750 km, atau sekitar 73 persen. Sungguh memprihatinkan. jalan yang sejatinya merupakan urat nadi transportasi yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam pengadaannya sesuai kebutuhan masyarakat , justru dijadikan lahan untuk mencari untung oleh negara . PT Jasa Marga (Persero) Tbk. memperoleh pendapatan usaha pada tahun 2012 sebesar Rp 5,6 triliun. Dimana pendapatan usaha tersebut meningkat 14,3% dibandingkan pendapatan tahun 2011 sebesar Rp 4,9 triliun. Sedangkan untuk tahun 2013 ditargetkan sebesar Rp 6,5 triliun, demikian dikemukakan Direktur Utama Jasa Marga Adityawarman.
Tidak cukup sampai di situ, bukannya berhenti dengan model KPS, pada APEC CEO Summit menurut Menteri Keuangan baru-baru ini, telah “ditasbihkan” Indonesia sebagai model KPS di kawasan Asia- Pasifik. Karena itu dapat dipastikan model KPS juga akan dijadikan bingkai pembangunan jalan Tol Trans-Sumatra dan Trans Jawa. Jalan Tol Trans-Sumatra sepanjang 2.700 km yang menghubungkan Lampung dengan Aceh pada 2012 diperkirakan akan menelan dana sebesar Rp150 triliun . Sementara jalan tol Trans Jawa sepanjang 1000 km menghubungkan Surabaya-Jakarta. Ujungnya, secara keseluruhan kesengsaraan masyarakat kian parah.
Realitas ini,bila dicermati adalah hal yang niscaya dari sistem politik demokrasi, kapitalistik. Dalam kaca mata kapitalis negara tidak ubahnya seperti korporasi besar dimana pemerintah berperan sebagai salesperson sebagaimana yang diakui sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dihadapan peserta APEC CEO Summit di Nusa Dua, Bali, Minggu (Detik.com, 6/10). Sehingga tidak heran jika hubungan penguasa dengan rakyat tidak ubahnya antara produsen dan konsumen yang mengedepankan aspek bisnis dan kering dari ruh pelayanan.
Penggalakkan pembangunan jalan tol ini akan semakin menguat dengan ditunjukknya Indonesia sebagai proyek percontohan untuk pembangunan infrastruktur, skema ‘public private partnership (PPP Center) di kawasan Asia- Pasifik . Bahkan salah satu agenda utama pada pertemuan KTT APEC tahun 2013 yang diselenggarakan di Bali fokus pada isu konektifitas fisik pengembangan dan investasi infrastruktur. Indonesia, menganggap APEC-CEO Summit 2013 merupakan peluang strategis untuk mendorong sejumlah pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan khususnya dalam skema MP3EI. Secara total kebutuhan pembangunan infrastruktur dalam MP3EI mencapai Rp2.304 triliun. Demi mengakomodasi kebutuhan investasi pembangunan infrastruktur, sejumlah insentif ditawarkan kepada swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur termasuk skema kerja sama KPS .Tidak sampai disitu untuk menarik minat swasta (sejatinya kadang bagian pemerintah juga) untuk berinvestasi di bidang infrastruktur pemerintah telah melakukan harmonisasi, reformasi dan revisi terhadap berbagai aturan yang dianggap tidak market friendly, baik itu berbentuk Undang-Undang maupun Perda, termasuk aturan pelaksanaannya.
Sesungguhnya pengelolaan infratruktur jalan dengan pola KPS tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat banyak justru mereka akan menanggung dampak negtifnya berupa biaya transportasi semakin mahal dan harga-harga barang semakin tak terjangkau. Dan semakin memperjelas bahwa sistem demokrasi kapitalis telah berlepas tangan terhadap riayah umat. Disamping itu dengan konektifitas antar daerah relatif lebih baik maka dengan sistem saat ini liberalisasi terhadap sumber daya alam Indonesia semakin terbuka lebar.
Tata Kelola Jalan Tol Khilafah: Berkualitas dan Gratis
Jalan pada faktanya merupakan fasilatas umum, yaitu suatu fasilitas yang jika tidak ada dalam suatu negara atau komunitas maka akan menimbulkan sengkata dalam mencarinya karena kepentingan manusia secara umum. Dengan kata lain segala benda apapun yang jika tidak terpenuhi dalam satu komunitas, menjadikan mereka bersengketa dalam mendapatkannya dipandang sebagai fasilitas umum yang haram dikuasai atau diperjual-belikan.
Dalam pandangan Islam Pemerintah beserta aparatnya adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam penyelenggaraan fasilitas umum termasuk jalan. Tanggung jawab ini bersifat penuh, sehingga tidak boleh asal terselenggara, yang mengakibatkan fungsi dan wewenang penguasa/Negara tereduksi dan berpindah pada swasta, atau yang lain. Apapun alasannya Negara tidak dibenarkan dibatasi fungsi dan tanggungjawabnya sebatas regulator dan fasilitator saja, dan peran penyelenggaran diserahkan pada swasta, atau yang lain. Yang demikian karena Allah swt telah membebankan tanggung jawab penting lagi mulia ini di pundak Negara (Khalifah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw:”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Sementara itu, pelalaian sedikit saja amanah mulia ini akan berakibat pada kemudharatan yang dibenci Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya, “Tidak boleh membuat mudharat (bahaya) pada diri sendiri, dan tidak boleh pula membuat mudharat pada orang lain”.(HR Ahmad dan Ibnu Majah). Terkait fungsinya sebagai raa’in (pelayan masyarakat), penguasa adalah pihak yang paling tidak boleh mengakibatkan kemudaharatan terhadap rakyat. Adapun jika pemerintah berkepentingan mengontrak swasta untuk kepentingan tertentu yang mendesak, aktivitas ini tidak sampai memandulkan atau mereduksi fungsi, wewenang dan tanggung jawab Negara/Khalifah, sebagaimana yang terjadi pada kebijakan KPS. []