Dari Mubarak Hingga Morsi, Assad Hingga Sisi : Memberontak atau Tidak?

Oleh Reza Pankhurst

Penyingkiran mantan Presiden Mesir Muhammad Morsi telah menunjukkan bangkitnya perdebatan yang memanas tentang kapan diperbolehkan untuk memberontak melawan seorang penguasa muslim. Pada saat ini, fokus diskusi bukanlah pada apakah orang-orang yang memberontak terhadap Morsi dibenarkan melakukan pemberontakan. Sebaliknya, sejumlah ulama dan tokoh telah menyatakan bahwa mereka yang memprotes penyingkiran Morsi-lah yang merupakan pemberontak sesungguhnya – atau dalam istilah Arab – Khawarij, yang digunakan untuk menggambarkan kelompok yang keras memberontak melawan kekuasaan Khalifah Ali pada generasi pertama Islam. Setiap kelompok setelah itu yang dianggap memberontak terhadap seorang penguasa Islam yang sah mungkin akan disebut demikian, karena memiliki karakteristik identifikasi inti yang sama, meskipun ada sejumlah hal lain yang terkait dengan masalah keyakinan dan tindakan.

Timbul pertanyaan – bagaimana bisa bahwa mereka yang protes terhadap seorang penguasa yang dipilih oleh rakyat yang digulingkan oleh segelintir sekularis militer dan kelompok liberal yang dipimpin oleh Jenderal Sisi dianggap sebagai pemberontak dalam kasus ini?
Petunjuk untuk membuka misteri ini adalah dengan melihat siapa yang membuat tuduhan ‘khawarij ‘ (pemberontakan) terhadap para demonstran yang memprotes pelengseran Morsi dari kekuasaanya oleh menteri pertahanan saat ini (dan orang yang sebenarnya berkuasa), Jendral Sisi. Mereka sebagian besar adalah orang-orang yang sama yang mengumumkan bahwa siapa pun yang keluar untuk menentang mantan Presiden Hosni Mubarak adalah kaum khawarij yang tercela – yakni kelompok orang yang beragam, mulai dari mantan mufti Mesir dan lain-lain yang saat ini ada dalam posisi resmi pemerintahan Mesir (umumnya dari latar belakang “spiritual” Sufi , namun juga bergabung dengan partai Salafi, al – Nur), hingga ulama Salafi yang “keras” yang dipekerjakan oleh Monarki Saudi untuk membungkus takhtanya dengan legitimasi Islam.

Bukanlah suatu hal yang terlalu sinis untuk menunjukkan bahwa tampak bagi sebagian orang fatwa yang dikeluarkan itu didasarkan pada kepentingan dan bukan pada penilaian Islam. Bagaimana seseorang bisa menjelaskan bahwa sebagian ulama yang sama yang berbicara menentang protes yang diadakan di alun-alun Tahrir melawan Mubarak pada tahun 2011 dan di lapangan Raba’a terhadap pelengseran Morsi, tetap diam ketika massa keluar untuk memprotes Morsi ketika dia masih menjabat – dan memberikan alasan kepada para pimpinan militer untuk menggulingkannya sebagai presiden. Setelah menuduh orang-orang yang memprotes kepemimpinan militer adalah tindakan pemberontakan yang tidak sah, mereka berpendapat adalah sah untuk membunuh para pemrotes itu untuk mengakhiri protes mereka – dengan memberikan pelindung untuk menghadapi oposisi politik dengan cara kasar yang sering disaksikan di Timur Tengah dan terlihat dalam adegan berdarah selama pembersihan lapangan Raba’a bulan lalu.

Apapun manfaat akademik yang diutarakan dalam argumen mereka, jelas merupakan kasus politik dengan mereka mendikte agama dan bukan kebalikannya. Penting untuk dicatat – aliansi yang tidak biasa antara para pejabat Sufi dan Salafi terbatas pada mereka yang ada di kalangan pemerintah dan tidak selalu mewakili masyarakat – misalnya, di Arab Saudi mayoritas kaum intelektual dan ulama dari semua latar belakang menentang pelengseran Morsi, dan mencela hal itu sebagai kudeta yang tidak sah dan dengan cara yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya mereka secara terbuka menolak sikap Raja Saudi. Oleh karena itu, masalah utama yang melintasi perbedaan dalam yurisprudensi atau pendekatan ini adalah bahwa aliansi ini mewakili pemerintah yang diamanatkan Islam.

Namun, tuduhan ini telah bergerak ke dua arah. Sejumlah orang yang merupakan penentang pelengseran Morsi telah mengklaim bahwa kaum Khawarij yang sesungguhnya dalam kasus ini adalah Sisi dan pemerintahannya, yang layak disebut demikian karena mereka mencopot penguasa Mesir yang sah, suatu posisi yang diperoleh Morsi karena memenangkan pemilu Mesir tahun 2012. Selain itu, jangan dilupakan bahwa selama periode pemerintahan Morsi yang singkat, sebagian kecil orang dalam  saluran televisi satelit Islam (yang sekarang tidak lagi boleh melakukan siaran) sebelum protes tanggal 30 Juni itu juga menyatakan bahwa siapa pun yang memprotes Morsi dianggap sebagai kaum Khawarij.

Untuk menambah kekisruhan ini, Monarki Saudi mendukung pemberontakan yang melawan rezim Assad di Suriah, dalam upaya untuk mengurangi pengaruh regional Iran. Sejumlah orang di monarki mengklaim bahwa pemberontakan bersenjata melawan rezim Assad adalah perintah agama dan patut dipuji, juga mengklaim bahwa protes yang sebagian besar damai yang menentang pemerintahan Sisi merupakan pemberontakan yang tidak sah. Tentu saja ada perbedaan antara sifat rezim Assad dan Sisi, yakni bahwa Sisi adalah seorang Muslim Sunni sementara Assad adalah anggota dari sekte Alawit yang dianggap sesat oleh Sunni dan Syiah, dan rezim Assad sejauh ini lebih kejam daripada Sisi. Namun, yang lebih mendasar, Assad adalah kepala pemerintahan sekuler Ba’athist, sementara Sisi mengendalikan sebuah pemerintahan liberal yang sekuler dan kiri, dan keduanya telah menunjukkan kesediaan untuk menggunakan kekerasan terhadap protes damai. Jadi, posisi yang diambil tampak lebih berkaitan dengan kepentingan Monarki Saudi daripada manfaat perdebatan mengenai perbedaan antara kedua rezim.

Kisah Terkini

Topik pemberontakan di bawah hukum Islam telah menjadi topik yang panas dalam 30 tahun terakhir, bertepatan dengan naik turunnya gerakan bersenjata yang ditujukan untuk menjatuhkan berbagai pemerintah Timur Tengah selama tahun 1980-an dan 90-an. Provokasi, sebagaimana pembatalan kemenangan pemilu FIS di Aljazair pada tahun 1991, menyebabkan sebagian orang mengangkat senjata. Gerakan-gerakan ini percaya bahwa hukum Islam membenarkan pemberontakan terhadap pemerintah yang mereka pandang sebagai pemerintahan kafir dan asusila –  suatu sudut pandang yang ditentang oleh berbagai akademisi dan orang-orang dari lembaga resmi pemerintah, yang menyatakan bahwa para penguasa Muslim harus dipatuhi dan bahwa mereka yang terlibat dalam pemberontakan bersenjata sebenarnya adalah kaum Khawarij, dan harus dibunuh.

Akibatnya, berbagai negara polisi militer mulai dari Aljazair hingga Mesir memiliki dukungan teologis baik untuk memberantas maupun memenjarakan kelompok oposisi Islam (termasuk kaum oposisi yang tidak berpartisipasi dalam perjuangan bersenjata).

Pada akhir 1990-an, sebagai akibat dari kondisi penjara yang buruk selama beberapa tahun ditambah dengan tekanan pada para pemimpin kelompok bersenjata untuk merevisi metodologi mereka, sejumlah ideolog yang dipenjara di Mesir menulis penyangkalan mereka dan mengutarakannya di depan umum atas pemahaman mereka sebelumnya. Upaya ini dipercepat setelah Peristiwa 11/9 dan merupakan bagian dari strategi pemerintah Timur Tengah lainnya, yang tujuannya adalah untuk mengasingkan al- Qaeda dari mereka yang terlihat sebagai teman ideologis mereka.

Akibatnya, perdebatan tentang kapan diizinkan untuk memberontak terhadap para pemimpin Muslim menjadi selesai – atau setidaknya perdebatan ini terbatas pada ruang diskusi terbatas, terutama setelah bintang al- Qaeda memudar pada pertengahan tahun 2000-an sebagai akibat dari meningkatnya konflik sektarian di Irak. Hal itu terjadi hingga pemberontakan Arab dimulai pada tahun 2011. Dengan massa rakyat yang turun ke jalan-jalan untuk melawan rezim di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dan di tempat-tempat lain , perdebatanpun dibuka kembali.

Sekali lagi, adalah para ulama yang diberi mandat oleh pemerintah (dan mereka yang dilatih atau terpikat oleh mereka) yang vokal dalam penentangannya terhadap protes massa, dengan mengklaim bahwa para pemrotes merupakan suatu tindakan khuruj yang tercela – atau suatu pemberontakan – menentang penguasa.

Kembali ke Masa Sekarang

Jadi kita tiba pada diskusi hari ini. Politisasi sinis yang dilakukan oleh ulama Islam yang diberi mandat oleh pemerintah telah menginjak-injak setiap upaya yang nyata untuk menjelaskan bagaimanakah posisi Islam yang benar vis – à – vis  pemberontakan yang bisa dimengerti, mengingat bahwa rezim tersebut selalu lebih peduli untuk mempertahankan cengkeraman mereka pada kekuasaan daripada berpegang pada hukum Islam yang otentik !
Pertanyaan pemberontakan terhadap penguasa tergantung pada dua faktor utama : pertama, jenis protes apa yang diizinkan dan yang apa yang dilarang, dan kedua, protes terhadap jenis penguasa bagaimana pemberontakan itu berlangsung.

Jawaban-jawaban itu dirangkum oleh Dr. M.K. Heykal, seorang sarjana asal Suriah yang pernah menulis tesis PhD “Jihad dan Pembunuhan dalam Syariat Islam” yang menguraikan berbagai hadis Nabi yang berkaitan dengan subjek itu dalam satu bagian karyanya.

Sehubungan dengan jenis pemberontakan yang dilarang, dia menyatakan bahwa pemberontakan bersenjata dilarang untuk melawan penguasa Islam yang sah yang telah diberikan janji setia oleh umat Islam untuk memerintah dengan Quran dan Sunnah (dengan cara Nabi), dan kemudian melanjutkan untuk memerintah dengan Islam. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa pemberontakan yang diperbolehkan dalam sejumlah keadaan tertentu yang jelas menunjukkan bahwa hukum Islam tidak lagi diterapkan sebagai suatu prinsip, seperti pembatalan secara permanen beberapa putusan yang sudah disepakati oleh Syariah. Keadaan seperti itu akan berarti bahwa sistem Islam melewati garis merah yang mendelegitimasi sistem.

Bagi suatu pelanggaran kecil, seperti kelemahan pribadi, aturan yang keras atau perbedaan individual dan penindasan – dia berpendapat bahwa penguasa harus diminta pertanggung jawabannya oleh publik – yang dapat meminta pertanggung jawaban vokal secara publik.

Analisisnya sebagian besar sesuai dengan pengetahuan Islam tradisional arus utama mengenai masalah ini.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini – mengingat protes di Mesir selama dua tahun terakhir – apakah itu menentang pemerintahan Mubarak, dengan mengkritik presiden Morsi atau menentang pelengseran Morsi pada umumnya bukanlah merupakan pemberontakan bersenjata, dan pemberontakan seperti ini tidak akan dilarang dilihat dari sudut pandang digunakannya kekerasan.

Sebaliknya, protes tanpa kekerasan – walaupun protes itu sangat vokal – berada di bawah judul umum melakukan amar makruf nahi munkar dengan lisan, yang dianggap sebagai kewajiban seluruh umat Islam sepanjang waktu selama mereka mampu. Jika protes untuk meminta pertanggung jawaban penguasa itu mengenai suatu hal yang sesuai dengan Islam, maka protes itu akan dipuji, dan jika protes itu adalah untuk menyerukan sesuatu yang melawan hukum Islam, maka itu tindakan akan tercela, tetapi bukan merupakan pemberontakan dengan kekerasan.

Tapi apa yang lebih mendasar adalah faktor kedua – yang berkaitan dengan tipe yang memberontak melawan penguasa. Tidak satupun orang yang disebut di atas merupakan seorang penguasa pemerintahan Islam yang memerintah dengan hukum Islam. Sebaliknya, semua penguasa saat ini memimpin tidak berdasarkan sistim Islam dan didasarkan pada model negara-bangsa (nation-state), dengan konstitusi yang sebagian besar disalin dari yang konstitusi Eropa. Kadang-kadang konstitusi itu mungkin berisi beberapa pasal yang menyebutkan bahwa hukum Syariah harus menjadi salah satu atau satu-satunya sumber hukum – namun kata-kata itu tidak pernah diterapkan di luar tinta halaman konstitusi (dan tidak akan pernah diterapkan, mengingat bahwa gagasan fundamental negara Islam adalah bertentangan dengan model negara-bangsa) .

Dengan kata lain, riwayat-riwayat dari Nabi yang menggambarkan tidak diperbolehkannya memberontak dalam konteks pemerintahan Islam tidak berlaku bagi konteks salah satu realitas pada hari ini, mengingat bahwa tidak ada sistem yang berkuasa sekarang bisa dianggap sebagai sistim Islam.

Ketika muncul pertanyaan mengapa riwayat dan sudut pandang seperti itu digunakan pada masa kini meskipun terdapat fakta bahwa riwayat itu tidak cocok dengan konteksnya sekarang, maka harus diingat bahwa riwayat (hadis) itu umumnya digunakan oleh mereka yang mendukung kekuasaan untuk membenarkan kelanjutan status quo rezim yang tertinggal dalam kejatuhan pasca Perjanjian Sykes Picot di Timur Tengah.

Secara khusus – sejak munculnya kontrol negara terhadap institusi-institusi Islam, dan penunjukan formal atas mufti dan dewan nasional – para ulama tersebut seringkali mengutuk penentangan terhadap pemerintahan sebagai hal yang tidak islami, dengan merujuk kepada pandangan klasik pada umumnya yang diambil dan dikomentari, seperti pandangan Imam Nawawi dalam penjelasannya di Sahih Muslim di mana beliau menyatakan bahwa ada konsensus atas larangan pemberontakan terhadap penguasa. (seharusnya mudah dipahami bahwa Imam Nawawi sedang berbicara tentang seorang penguasa Islam dan bukan tentang pemimpin rezim Ba’athist yang sekuler atau pemimpin negara republik misalnya).

Namun, pemberontakan tahun 2011 menjungkirbalikkan hubungan itu, dan massa pada umumnya diabaikan – sekarang sebagian mendiskreditkan suara-suara para ulama resmi yang dilihat sebagai pembela para diktator penindas, yang mencerminkan sabda Nabi Saw “seorang hamba tidak mendekat kepada penguasa, kecuali dia akan menjauh dari Allah.”

Pertanggung Jawaban Penguasa

Meskipun ada seruan untuk bertindak pasif mulai dari para pejabat yang ditunjuk pemerintah hingga dari para ulama baik dari kelompok Sufi maupun Salafi, massa tetap turun ke jalan. Hingga sekarang, tidak ada pemberontakan yang sepenuhnya berhasil mencabut kerangka kolonial, yang terbukti dengan keberadaan institusi resmi yang tetap berlanjut dari negara-bangsa yang diciptakan secara artifisial dan penciptaan atau kelanjutan pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi yang meniru teori politik dan praktek di Barat. Hal ini berarti bahwa pada saat anggota rezim sebelumnya berjuang untuk kembali memaksakan diri kembali masuk ke dalam struktur negara di Tunisia dan Mesir, dengan dukungan dari orang-orang di negara-negara Teluk dari mulai negara republik hingga monarki yang merasa gugup akan perubahan, para pendukung religius bagi rezim lama mengkemas ulang legitimasi mereka sebelumnya dan mempertahankan kediktatoran untuk situasi yang baru.

 

Penggunaan hukum Islam yang seperti mengejek itu telah memiliki banyak efek – tidak hanya hal ini dapat mendiskreditkan orang-orang yang terlihat sebagai para pembela Mubarak dkk, tetapi mengingat tuntutan Islam dari orang-orang yang terlibat juga dapat membuat masyarakat tidak percaya akan hukum dan politik Islam, dengan meyakini bahwa agama bertindak sebagaimana yang dijelaskan oleh Karl Marx –  yakni candu bagi rakyat, yang digunakan untuk mengkontrol orang-orang yang tertindas. Sementara pada awalnya, para ulama dianggap sebagai garda terdepan yang bertanggung jawab untuk meminta pertanggung jawaban para penguasa Islam, di era kontemporer ini banyak dari mereka yang telah menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan diktator sekuler dan monarki despotik.

Terlepas dari kenyataan bahwa beberapa unsur sikap pasif merayap masuk ke dalam elemen klasik ulama, realitas hukum Islam jauh dari gambaran yang ditampilkan pada hari ini oleh para ulama resmi yang diamanatkan pemerintah. Memiliki penguasa yang bertanggung jawab adalah salah satu tanggung jawab terpenting dari setiap komunitas untuk memastikan masyarakat yang sehat, ditambah dengan disiplin untuk mendukung pemerintah demi kebaikan yang lebih besar meskipun bertentangan dengan kepentingan pribadi.

Riwayat dari Nabi Saw itu mengenai pemberontakan merupakan bagian penting dari budaya amar makruf nahi munkar, doktrin politik yang dianut oleh setiap Muslim sebagai bagian dari agama mereka, dan menjadi penting bagi setiap Muslim untuk memahaminya dengan benar untuk mendapatkan keuntungan dari kebijaksanaan dan dapat bertindak berdasarkan perintah dalam konteks yang benar. (rz/newcivilisation.com)
(Bersambung – bagian kedua akan menguraikan bukti-bukti mengenai pemberontakan melawan penguasa, dan detail mengenai bagaimana hal itu berlaku di bawah perintah Islam yang memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar).

 

REZA Pankhurst (Twitter : @ rezapankhurst ) adalah seorang ilmuwan politik dan sejarawan, yang mengkhususkan diri mengenai masalah Timur Tengah dan gerakan-gerakan Islam. Buku terakhirnya, The Inevitable Caliphate? A History of the Struggle for Global Islamic Union, 1924 to the Present, diterbitkan oleh Hurst dan sudah tersedia. Dia adalah seorang mantan tahanan politik rezim Mubarak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*