Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia semakin membuat negara ini jatuh ke dalam lubang keterpurukan.
“Telah jelas demokrasi memperburuk negara ini dalam berbagai persoalan,” jelasnya kepada Mediaumat.com, Sabtu (9/11) Jakarta.
Menurutnya, tidak ada yang bisa dibanggakan dari demokrasi yang berjalan di Indonesia. Kalau klaim Indonesia sebagai negara demokratis dalam artian demokrasi prosedural, ungkap Ismail, maka klaim itu tidak salah dalam kenyataannya. “Sebab seluruh prosedur demokrasi dengan ketentuan-ketentuannya dijalankan,” imbuhnya.
Tetapi, lanjut Ismail, kalau menggunakan penilaian sebagai demokratis subtansial, maka di situlah akan banyak ditemukan persoalan. “Apakah wakil rakyat benar mewakili rakyat? Pada faktanya kepala daerah yang dipilih langsung sebanyak 309 orang yang tersangkut korupsi, dan Presiden apakah dia bekerja untuk negara?”
“Kalau itu menjadi dasar penilaian saya kira, banyak sekali orang menilai demokrasi Indonesia ini sudah gagal diwujudkan, justru demokrasi membawa negara ini ke jurang persoalan,” lanjutnya.
Ini belum lagi kalau menilai demokrasi dari sudut pandang Islam, yang berpendapat kedaulatan membuat hukum merupakan hak prerogatif Allah SWT. “Alih-alih dibanggakan, demokrasi harusnya ditinggalkan, sistem yang jelas mengingkari kedaulatan membuat hukum hanya milik Allah,” terang Ismail.
Ismail memberikan solusi alternatif mengganti sistem demokrasi yakni Islam, menurutnya, Islam berbeda dengan demokrasi berbeda juga dengan teokrasi. Menurutnya ada pemikiran yang salah memahami Islam, yang beranggapan jika demokrasi bertentangan dengan Islam, maka Islam dianggap bagian dari teokrasi. “Islam itu bukan demokrasi bukan juga teokrasi,” imbuhnya.
“Kalau dilihat dari sisi kekuasaan Islam kekuasaan di tangan rakyat tapi Islam bukan demokrasi. Karena hak membuat hukum hanya milik Allah. Tapi ini bukan teokrasi karena pemimpin dipilih rakyat, maka di sini pentingnya untuk jelaskan” pungkasnya. (mediaumat.com, 9/11/2013)