Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI: Bukti Sudah Cukup, Tutup Kedubes Amerika!

Disinyalirnya Kedubes Amerika menyadap para pejabat pemerintah Indonesia menjadi bukti bahwa Kedubes AS di Jakarta bukan sekadar kantor. Gedung itu menjadi markas spionase Amerika. Wajar jika muncul Kedubes AS itu ditutup diplomatnya diusir semua. Lantas bagaimana bila pemerintah Indonesia tetap bermesraan dengan negara kafir harbi muhariban fi’lan tersebut, serta tidak mencabut IMB untuk pembangunan ulang gedung yang akan menjadi Kedubes Amerika terbesar ketiga di dunia?Jawabannya ada dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda dengan pemberitaan koran terkemuka di Australia yang menyebut Kedubes AS menyadap Indonesia dan 89 negara lainnya?

Sama sekali tidak mengejutkan. Dari awal HTI telah menyatakan bahwa selain berfungsi untuk melayani kepentingan AS di Indonesia dan warga Indonesia yang hendak berkunjung ke negeri Paman Sam itu, Kedubes AS di Jakarta juga menjalankan fungsi intelijen, yakni mengumpulkan berbagai informasi apapun yang mungkin berguna bagi pemerintahnya.

Kini terbukti, protes Hizbut Tahrir Indonesia  selama ini bukanlah omong kosong. Bahwa benar, gedung Kedubes AS di Jakarta merupakan markas intelijen. Sumber informasi mengenai hal itu sangatlah akurat. Apalagi ditambah fakta bahwa penyadapan juga dilakukan AS terhadap negara-negara lain seperti Jerman dan Prancis serta 80 lokasi lain di seluruh dunia.

Bahkan, sebagaimana diberitakan oleh majalah Der Spiegel, Badan Keamanan Nasional Amerika, NSA, juga memonitor jutaan telepon yang dilakukan warga Jerman dan Prancis. Gedung Putih sendiri  tidak menyangkal secara tegas praktik penyadapan.

Sebelum ini, sejumlah kawat diplomatik termasuk kawat diplomatik dari Kedubes dan Konsul AS di Jakarta, juga di berbagai ibukota negara lain yang  berisi tentang berbagai informasi tentang negara tuan rumah dibongkar oleh Wikileaks.

Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa Kedubes AS di manapun sebenarnya memang juga adalah markas intelijen  AS di setiap negara tuan rumah.

Menariknya, berita itu mengutip bocoran Peta Penyadapan yang dibuat 13 Agustus 2010. Artinya, itu kan ada gedung kedubes yang lama. Lantas bagaimana bila gedung kedubes yang baru selesai dibangun?

Iya benar, pemerintah AS sekarang tengah membangun ulang gedung kedubesnya di Jakarta. Kompleks Kedubes AS baru nantinya akan memiliki ruang kerja seluas 36.000 meter persegi yang akan memuat 16.000 staf.

Rencananya, kompleks itu akan meliputi gedung utama dengan 10 lantai, gedung parkir, gedung-gedung penunjang, ruang tunggu konsuler, tiga pintu gerbang dan restorasi sebuah gedung bersejarah di kompleks ini. Kelak, Kedubes AS di Jakarta bakal menjadi Kedubes AS terbesar ketiga setelah di Irak dan Pakistan.

Pembangunan gedung yang demikian besar itu menjadi tanda sangat nyata bakal makin kuatnya cengkeraman AS atas Indonesia khususnya, dan kawasan ASEAN pada umumnya, karena makin besar kedutaan sebuah negara tentu menunjukkan makin besarnya  tugas pokok dan fungsi kedutaan itu di sebuah negara.

Bila di gedung lama yang jauh lebih kecil saja kegiatan penyadapan sudah dilakukan, apalagi kelak di gedung yang lebih besar. Tentu kegiatan spionase seperti itu akan lebih intensif lagi dilakukan.

Berdasar fakta itu, sesungguhnya sudah cukup untuk menjadi dasar bagi pemerintah Indonesia untuk menutup Kedubes AS di Jakarta serta mencabut IMB untuk gedung baru.

Apa sih bahayanya, bila pembicaraan kepala negara atau pejabat penting lainnya disadap oleh pihak asing?

Tentu sangat berbahaya. Kepala negara dan pejabat tinggi negara adalah orang-orang yang mendapatkan wewenang penuh untuk menjalankan pemerintahan dan memimpin negara ini. Dan sewajarnya di antara mereka dan di antara lembaga negara terjadi komunikasi.

Sebagian komunikasinya tentu bersifat rahasia, atau bahkan sangat rahasia karena mungkin menyangkut hal yang sangat strategis, yang terkait dengan sebuah kebijakan penting atau menyangkut rencana tertentu yang juga sangat penting.

Melalui penyadapan, pihak asing menjadi tahu apa yang sedang dipikirkan, direncanakan atau akan dilakukan oleh para pejabat itu, sehingga mereka bisa menelikung, atau membuat rencana tandingan untuk membatalkan atau memengaruhi setiap keputusan strategis yang bakal diambil oleh pemerintah.

Bila dibiarkan, tentu hal itu sangat merugikan, bahkan sangat membahayakan kedaulatan  dan keamanan sebuah negara.

Tapi Menhan Purnomo Yusgiantoro, empat hari sebelum pemberitaan itu, menyatakan bahwa telekomunikasi Presiden SBY tidak disadap Amerika karena Indonesia punya Lembaga Sandi Negara…

Itu pernyataan tidak bernilai apa-apa.

Mengapa?

Memang betul bahwa Indonesia punya Lembaga Sandi Negara, tapi apa hubungannya dengan jaminan bahwa di negeri ini tidak bakal disadap? Menhan juga tidak menjelaskan bagaimana lembaga tersebut bisa mencegah terjadinya penyadapan.

Sementara, fakta yang ada menunjukkan justru perangkat penyadapan itu ada di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta. Itu artinya, meski ada Lembaga Sandi Negara, aktifitas penyadapan tetap saja dilakukan.

Jangan lagi Indonesia, di negara seperti Jerman yang secara teknologi lebih maju daripada Indonesia saja penyadapan juga terjadi. Bahkan Kanselir Merkel telah disadap oleh AS sejak tahun 2002.

Tindakan Menlu Marty Natalegawa yang memanggil Dubes Amerika dan mengajukan nota protes, apakah sudah tepat?

Tindakan tersebut tidaklah cukup. Mestinya, lebih daripada itu. Dalam pandangan Islam, Kedubes AS itu wajib ditutup.

Kalau ternyata Amerika tidak terbukti menyadap, apakah IMB harus tetap dicabut dan hubungan diplomatik harus tetap diputus?

Iya, tetap. Karena terhadap negara semacam ini, tidak boleh ada hubungan diplomatik dalam bentuk apapun, sampai negara ini benar-benar menghentikan penjajahan dan pembunuhannya terhadap umat Islam di manapun.

Mengapa?

Karena bukan hanya masalah terbukti telah melakukan penyadapan, tapi, yang lebih penting lagi, adalah kenyataan bahwa  Amerika Serikat termasuk negara muhariban fi’lan, yakni negara yang secara langsung memerangi dan membunuh umat Islam di berbagai belahan dunia.

Tapi kan, AS menyerang dan membunuh rakyat negara lain, lagian Indonesia kan bukan negara Islam?

Masalahnya bukan apakah Indonesia negara Islam atau bukan. Yang pokok adalah pada apa yang AS lakukan. Yaitu bahwa yang mereka serang adalah negeri Muslim dan yang mereka bunuh adalah umat Islam.

Dalam pandangan Islam, serangan kepada satu negeri Muslim dan pembunuhan terhadap seorang Muslim hakikatnya adalah serangan kepada seluruh umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam di manapun berada untuk tidak tinggal diam atas tindak permusuhan itu.

Memang apa masalahnya, kalau seorang Muslim jadi pejabat lalu berteman baik dengan negara muhariban fi’lan?

Kalau mereka, para pejabat itu berteman baik dengan negara muhariban fi’lan  lalu tetap membiarkan AS melakukan penyadapan, juga membiarkan pembangunan gedung Kedubes AS, maka itu menjadi bukti bahwa para pejabat pemerintah itu telah tunduk pada tekanan negara imperialis sadis itu.

Tindakan semacam itu jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta pengkhianatan terhadap kaum Muslimin semua. Tindakan seperti ini pasti akan mendapat azab Allah di akhirat kelak.

Sementara di dunia, kebijakan seperti ini sama saja menjerumuskan bangsa dan negara ini ke jurang imperialisme yang tentu pasti bakal mencelakakan bangsa dan negara.[]

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 115

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*