Aung San Suu Kyi, salah satu ikon HAM, non-kekerasan dan rekonsiliasi paling terkenal di dunia saat ini, melakukan hal yang tidak bisa diterima dengan memasuki dunia Islamophobia umat “Budha” Myanmar. Dengan memperkeruh suasana, pada program unggulan BBC Radio Four, “Today”, dia menunjukkan menunjukkan sifat perlakuan kekerasan yang terorganisir dan kampanye kebencian ala Nazi saat ini yang dilakukan oleh rekan-rekan Buddhisnya – baik masyarakat awam maupun para biksu – sebagai kekerasan yang sama-sama dilakukan oleh kedua belah pihak, dengan mengklaim bahwa kaum Buddha Burma hidup dalam ketakutan yang dirasakan atas bangkitnya kekuatan Islam yang besar di seluruh dunia.
Sebagai seorang pembangkang yang dihormati, ide Aung San Suu Kyi atas ‘kebebasan dari rasa takut’ menginspirasi jutaan orang baik di Myanmar maupun di seluruh dunia. Saya pikir dia sendiri tunduk pada suatu jenis ketakutan, yakni Islamofobia.
Jauh sebelum gelombang kekerasan yang baru-baru ini berubah menjadi kekerasan komunal horisontal, yang sesungguhnya adalah bahwa negara dengan penduduk Rohingya yang muslim- yang berjumlah 1.3 juta orang dari 60 juta penduduk negara itu – telah menjadi subyek genosida secara perlahan-lahan yang sedang berlangsung. Ini adalah kesimpulan yang saya ambil dari studi selama tiga tahun yang baru saya selesaikan bersama seorang rekan peneliti di Trust Equal Rights yang berbasis di London.
Suatu Sejarah Pembersihan Etnis
Pada bulan Februari 1978, negara yang dikuasai militer itu melancarkan operasi besar-besaran pertama di Negara Arakan (sekarang dikenal sebagai Rakhine) di Myanmar barat. Eksodus pertama yang diperkirakan berjumlah 240,000 orang ke dalam negara tetangga Bangladesh, terjadi jauh sebelum “perang melawan teror” oleh Barat terhadap “Islam radikal.” Pemenang hadiah Nobel itu yang berpendidikan Oxford dimana mayoritas penduduk Burma, termasuk kaum Muslim, menyebutnya sebagai “Mother Suu” hanya dapat menggunakan apa yang dia sebut sebagai “kebangkitan besar kekuasaan Muslim” sebagai suatu alasan yang nyaman.
Ketika Aung San Suu Kyi mengamati bahwa umat Buddha Myanmar dan Muslim, dari latar belakang etnis berbeda takut terhadap satu sama lain, dia secara salah menempatkan mereka pada keseimbangan moral. Dengan sikap yang mengkhawatirkan, dia menunjukkan kebodohan yang mendalam atas fakta empiris: bahwa adalah kaum Muslim yang telah menanggung beban kematian, kehancuran dan pengungsian. Rohingya dan Muslim lainnya merupakan lebih dari 90 persen dari korban kekerasan, yang telah menelantarkan lebih dari 140,000 orang di negara bagian Rakhine. Kekerasan anti-Muslim menyebar ke 11 kota yang berbeda di negara itu, yang mengakibatkan kematian 100 orang Muslim, menggusur 12,000 Muslim, dan menghancurkan 1,300 rumah Muslim dan 37 masjid.
Sejak tahun 1990an, Rohingya Muslim dari Arakan utara telah terkurung dalam jaringan keamanan di mana mereka tunduk pada pembatasan ekstrim atas gerak mereka, yang mencegah mereka untuk mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, pendidikan dan pekerjaan. Ringkasan eksekusi, pemerkosaan, pemerasan, pekerjaan paksa dan pelanggaran HAM lainnya, yang sebagian besar dilakukan di tangan pasukan keamanan Negara merupakan suatu hal yang lumrah.
Pembatasan pada pernikahan dan kelahiran telah mengakibatkan lebih dari 60,000 anak-anak Rohingya tidak terdaftar atau diakui oleh pemerintah Burma, yang merupakan pelanggaran atas Hak-hak Anak, dengan merampas akses mereka atas sekolah-sekolah dasar. Di negara yang memiliki salah satu tingkat melek huruf orang dewasa tertinggi di Asia, secara mengejutkan 80 persen orang dewasa Rohingya buta huruf. Rasio dokter-pasien di kalangan umat Islam Rohingya dalam dua kantong wilayah leluhur utama Rohingya adalah 1 dokter berbanding 75,000 orang hingga 1 dokter berbanding 83,000 orang, dibandingkan dengan rata-rata nasional yakni 1 dokter berbanding 375 orang.
Penolakan Suu Kyi atas Laporan Human Rights Watch yang menyebutkan terjadinya “pembersihan etnis” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, patut dicermati oleh dunia internasional. Sikap diamnya secara sengaja tentang kekerasan bermotif rasial terhadap minoritas Muslim, yang hanya merupakan sekitar 4 persen dari total penduduk, telah menyebabkan tumbuhnya suara-suara kritik internasional.
Namun, rincian dari genosida yang secara perlahan membakar orang Rohingya yang sudah diatur sebagai kebijakan negara sejak tahun 1978, dan kekerasan massal anti-Muslim yang lebih baru, terlebih lagi dengan impunitas negara, umumnya dianggap lebih penting di media daripada kegagalan Suu Kyi untuk mengutuknya.
Keheningan Media
Pola-pola pembersihan secara sistematis orang-orang Rohingya telah lama diabaikan oleh media selama beberapa dekade. Bahkan sekarang, adalah Suu Kyi, dan bukan pembersihan etnis itu sendiri, yang dijadikan media sebagai berita utama yang lebih layak. Karena penguasa militer Myanmar mengusai negara – bersama dengan kapitalisme model China tanpa demokratisasi – promosi kebijakan media lokal dan internasional tentang munculnya Myanmar sebagai salah satu pasar ekonomi terakhir yang menguntungkan. Segala sesuatu yang lain dianggap hal yang sekunder untuk cerita ini daripada Janji Zaman Keemasan Myanmar.
Rohingya dan kaum Muslim Burma lainnya dihadapkan dengan ancaman atas keberadaan mereka. Mereka sudah dalam posisi yang lemah sebagai minoritas yang sangat kecil, tanpa pengaruh pada ekonomi, pemerintahan atau masyarakat Burma. Mereka tidak menimbulkan ancaman eksistensial atas cara hidup orang Buddha, keamanan nasional atau kedaulatan negara. Mereka masih berada dalam kesulitan yang mendalam, pada dasarnya bukan hanya karena yang dipilih oleh “Mother Suu” untuk berpihak adalah masyarakat penindas Muslim, yakni kelompok rasis anti-Muslim yang terorganisir, di setiap tingkat masyarakat, namun karena ini juga sikap dari pemerintah seperti Amerika Serikat dan Inggris, karena kebutuhan strategis dan kegiatan komersial mereka sendiri untuk merangkul para pemimpinan militer yang telah dilaporkan mendukung para pelaku Islamophobia dan para pengkhotbah yang penuh kebencian.
Maung Zarni, seorang Ilmuwan Tamu pada Unit Masyarakat Sipil dan Keamanan Manusia dari London School of Economics, merupakan seorang kritikus vokal dari rasisme dan kekerasan neo-Nazi kaum “Buddha” dalam bahasa Myanmar. Blognya adalah www.maungzarni.com.
(rz/ mwcnews.net, 3/11/2013)