Oleh: Hafidz Abdurrahman
Di antara masalah yang dihadapi negeri-negeri kaum Muslim saat ini, termasuk Indonesia, adalah privatisasi aset publik atau negara. Karena, para penguasa negeri-negeri kaum Muslim itu adalah boneka negara-negara kafir penjajah. Karena ulah merekalah, maka banyak aset publik dan negara jatuh ke tangan individu, baik asing maupun lokal. Sebut saja, jatuhnya Indosat ke tangan Singapura, tambang emas di Papua ke tangan Freeport McMoran, dan masih banyak yang lainnya.
Selain privatisasi aset publik dan negara ini hukumnya haram, karena kepemilikan terhadap masing-masing aset ini telah ditetapkan oleh Allah; kepemilikan umum sebagai hak publik, dan kepemilikan negara sebagai hak negara. Kepemilikan ini tidak boleh diubah, kecuali dengan izin yang diberikan oleh hukum syara’. Selain itu, keharaman privatisasi ini juga datang dari aspek, bahwa penguasaan asing terhadap aset ekonomi suatu negeri, khususnya negeri Muslim, bertujuan untuk mengokohkan penguasaan mereka terhadap negeri tersebut. Ini sama dengan membuka pintu bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim. Ini jelas haram (QS an-Nisa’ [04]: 141).
Cara Khilafah Menormalisasi
Karena itu, seluruh bentuk kebijakan seperti ini, begitu khilafah berdiri, akan dinyatakan batal demi hukum. Meski, kebijakan ini melibatkan individu atau negara lain. Karena kebijakan ini jelas telah melanggar hukum syara’. Selain itu, syarat-syarat yang ditetapkan dalam berbagai perjanjian ini merupakan syarat-syarat yang menyalahi hukum Islam. Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW bersabda: “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” (Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615)
Dengan dibatalkannya kebijakan privatisasi ini, maka konsekuensinya, perusahaan publik atau negara yang dikuasai oleh individu, akan ditata ulang oleh khilafah berdasarkan hukum syara’. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak harus dibubarkan, tetapi cukup diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun pasti berubah, dari milik privat menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu yang berhak. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Karena bukan merupakan hak milik mereka, maka harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan privat tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan privat. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, setelah dibatalkan, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya.
Dengan dinormalkannya kembali perusahaan publik dan negara berdasarkan hukum Islam, maka negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak dalam mengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika menyangkut layanan publik, tentu sangat penting sehingga tidak boleh berhenti. Misalnya, seperti PLN, Telkom, PAM, tol, dan lain-lain. Jika dengan pengembalian saham milik privat tadi menyebabkan perusahaan tidak berjalan, maka khilafah boleh saja untuk sementara tidak mengembalikan saham tersebut, tentu dengan kerelaan pemiliknya. Namun, jika bisa, dan terpaksa, maka khilafah bisa menyuntikkan dana dari sumber lain. Begitu seterusnya hingga layanan publik ini tidak terganggu.
Jika sebelumnya perusahaan ini untung, sebagaimana kasus Indosat, Freeport, dan lain-lain, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Cara Khilafah Membersihkan
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah bagi partai, penguasa dan antek-anteknya. Mereka semuanya ini korup. Karena itu, khilafah juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara tersebut. Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya).” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403). Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Maka, dengan cara seperti ini, seluruh aset umat ini akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali, karena bukan merupakan hak mereka. Begitulah, cara khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi. Wallahu a’lam. (Tabloid Mediaumat edisi 116)