Khilafah Islam Mewujudkan Kerukunan Hidup Beragama
Oleh: Noor Afeefa
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan kembali menyerukan pentingnya menghormati segala perbedaan, menghindari tindak kekerasan dan menolak politik diskriminatif. Setidaknya itulah yang disampaikan kelompok ini pada peringatan Hari Internasional untuk Toleransi yang jatuh pada 16 November lalu. Koalisi ini menilai, saat ini toleransi beragama kian pudar. Ini dikarenakan tidak adanya sikap yang tegas dari pemerintah, termasuk masih lemahnya penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas (voaindonesia.com, 20 Nopember 2013).
Harus diakui bahwa bangsa Indonesia -yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan ini- belum mampu menciptakan kehidupan rukun. Namun, yang menjadi persoalan, benarkah propaganda toleransi dan kebebasan beragama yang selama ini banyak disuarakan berbagai kelompok adalah solusi yang tepat bagi persoalan kehidupan beragama di Indonesia? Lantas, bagaimana dengan model Islam dalam mewujudkan kehidupan rukun antar kelompok dan agama sebagaimana yang pernah terjadi di masa Nabi Muhammad SAW?
Propaganda Sampah
Sebenarnya propaganda toleransi dan kebebasan beragama sudah sejak lama diserukan kepada masyarakat. Namun, kenyataannya tindak intoleran masih kerap terjadi. Tentu saja, hal ini terjadi bukan semata-mata karena masyarakat tidak mengetahui soal toleransi. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri ini. Diantaranya adalah karena pemerintah tidak tegas dalam menegakkan peraturan kehidupan beragama, konstitusi yang sangat lemah, juga karena masyarakat tidak puas hidup dalam sistem yang tidak memberikan keadilan bagi kehidupan beragama. Kasus sengketa pendirian rumah ibadah menjadi bukti yang amat nyata. Persoalan berlarut-larut, bahkan terulang di berbagai tempat.
Kondisi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari sistem sekuler yang menjadi poros berjalannya semua peraturan dan tatanan. Kondisi ini menjadikan negara bersikap ambigu terhadap berbagai persoalan, meski dari sisi agama sebenarnya telah cukup jelas pengaturannya. Terkadang, hanya karena Indonesia bukan negara Islam, aturan yang berasal dari Islam lantas dengan mudah ditolak. Inilah yang membuat seruan toleransi beragama tak cukup kuat untuk menata intoleransi yang datangnya dari sistem.
Dan saat negara tidak mampu membina, bahkan terkadang arogan dalam menyelesaikan persoalan antar pemeluk agama, maka tindakan intoleransi kerap menjadi jalan keluar secara spontanitas. Ini berarti intoleransi sesungguhnya merupakan persoalan sistemik.
Sementara itu, seandainya ide toleransi atau kebebasan beragama ini diterapkan, ternyata juga akan berbenturan dengan kepentingan lain. Sebagai contoh, dalih kebebasan beragama atau toleransi kerap dijadikan alat bagi penganut agama tertentu untuk menarik (berkampanye ) atau “memaksa secara halus” orang-orang beragama lain. Dengan demikian, seruan sikap toleran dan kebebasan beragama dalam kondisi sistem yang tidak cukup kapabel dalam mengatur persoalan hubungan antar agama, hanya akan menjadi seruan mandul, tidak ada artinya sama sekali bahkan menyeret pada persoalan baru.
Maka sungguh, hubungan antar pemeluk agama membutuhkan sistem pengaturan yang handal. Dalam hal ini negara menjadi penentu apakah kehidupan beragama akan berjalan harmonis atau berantakan. Bagaimana dengan pengaturan Islam?
Pengaturan Islam
Sesungguhnya Islam adalah agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Islam mampu menjadi ideologi, pandangan hidup, arah dan tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara. Islam dengan seperangkat fikroh dan thoriqoh (ide, peraturan dan tata cara pelaksanaannya) telah memberikan pengaturan yang jelas tentang masalah hubungan antar pemeluk agama.
Pertama, Islam tidak menafikan adanya keragaman agama. Keberadaan multikultur dalam masyarakat Islam juga biasa terjadi baik di masa Rasulullah SAW (setelah menetap di Madinah) maupun masa-masa khalifah sesudahnya. Ini karena Allah SWT berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (TQS. Al Baqarah [2]: 256)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak akan memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Itulah yang menjadikan adanya kaum non muslim dalam daulah Islam. Meskipun demikian, kepada mereka tetap disampaikan dakwah Islam, terutama dakwah secara praktis melalui penerapan syariah Islam dalam negara sehingga mereka merasakan keagungan Islam. Inilah bukti bahwa Islam tidak menafikan keragaman (dalam beragama).
Meski Islam tidak menafikan keragaman (dalam beragama), tidak bisa menjadi dalil bagi berkembangnya ide pluralisme. Yaitu, ide atau pemikiran yang menafikan kebenaran agama; bahwa semua agama sama, sama benarnya, sama tujuannya, sehingga tidak perlu merasa benar terhadap ajaran agamanya masing-masing. Pengakuan atas keragaman bukan dimaksudkan sebagai pengakuan atas kebenaran semua agama. Islam hanya memberi tempat mereka hidup, seraya mengajak seluruh kaum yang belum meyakini Islam agar mereka memeluk Islam, agama yang diyakini benar. Inilah maksud bahwa Islam tidak menafikan keragaman.
Kedua, ketika Islam tidak menafikan keragaman, Islam pun memiliki seperangkat aturan untuk mengatur keragaman tersebut. Sebab, mustahil Allah SWT menciptakan makhluknya (termasuk keragaman) tanpa aturan untuk mengatur semua itu. Allah SWT pasti menghendaki kebaikan bagi makhluknya. Karena itulah Allah SWT memberikan aturan bagi munculnya keragaman yang terjadi pada manusia. Melalui Rasul-Nya yang mulia, bentuk pengaturan tersebut nampak secara praktis dalam kehidupan kaum muslim di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW sebagai kepala negara yang berpusat di Madinah.
Islam mengajarkan cara hidup berdampingan dengan penganut agama lain dalam sebuah negara. Dalam hukum Islam, warga negara daulah Islam yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka. Sebagai warga negara daulah, mereka berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat.” (al-Jâmi’ al-Shaghîr, hadits hasan].
Ketiga, Islam sangat menjaga batas-batas agar hubungan antar agama tidak mengarah pada runtuhnya bangunan Islam. Islam memberi batasan tegas antara kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, yang makruf dan yang munkar, atau upaya penyesatan dan dakwah kepada kebenaran. Hal-hal semacam ini tetap menjadi pegangan dalam menjaga kurukunan dalam negara Islam.
Islam menghendaki kehidupan rukun antar pemeluk agama tetap berada dalam batasan syariat. Misalnya, tidak mencampur adukkan yang haq dan batil, yang halal dan haram, yang benar dan salah, yang Islam dan kufur. Allah SWT berfirman :
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (TQS. Al kafiruun : 6)
Rasulullah SAW, berhasil menciptakan kerukunan antar kelompok dan penganut agama dengan perjanjian yang beliau buat (Piagam Madinah). Semua kelompok agama yang ada terikat dengan perjanjian tersebut. Dan apabila ada yang melanggarnya, maka mereka dianggap telah membuat front yang layak dilawan oleh negara. Dengan demikian, negara (daulah) Islam pernah membangun mekanisme kehidupan yang baik antar penganut agama.
Dengan menelaah keseluruhan hukum syariah Islam, pengaturan hubungan antara muslim dengan warga non muslim dalam daulah Islam terangkum dalam pokok-pokok berikut :
Dalam kaitan dengan masalah akidah, mereka dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Mereka tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.”[HR. Ibnu ‘Ubaid].
Dalam masalah politik, ekonomi dan sanksi maka kaum non muslim (Kafir dzimmi) wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik. Adapun dalam urusan yang berkaitan dengan kehidupan privat, mereka diberi keleluasaan mengikuti ajaran agamanya masing-masing dengan memperhatikan pelaksanaannya tidak dilakukan dalam kehidupan umum sehingga mengganggu ketertiban di masyarakat. Misalnya, dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tetap diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam yang mewajibkan wanita tertutup auratnya. Sedangkan untuk urusan pernikahan dan perceraian di antara mereka juga diatur berdasarkan agama mereka.
Itulah cara Islam mengatur warga negara non muslim dalam daulah. Negara melakukannya karena ketundukan kepada Islam sebagai bentuk takwa kepada Allah, tidak boleh disertai sikap arogan dan sewenang-wenang. Dengan cara inilah kehidupan beragama dalam negara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan, kekerasan.
Sungguh persoalan intoleransi dan kekerasan antar pemeluk agama hanya bisa diselesaikan dengan ditegakkannya sistem Islam dalam wadah negara (daulah) Khilafah Islam. Semoga kita mampu menjadi orang-orang yang terdepan memperjuangkannya. Aamiin. []
jika kemudian ada yang mengatakan. bahwa jika islam menguasai dunia nanti. maka akan terjadi perpecahan. sesungguhnnya pemikiran macam itu lahir dari kedangkalan cara berfikirnnya,
mari kita bangun kembali peradaban Islam yang mulia untuk menjamin keamanan, kesejahteraan umat manusia