Tragedi dr. Ayu – Pasien Fransiska, Liberalisasi Pelayanan Kesehatan dan Khilafah

Oleh: Fikriyyah Mustanirah

Sungguh tragis bila hidup para dokter harus berakhir di bui, dan para masyarakat bertambah sakit dan terancam nyawanya justru di rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat kesembuhan dan penyelamatan jiwa pasien.    Masih segar dalam ingatan kita berita penahanan dokter Ayu dan dua rekannya, sehubungan keputusan Mahkamah Agung Kasasi yang menyatakan ketiga dokter tersebut terbukti bersalah, melalaikan pasien, Julia Fransiska Makatey hingga meninggal dunia.  Dimana penahanan itu kemudian diikuti gelombang demo para dokter, karena menilai sebaliknya. Yaitu dr.  Ayu beserta dua rekannya telah bertindak sesuai standar medis.

Gelombang demo dokter, Rabu 26 November 2013, memang telah berlalu, demikian pula pemberitaannya oleh media massa nasional   Namun ini semua tidak berarti para dokter dan masyarakat  bisa merasa aman dari terulangnya tragedi “dr. Ayu – pasien Fransiska”  berikutnya, selama apa yang menjadi akar persoalan belum diatasi secara tuntas.

Liberalisasi Sistem Kesehatan Sebagai Akar Masalah   

Tindakan darurat seksio sesaria oleh dokter Ayu bersama dua rekannya yang berstatus residen.

obgyn mandiri, terhadap Ibu Julia Fransiska Makatey, 26 tahun,  karena indikasi gawat janin, adalah tindakan yang benar menurut standar pelayanan medik.  Operasi yang dilakukan pukul 22.55 WITA itu berhasil menyelamatkan nyawa bayi, namun nyawa  Ibu tidak tertolong.  Dimana sejak sayatan dinding perut yang pertama telah keluar darah warna hitam sampai dengan selesai operasi, (detiknews.com 25 November 2013).  Dosa-Dosa Dokter Ayu, Dokter Hendy, Dokter Hendry di Mata MA), pertanda darah si Ibu kekurangan oksigen serius.

Sementara itu, sekitar 15 jam sebelumnya, yaitu pukul 07.00 WITA,pasien Julia Fransiska sudah tiba di RS Prof.  dr.  Kandou.  Berstatus sebagai pasien rujukan Puskesmas di Bahu Kecamatan Malalayang, dengan riwayat melahirkan anak pertama divakum.  Di Puskesma ketuban sudah dipecahkan, dengan pembukaan 8-9.  Dan ketika diperiksa di ruangan Irdo, RS Kandou, terjadi penurunan pembukaan 6 cm (detiknews.com 25 November 2013).

Mengapa tindakan operasi tidak dilakukan dokter Ayu lebih awal? Karena pertimbangan medis sematakah? Ataukah hambatan unit cost?

Dituturkan Ibu pasien, keluarga bolak balik ke ruang operasi dan apotik untuk membeli obat.  Dengan kondisi tidak membawa uang cukup, tawar menawar obat dan peralatan terjadi.  Bahkan Ibu pasien mencoba menjamin kalung emas yang dipakainya,  karena uang masih dalam perjalanan, namun tidak dihiraukan (detiknews.com 25 November 2013).

Mencermati penuturan Ibu  pasien, tampak jelas unit cost yang ditetapkan rumah sakit telah menghalangi pasien, Ibu Julia Fransiska Maketey untuk mendapatkan pertolongan medis yang seharusnya, dan di saat yang bersamaan dokter Ayu juga terlarang memberikan pertolongan medis yang semestinya. Karena setiap bantuan medis yang dibutuhkan pasien dan yang akan diberikan dokter ada unit cost-nya.  Yaitu  mulai dari jasa dokter, obat-obatan dan peralatan kedokteran hingga secuil kapas dan setetes air minum sekalipun. Tidak ada yang gratis, semua berjalan di atas prinsip efisien efektif menurut logika liberal.

Penting diketahui, penggunaan konsep/logika liberalisme tersebut adalah konsekuensi  logis dari

langkah politik pemerintah yang meratifikasi GATS (General Agreement on Trade in Services). Yang kemudian diikuti lahir dan diterapkannya sejumlah undang-undang yang mengokohkan liberalisasi pelayanan dan sistem kesehatan per komponennya maupun secara keseluruhan. Yang ditandai dengan mahalnya harga pelayanan kesehatan dan pembatasan fungsi pemerintah hanya sebagai regulator/ fasilitator.

Misanya, Undang Undang No 44, tentang Rumah Sakit, ayat 3 pasal 7, menegaskan pengelolaan institusi pelayanan rumah sakit pemerintah harus dengan pengelolaan Badan Layanan Umum, hakekatnya adalah pengelolaan berbasis prinsip-prinsip komersial, sebagaimana halnya pendidikan SDM kesehatan/ dokter.  Demikian pula dengan model pembiayaan kesehatan yang berbasis asuransi wajib, dengan pengelolaan pelayanan kesehatan kedepannya diserahkan ke pada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional) Kesehatan.  Hasilnya, sistem/pelayanan kesehatan benar-benar hanya digerakkan oleh uang, dan nihil dari aspek sosial/pelayanan.

Adapun dokter, sebagai ujung tombak penyelenggaraan pelayanan kesehatan, mau tidak mau  terpaksa menjadi motor bagi industrialisasi nyawa manusia ini.  Akibatnya, sangat fatal, para dokter harus menanggung berbagai resiko yang tidak ringan, seperti penundaan pemberiaan pelayanan medis, sehingga harus melakukan tindakan medis yang sangat beresiko, seperti hilangnya nyawa pasien. Ini di satu sisi, di sisi lain penyakit yang diderita masyarakat/pasien semakin parah, yang dapat berujung pada kehilangan nyawa.

Di atas itu semua, inilah buah yang pasti dipetik ketika tata kelola sistem dan pelayanan kesehatan didasarkan pada konsep-konsep yang bersumber dari ideologi batil kapitalisme/liberalisme. Sebagai hal niscaya selagi menerapkan sistem politik demokrasi.   Sungguh Allah swt telah mengingatkan dalam firman-Nya, QS Ar Ruum (30): 41, artinya,”Telah nampak kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.    Yaitu tatanan kehidupan Islam.  Khilafah Islam.

Konsep Khilafah Sebagai Solusi

Adapun konsep tata kelola pelayanan dan sistem kesehatan khilafah adalah konsep yang terpancar dari aqidah Islam, berasal dari Allah SWT, rabbul’aalamiin, bersumber dari mata air ilmu dan kebenaran, yaitu Al Quran dan As Sunnah, dan apa yang ditunjuki keduanya.

Yang terpenting di antaranya, adalah,

Pertama, kesehatan/pelayanan kesehatan merupakan pelayanan dasar publik yang bersifat sosial, bukan komersial.  Yang demikian karena Rasulullah saw telah bertutur, artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapai keadaan aman kelompoknya, sehat badanya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya”.  (HR Bukhari).  Ini di satu aspek, aspek yang lain, didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw.  Yaitu ketika beliau dihadiahi seorang dokter, dokter tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin.

Jasa sosial ini bersifat totalitas. Yaitu mulai jasa dokter, obat-obatan, penggunaan peralatan medis, pemeriksaan penunjang, hingga sarana dan pra sarana yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai prinsip etik yang islami.  Negara tidak diperkenankan mengkomersialkannya walaupun hanya secuil kapas, apapun alasannya. 

Kedua, pemerintah/Negara telah diamanahkan Allah swt sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh  menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan setiap individu masyarakat.  Diberikan secara cuma-cuma dengan kualitas terbaik, tidak saja bagi yang miskin tapi juga yang kaya, apapun warna kulit dan agamanya.   Tentang tugas penting dan mulia ini telah ditegaskan Rasulullah dalam tuturnya, yang artinya,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala.  Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Sehubungan dengan itu, dipundak pemerintah pulalah terletak tanggung jawab segala sesuatu yang diperlukan bagi terwujudnya keterjaminan setiap orang terhadap pembiayaan kesehatan; penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan; penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan; penyediaan peralatan kedokteran, obat-obatan dan teknologi terkini; sarana pra sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan terbaik, seperti listrik, transportasi dan air bersih; dan tata kelola keseluruhannya. 

Ketiga, pembiayaan yang bersifat mutlak oleh Negara. 

Keempat, konsep kendali mutu yang mengacu pada tiga strategi utama. Yaitu administrasi yang simple, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel.  Yang demikian karena Rasulullah saw telah bersabda, artinya, “Sesungguhnya Allah swt telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu….”. (HR Muslim).

Berdasarkan empat strategi utama tersebut, haruslah pelayanan kesehatan khilafah memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Berkualitas, yaitu memiliki standar pelayanan yang teruji, lagi selaras dengan prinsip etik kedokteran Islam

b.  Individu pelaksana, seperti SDM kesehatan selain kompeten dibidangnya juga seorang yang amanah

c.  Available, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat mudah diperoleh dan selalu tersedia (continuous)

d.  Lokasi pelayanan kesehatan mudah dicapai (accessible) , tidak ada lagi hambatan geografis.

Sejalan dengan sejumlah kriteria di atas, maka Negara benar-benar akan memberikan gaji yang pantas bagi para SDM kesehatan,  disamping memberikan tugas yang memperhatikan aspek insaniyahnya.

Inilah sejumlah konsep prinsip pelayanan/sistem kesehatan khilafah, sistem politik Islam yang merupakan bagian integral dari sistem kehidupan Islam secara keseluruhan.  Yang hanya dengannya para dokter maupun pasien akan hidup mulia lagi sejahtera.  Allahu A’lam. []

One comment

  1. Saya sangat mengapresiasi artikelnya, memang kesehatan saat ini berbasis pada sistem liberal-kapitalis. Tapi alangkah baiknya jika sumber pemberitaan yang dijadikan referensi dari sumber yang valid, karena sudah banyak yang diberitakan oleh detik.com terbukti tidak valid. Dan ternyata kronologis kejadian pada pasien dan keluarga tidak demikian adanya, karena banyak yang diedit oleh editor berita ybs. Mohon koreksinya. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*