Media Gathering “Selamatkan Remaja dari Monster Pergaulan Bebas dengan Khilafah Islamiyah”
HTI Press. Jakarta. Kamis (05/12/2013), Tim Maktab Nathiqoh al-I’lamiyah (MNI) menyelenggarakan Media Gathering bersama rekan-rekan jurnalis perempuan di Kantor DPP Muslimah HTI, Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan. Diantara yang hadir, ada jurnalis dari MINA (Mi’raj News Agency). Hadir pula dari beberapa media, seperti radio, cetak-portal, sosial-media maupun audio-visual. Tema yang diangkat dalam acara ini sejalan dengan Kampanye Anti-pergaulan Bebas, “Selamatkan Remaja dari Monster Pergaulan Bebas dengan Khilafah Islamiyah”. Acara mengalir dalam suasana diskusi yang hangat.
Diskusi dibuka oleh Ustadzah Yusriana. Kemudian dilanjutkan ulasan oleh Jurubicara MHTI, Ustadzah Iffah Ainur Rochmah. Beliau menyampaikan bahwa saat ini kerusakan generasi tak ayal makin mengkhawatirkan. Pergaulan bebas hanyalah salah satu aspek penampakan kerusakan sistemik. Karenanya, setiap event yang diselenggarakan oleh HTI tidak terfokus pada satu isu, melainkan dalam rangka senantiasa mengajak umat untuk menyadari bahwa tiap isu tidak bisa dilepaskan dari sistem dan lingkungan yang rusak.
Pekan Kondom Nasional (PKN) yang sempat berlangsung beberapa hari yang lalu pun tidak semata-mata disikapi dari sisi pekan kondomnya, tapi lebih kepada pergaulan bebasnya. Bagaimanapun, PKN ini tidak mendidik, tidak sesuai dengan syariat Islam dan jelas-jelas menjerumuskan masyarakat kepada pergaulan bebas. Oleh karenanya, tidak cukup upaya jika menggagalkan PKN saja.
PKN hanyalah salah satu pintu untuk liberalisasi seksual. Faktanya, penolakan dan penggagalan PKN sudah cukup masif sebagai suara kesatuan umat. Dari sini, jelas perlu adanya kesadaran umat. Karena bukan tidak mungkin nanti ada program baru yang lebih soft, yang tentunya tetap sama-sama jangan sampai diterima juga oleh masyarakat. Karena, program semacam PKN ini biasanya hanya bersifat test the water, artinya hanya untuk mengetahui kira-kira publik menolak atau tidak. Namun, jika umat Islam tidak bersuara sama sekali, maka para pengusung ide liberal ini akan lebih lempang saja melancarkan program-program busuknya. Misalnya saja ketika ada program yang dibalut dengan nama Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Jika masyarakat tidak mengetahui bahwa KRR ini sejatinya adalah program pendidikan penggunaan kondom dan KB pada remaja, maka ini lebih berbahaya. Karena balutannya sangat soft, tidak sevulgar PKN, padahal konten programnya sejenis.
Dengan KRR, secara soft sedang ditanamkan di tengah-tengah masyarakat bahwa kita tidak semestinya alergi dengan pendidikan seks. Padahal tidak ada perlunya anak-anak remaja untuk mendapatkan pendidikan seperti itu, dengan alat peraga pula, justru dapat memunculkan rasa ingin tahu remaja untuk mencoba.
Penolakan PKN adalah bentuk kekompakan umat Islam. Meski faktanya, program bus kondom ternyata hanya dihentikan operasinya, sementara programnya masih berlangsung. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir hanya dapat memberi solusi syariah dan Khilafah. Dan sayangnya, HT tidak bisa menyampaikan solusi lain selain syariah dan Khilafah. Jika memang tak ada solusi lain, mengapa tidak kita coba solusi tersebut sebagai alternatif satu-satunya. Mengingat, solusi yang ada selama ini hanya sebatas mengeliminasi sebab-sebabnya. Misalnya, Kemendikbud yang ketika memberi solusi hanya sebatas dengan membuat kurikulum baru, namun cukupkah? Kemudian, Kemkominfo juga tidak ada suara untuk bersikap tegas memastikan ketiadaan situs dan konten porno di internet yang diakses di Indonesia.
Dalam kampanye ini, HT juga menyampaikan kepada Dinas Kesehatan di berbagai kota terkait dengan generasi muda yang selayaknya berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan jauh dari gaul bebas. Masalahnya, lagi-lagi Dinkes hanya mampu memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai solusinya.
Perkara hubungan seksual dan proses reproduksi, Islam sudah mengatur dengan rinci. Jika sudah menjadi suami-istri, maka itu sudah diilhamkan oleh Allah. Jika kaum laki-laki, maka lewat mimpi basah, sedangkan kaum perempuan akan bisa mengikuti. Atau juga dengan memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan, perlunya mengetuk pintu kamar orang tua pada waktu sebelum subuh dan setelah isya’. Jadi tidak perlu secara vulgar dalam pendidikan seks secara khusus. Orang tua di sini jelas berperan pertama dan utama. Disamping itu, perlu didukung juga oleh masyarakat, misalnya jika tetangga yang gaya hidupnya tidak Islami maka perlu dilakukan amar ma’ruf nahyi mungkar kepada tetangga tersebut. Sementara dari media massa, orang tua harus menjaga anak-anaknya untuk tidak menonton acara televisi yang tidak layak untuk anak-anak. Kemudian, negara juga harus concern untuk hidup dalam naungan sistem Islam.
Namun hingga detik ini, belum pernah ada solusi bahwa pendekatan aqidah untuk bertaqwa kepada Allah adalah solusi mendasar. Penanaman aqidah dan syariah ini pun tidak cukup oleh diri sendiri, penting juga dari sisi masyarakat dan kebijakan negara. Sayangnya dalam hal ini, Dinkes hanya bisa berkomentar bahwa mereka belum berpikir sampai sejauh itu. Padahal, pendidikan kesehatan reproduksi justru menjadi fasilitas untuk melakukan gaul bebas. Karena di dalamnya, gaul bebas masih dianggap sebagai hak asasi manusia. Artinya, seseorang boleh bergaul bebas tapi nantinya silakan tanggung sendiri efeknya jika terjangkit HIV-AIDS ataupun PMS lainnya.
Berdasarkan hal ini, HT harap rekan-rekan media massa dapat berkontribusi untuk menyebarkan ide tentang pentingnya penanaman aqidah dan syariah dalam mengatasi pergaulan bebas. Disamping memang HT juga sangat concern dalam hal ini. Misalnya dengan melakukan pembekalan dan pengarahan kepada rohis di sekolah-sekolah. HT juga memiliki Lajnah Dakwah Sekolah yang akan berperan secara teknis lebih lanjut di lapangan.
Diskusi pun berakhir sekitar pukul 14.00 wib dan ditutup dengan penyerahan cinderamata serta foto bersama. [nin]