بسم الله الرحمن الرحيم
Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau
Jawaban pertanyaan:
Apakah Boleh secara Syar’i Penegakan Hudud Allah di Muka Bumi
oleh Kelompok Jihadi atau Individu?
Kepada Noor Abulfilat
Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Apakah boleh secara syar’iy penegakan/pelaksanaan hudud Allah di muka bumi oleh kelompok-kelompok jihadi atau individu dalam kondisi “tidak ada daulah al-Khilafah al-Islamiyah”? Semoga Allah memberikan berkah kepada Anda dan menolong Anda.
Jawaban:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Penegakan hadd bergantung pada keputusan peradilan setelah terbukti dengan pembuktian yang syar’iy. Dan pengadilan adalah pemberitahuan hukum dalam bentuk yang mengikat. Sifat mengikat ini berarti adanya kekuatan yang mengikat orang yang bersengketa dengan keputusan. Dan kekuatan ini adalah penguasa, yakni penguasa yang menegakkan syariah Allah dan mengharuskan kaum muslimin dengan hukum-hukum ini. Maka hudud tidak diterapkan kecuali dari penguasa yang menegakkan syariah Allah. Adapun dalil-dalil hal itu adalah sebagai berikut:
- Dalil-dalil yang mujmal, diantaranya:
Allah SWT berfirman:
﴿الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ… ﴾
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera … (TQS an-Nur [24]: 2)
Allah SWT berfirman:
﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS al-Maidah [5]: 38)
Allah SWT berfirman:
﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً… ﴾
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera ... (TQS an-Nur [24]: 4)
Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, Nabi saw bersabda:
«مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ»
“Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia”
Imam Muslim telah mengeluarkan dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَالرَّجْمُ»
“Ambillah dariku, ambillah dariku, sungguh Allah telah menjadikan untuk mereka jalan, gadis dengan gadis seratus kali dera dan pengasingan satu tahun, dan janda dengan duda jilid seratus kali dera dan rajam”
At-Tirmidzi telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Abu Shalih, dari Mu’awiyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ…»
“Siapa yang meminum khamr maka jilidlah…”
Ini adalah dalil-dalil mujmal yang mewajibkan penegakan hudud dan uqubat (maka jilidlah, maka potonglah, maka bunuhlah, jilid seratus kali dera dan rajam …). Dalil-dalil ini tidak menjelaskan siapa yang menegakkan uqubat dan bagaimana menegakkannya. Dalil-dalil mujmal itu seperti yang ada di ketentuan ushul memerlukan penjelasan. Dan keterikatannya sesuai penjelasan dalil mujmal ini. Rasul saw telah menjelaskan di dalam hadits-haditsnya yang mulia kemujmalan ini. Dan demikian juga ijmak sahabat ridhwanullah ‘alayhim telah menjelaskan pada masa khulafa’ ar-rasyidin dengan penjelasan yang jelas bahwa uqubat itu ditegakkan oleh penguasa dengan tata cara yang jelas dijelaskan di dalam nas-nas syariah. Diantara nas-nas yang menjelaskan nas-nas mujmal ini:
- Allah SWT berfirman:
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ﴾
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (TQS al-Maidah [5]: 49)
Ayat yang mulia ini dan ayat-ayat lainnya memberikan pemahaman dalam topik ini, menjelaskan bahwa Rasul saw adalah pihak yang dibebani (al-mukallaf) dengan penerapan hukum-hukum. Dan seruan kepada Rasul saw dalam memutuskan perkara (hukum) merupakan seruan kepada setiap penguasa yang memutuskan perkara dengan Islam, penguasa yang datang setelah Rasul saw. Hal itu berdasarkan kaedah ushul yang menyatakan bahwa seruan Rasul adalah seruan untuk umat beliau sesuai ketentuannya. Jika dalam masalah pemerintahan maka seruan itu untuk para khalifah setelah beliau selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Dan disini tidak ada dalil yang mengkhususkan itu. Dengan begitu, pihak yang menerapkan hukum-hukum adalah penguasa yang menghukumi dengan Islam.
- Ada hadits-hadits Rasul saw yang menjelaskan bahwa pelaku dosa yang mewajibkan hadd dia didatangkan ke hadapan Rasul saw agar beliau tegakkan atasnya hadd:
Imam Muslim telah mengeluarkan dari Anas bin Malik:
«أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ، فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ»، قَالَ: وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ، فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَارَ النَّاسَ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَخَفَّ الْحُدُودِ ثَمَانِينَ، «فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ»
Nabi saw didatangkan kepada beliau seorang laki-laki yang telah minum khamr, lalu beliau menderanya dengan dua buah tongkat sekitar empat puluh kali. Anas bin Malik berkata: “itu juga dilakukan oleh Abu Bakar. Ketika Umar meminta masukan kepada masyarakat, Abdurrahman berkata: hudud (peminum khamr) yang paling ringan delapan puluh kali.” Maka Umar memerintahkannya.”
Dan amal dilakukan berdasarkan ini menurut ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi saw dan selain mereka.
Al-Baihaqi telah mengeluarkan dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid:
أَنَّ رَجُلًا ذَكَرَ أَنَّ ابْنَهُ زَنَا بِامْرَأَةِ رَجُلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ»، فَجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا، وَأَمَرَ أُنَيْسًا أَنْ يَغْدُوَ عَلَى امْرَأَةِ الْآخَرِ، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ رَجَمَهَا، فَاعْتَرَفَتْ، فَرَجَمَهَا”
Seorang laki-laki menyebutkan kepada Nabi saw bahwa anaknya berzina dengan isteri seorang laki-laki. Maka Rasulullah saw bersabda: “sungguh aku putuskan diantara kalian berdua dengan kitabullah.” Maka beliau menjilid anak laki-laki itu seratus kali dera dan mengasingkannya satu tahun, dan beliau memerintahkan Unais agar menemui wanita yang lain itu, dan jika ia mengaku maka agar Unais merajamnya, lalu wanita itu mengakuinya dan Unais pun merajamnya
Al-Baihaqi juga telah mengeluarkan di Sunan ash-Shaghir dari Abu az-Zubair dari Jabir:
«أَنَّ رَجُلًا، زَنَا بِامْرَأَةٍ، فَلَمْ يُعْلَمْ بِإِحْصَانِهِ، فَجُلِدَ، ثُمَّ عُلِمَ بِإِحْصَانِهِ، فَرُجِمَ»
Seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, dan tidak diketahui muhshannya, maka ia dijilid, kemudian diketahui ia muhshan, maka ia dirajam
An-Nasai juga mengeluarkan semisalnya.
Abu Dawud telah mengeluarkan di Sunan-nya dari Shafwan bin Umayyah, ia berkata: aku tidur di masjid, aku memiliki baju seharga tiga puluh dirham, lalu datang seorang laki-laki dan ia mengambilnya dariku, lalu laki-laki itu ditangkap dan didatangkan kepada Rasululalh saw dan beliau memerintahkan agar dia dipotong tangannya. Maka aku datang dan aku katakan: “apakah engkau akan memotong tangannya karena tiga puluh dirham, aku jual dan aku berikan harganya? Rasulullah pun bersabda:
«فَهَلَّا كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ»
“Kenapa hal ini tidak sebelum engkau bawa dia kepadaku.”
Dan dalam riwayat ad-Daraquthni dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya, Rasululalh saw bersabda:
«اشْفَعُوا مَا لَمْ يَتَّصِلْ إِلَى الْوَالِي، فَإِذَا أُوصِلَ إِلَى الْوَالِي فَعَفَا فَلَا عَفَا اللَّهُ عَنْهُ»، ثُمَّ أَمَرَ بِقَطْعِهِ مِنَ الْمِفْصَلِ
“Ampunilah selama belum dibawa kepada wali, dan jika sudah disampaikan kepada wali lalu ia memaafkan maka Allah tidak memaafkan dia”. Kemudian, Rasulullah saw memerintah tangannya dipotong mulai dari pergelangan tangan.
- Ada berbagai kejadian pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, pelaku dosa yang mewajibkan dijatuhkan had, ia dibawa ke hadapan khalifah atau wakilnya untuk ditegakkan had terhadapnya. Diantara kejadian itu:
Abu Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi, ia berkata:
حَضَرْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ عَلَيْهِ حُمْرَانُ بْنُ أَبَانَ وَرَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ عُثْمَانُ لِعَلِيٍّ: «أَقِمْ عَلَيْهِ الْحَدَّ…»
“Aku mendatangi Utsman bin Affan dan kepadanya didatangkan al-Walid bin ‘Uqbah dia telah minum khamar dan disaksikan oleh Humran bin Aban dan seorang laki-laki lain, maka Utsman berkata kepada Ali: “tegakkan terhadapnya hadd …”
Imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Abdullah bin Qais Abu Musa al-Asy’ariy:
«أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بَعَثَهُ عَلَى الْيَمَنِ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ، فَلَمَّا قَدِمَ عَلَيْهِ قَالَ: انْزِلْ وَأَلْقَى لَهُ وِسَادَةً، فَإِذَا رَجُلٌ عِنْدَهُ مُوثَقٌ قَالَ: ” مَا هَذَا؟ ” قَالَ: كَانَ يَهُودِيًّا فَأَسْلَمَ، ثُمَّ رَاجَعَ دِينَهُ دِينَ السَّوْءِ فَتَهَوَّدَ. قَالَ: لَا أَجْلِسُ حَتَّى يُقْتَلَ قَضَاءُ اللهِ وَرَسُولِهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ، فَأَمَرَ بِهِ فَقُتِلَ»
Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman. Kemudian disusul oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika Muadz datang kepadanya, ia berkata: “buatkan dan berikan kepadanya bangku.” Dan ternyata ada seorang laki-laki diikat di dekat Abu Musa. Mu’adz berkata: “ini apa?” Abu Musa berkata: “ia dahulunya seorang Yahudi lalu masuk Islam, kemudian dia kembali ke agamanya, agama keburukan sehingga ia menjadi Yahudi. Mu’adz berkata: “aku tidak akan duduk hingga dia dibunuh sebagai keputusan Allah dan rasul-Nya”, ia katakan sebanyak tiga kali.” Lalu Abu Musa memerintahkan agar dibunuh dan laki-laki itu akhirnya dibunuh.
Abu Bakar membunuh orang-orang murtad ketika mereka mengingkari zakat. Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, ia berkata: ketika Rasulullah saw wafat dan Abu Bakar diangkat menggantikan beliau (sebagai Khalifah) dan orang dari kalangan arab kafir, Abu Bakar memerangi mereka. Abu Bakar berkata:
وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ
“Demi Allah aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Zakat adalah hak harta. Demi Allah seandainya sekelompok orang menghalangi dariku apa yang dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah saw pasti aku perangi mereka atas keengganan mereka itu”
Ringkasnya, seperti halnya dalil khusus itu menjadi pemutus atas dalil umum, dan yang muqayad menjadi pemutus atas yang mutlak sesuai kaedah ushul, dan dalil yang mubayyan (yang dijelaskan menjadi pemutus dalil yang mujmal, maka pihak yang menegakkan hudud adalah penguasa yang memerintah (mengkumi) dengan Islam, yakni seorang imam. Ini merupakan perkara yang ditetapkan sesuai dengan apa yang ada pada masa Rasulullah saw, apa yang dijalani oleh Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallah ‘anhum, seperti yang telah kami jelaskan di atas… Dan ini merupakan perkara yang masyhur sepanjang era khilafah islamiyah. Dan ada pendapat sebagian ulama mu’tabar dalam perkara ini:
– Pendapat Ibn Taymiyah: “Allah menyeru kaum mukminin dengan hudud dan hak-hak sebagai seruan yang bersifat mutlak seperti firman-Nya “dan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah ….” Akan tetapi telah diketahui bahwa pihak yang diseru secara riil harus mampu melaksanakannya dan orang yang tidak mampu maka tidak wajib atas mereka … dan kemammpuan itu adalah kekuasaan. Karena itu penegakan hudud itu wajib bagi pihak yang memiliki kekuasaan dan wakilnya.”
– Imam ‘Alauddin al-Kasani berkata: “sedangkan syarat-syarat bolehnya penegakkan hudud …. Adalah imamah.”
– Al-Qurthubi berkata: “tidak ada perbedaan bahwa pihak yang diseru (al-mukhathab) dengan perkara ini –al-hudud- adalah imam dan orang yang mewakilinya.”
– Imam asy-Syafi’iy berkata: “tidak boleh menegakkan hadd terhadap orang merdeka kecuali imam dan orang yang mendapat pendelegasian dari imam.”
– Ibn Qudamah berkata: “tidak boleh seorang pun menegakkan hadd kecuali imam atau wakilnya.”
- Dan dalam kondisi tidak ada penguasa yang menghukumi dengan syariah Allah maka yang wajib bagi kaum Muslimin adalah berjuang serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan penguasa yang menghukumi dengan Islam sebab itu adalah kewajiban berdasarkan banyak nas tentang hal itu dari al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat:
Adapun al-Kitab Allah SWT telah berfirman menyeru Rasul saw:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 48)
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْك﴾
dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS al-Maidah [5]: 49)
dan seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah adalah seruan untuk umat beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya mereka mewujudkan seorang penguasa setalah Rasulullah saw yang memutuskan perkara diantara ereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah. Dan perintah di dalam seruan tersebut berfaedah tegas. Sebab topik seruan adalah fardhu. Dan ini merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan ketegasan (jazmu) seperti yang ada dalam ketenyuan ushul. Dan penguasa yang memutuskan perkara diantara kaum Muslimin dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah setelah Rasulullah saw adalah al-Khalifah. Dan sistem pemerintahan berdasarkan pendangan ini adalah sistem al-Khilafah. Terlebih lagi, penegakan hudud dan seluruh hukum adalah wajib. Dan ini tidak bisa ditegakkan kecuali dengan pemerintahan. Dan apa yang tidak sempurna sebuah kewajiban tanpa adanya sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib. Artinya mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah adalah wajib. Dan penguasa berdasarkan pandangan ini adalah al-Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem al-Khilafah.
Adapun as-Sunnah, telah diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata: Abdullah bin Umar berkata kepadaku: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang melepaskan ketaatan niscaya ia menjumpai Allah tanpa memiliki hujjah, dan siapa yang mati sementara di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dengan kematina jahiliyah. (HR Muslim)
Jadi Nabi saw mewajibkan atas setiap muslim agar di pundaknya ada baiat. Dan Nabi mensifati orang yang mati sementara di pundaknya tidak ada baiat bahwa dia mati layaknya kematian jahiliyah. Dan baiat tidak ada setelah Rasulullah saw kecuali kepada khalifah, bukan yang lain. Jadi hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di pundak setiap muslim, yakni adanya khalifah yang menjadikan di pundak setiap muslim ada baiat dengan keberadaan khalifah itu. Imam Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:
«إنما الإمام جُنة يُقاتَل من ورائه ويُتقى به»
“Tidak lain seorang imam itu laksana perisai, orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (HR Muslim)
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hazim, ia berkata: aku mengikuti Abu Hurairah lima tahun, dan aku mendengar ia menceritakan hadits dari Nabi saw, beliau bersabda:
«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالَوْا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اِسْتَرْعَاهُمْ»
“Bani Israel diurusi oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah dan mereka banyak.“ Mereka (para sahabat) berkata: “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda: “penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama, dan berikan hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyai mereka atas apa yang mereka diminta mengurusnya”
Hadits-hadits ini di dalamnya ada pensifatan untuk khalifah bahwa dia adalah perisai. Pensifatan Rasul bahwa seorang imam laksana perisai adalah pemberitahuan yang di dalamnya ada pujian untuk eksistensi imam, dan itu adalah tuntutan. Sebab berita dari Allah dan Rasul jika mengandung celaan maka itu adalah tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk dikerjakan yakni perintah. Dan jika perbuatan yang dituntut itu pelaksanaannya berkonsekuensi penegakan hukum syara’, atau meninggalkannya berkonsekuensi terlantarnya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas (jazim). Dan di dalam hadits-hadits ini juga dinyatakan bahwa orang yang mengurusi urusan kaum Muslimin adalah para khalifah, dan ini berarti tuntutan menegakkan mereka. Apalagi Rasul saw memerintahkan untuk taat kepada para khalifah dan memerangi orang yang menyaingi mereka dalam kekhilafahan mereka. Dan ini berarti perintah menegakkan khalifah dan menjaga kekhilafahannya dengan memerangi setiap orang yang merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
«وَمَنْ بَايَعَ إِمَاماً فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ، وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ، فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ. فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ، فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرَ»
“Siapa yang membaiat seorang imam (khlaifah) dan ia telah berikan genggaman tangannya dan buah hatinya maka hendaknya ia mentaati imam itu semampu dia, dan jika datang orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher orang lain itu”
Perintah mentaati imam adalah perintah untuk menegakkannya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebutnya merupakan indikasi (qarinah) ketegasan tentang kelangsungan eksistensi khalifah hanya satu orang saja.
Adapun ijmak shahabat, mereka ridhwanullah ‘alayhim telah berijmak atas keharusan penegakan seorang khalifah (pengganti) Rasulullah saw setelah wafatnya beliau. Dan mereka berijmak menegakkan khalifah kepada Abu Bakar, kemudian untuk Umar, kemudian untuk Utsman, setelah kematian masing-masing mereka. Tampak adanya penegasan ijmak sahabat atas penegakan khalifah dari penundaan mereka mengebumikan jenazah Rasulullah saw pasca wafat beliau dan kesibukan mereka mengangkat khalifah, padahal mengebumikan jenazah pasca wafat beliau adalah fardhu. Dan para sahabat yang mereka wajib menyibukkan diri mengurusi jenazah Rasul saw sebagian dari mereka menyibukkan diri mengangkat khalifah daripada mengurus jenazah Rasul saw, sementara sebagian dari mereka diam terhadap kesibukan itu, dan mereka berserikat dalam menunda penguburan selama dua malam padahal mereka mampu mengingkari dan mampu melakukan penguburan. Rasulullah saw diwafatkan pada Dhuha hari Senin, dan belum dikebumikan selama malam Selasa dan Selasa siang ketika Abu Bakar dibaiat, kemudian jenazah Rasul saw baru dikebumikan tengah malam Rabu. Artinya tertunda dua malam, dan Abu Bakar dibaiat sebelum penguburan jenazah Rasul saw. Maka yang demikian itu merupakan ijmak atas lebih menyibukkan diri mengangkat khalifah dari menguburkan jenazah. Dan yang demikian itu tidak terjadi kecuali jika mengangkat khalifah lebih wajib dari menguburkan jenazah. Dan juga para sahabat seluruhnya berijmak sepanjang hari-hari kehidupan mereka atas wajibnya mengangkat khalifah, meski mereka berbeda pendapat tentang person yang dipilih menjadi khalifah. Mereka sama sekali tidak berbeda pendapat atas penegakan khalifah, baik pada saat wafatnya Rasulullah saw, dan pada saat wafatnya khulafa’ ar-rasyidin. Jadi ijmak shahabat itu merupakan dalil yang gamblang dan kuat atas wajibnya mengangkat khalifah.
Begitulah, yang wajib bagi kaum muslimin ketika tidak ada penguasa yang menghukumi dengan Islam yakni “al-khalifah” adalah mereka wajib mengerahkan segenap daya usaha dalam mewujudkannya. Dan adanya khalifah merupakan fardhu dan sebaik-baik fardhu. Khalifahlah yang menegakkan hudud yang wajib dari Rabb semesta alam. Dan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib. Dan khususnya, bahwa penegakan hudud merupakan kewajiban agung yang di dalamnya ada kebaikan umat dan kelurusan perkara umat. Ibn Majah telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا»
“Had yang dilaksanakan di muka bumi lebih baik untuk penduduk bumi dari diturunkan hujan kepada mereka empat puluh pagi.”
Dan pada penutup saya mengarahkan perhatian kaum muslimin di wilayah-wilayah persengketaan yang disitu tidak ada pemerintahan yang stabil dan tidak ada negara, saya arahkan perhatian mereka kepada wajibnya menyelesaikan persoalan-persoalan diantara kaum muslimin secara arbitrase (perdamaian), dan hendaknya mereka tidak membiarkan persoalan-persoalan itu menjadi rumit diantara masyarakat, akan tetapi mereka hendaknya menyelesaikanya secara arbitrase. Jadi para ulama, ulul albab dan ahlul halli wal ‘aqdi di negeri itu mendamaikan diantara manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang fakir dari mereka, dan berdiri disamping orang-orang yang terzalimi untuk mengambil haknya dari orang yang menzalimi… Hal itu karena nas-nas yang bersifat umum tentang perkara ini, dan tentang perdamaian diantara manusia. Nas-nas ini tidak dikhususkan dengan adanya penguasa. Demikian juga nas-nas mutlak tentang ishlah (perdamaian) tidak dibatasi dengan adanya penguasa. Diantara nas-nas itu adalah:
﴿لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (TQS an-Nisa’ [4]: 114)
﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS an-Nisa’ [4]: 128)
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS al-Hujurat [49]: 10)
﴿وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ﴾
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (TQS asy-Syura [42]: 40)
Dan imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Ummu ad-Darda’ dari Abu ad-Darda’, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ، وَالصَّدَقَةِ؟» قَالُوا: بَلَى قَالَ: «إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ قَالَ: وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ»
“Maukah aku beritahu sesuatu yang lebih afdhal dari derajat shalat, puasa dan sedekah?” Mereka menjawab: “benar.” Beliau bersabda: “mendamakian orang yang memiki hubungan”. Beliau bersabda: “dan kerusakan hubungan kerabat adalah membinasakan”
Abu Dawud telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh Ibn Hibban dari Ummu ad-Darda’ dari Abu ad-Darda’ dengan lafazh: Rasulullah saw bersabda:
«أَلَا أُخْبِرُكُمْ، بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ، وَالْقِيَامِ؟» ، قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ، وَفَسَادُ ذَاتِ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ»
“Maukah aku beritahu sesuatu yang lebih afdhal dari derajat puasa dan qiyam?” Mereka menjawab: “benar ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “mendamakian orang yang memiki hubungan dan kerusakan hubungan kerabat adalah membinasakan”
Atas dasar itu maka penyelesaian persoalan di berbagai wilayah perselisihan dimana tidak ada negara adalah melalui perdamaian dengan syarat perdamaian itu tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal berdasarkan nas-nas syariah yang dinyatakan, dan diantaranya:
Abu Dawud telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ» زَادَ أَحْمَدُ، «إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا، أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا» وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:«الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ»
“Perdamaian itu boleh diantara kaum muslimin” Ahmad menambahkan “kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”, Sulaiman bin Dawud menambah: “Rasulullah saw bersabda: “kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.”
At-Tirmidzi telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Katsir bin Abdullah bin Amru bin ‘Awf al-Mizani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw bersabda:
«الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»
“Perdamaian itu boleh diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
At-Tirmidzi berkata: “ini adalah hadits hasan shahih.”
Demikian juga Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah ra., dengan lafazh: Rasulullah saw bersabda:
«الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا»
“Perdamaian boleh diantara kaum muslimin kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”
Jadi perdamaian (ishlah) diantara masyarakat itu dituntut baik ada penguasa maupun tidak ada. Ini adalah hukum syara’ yang menjadi pandangan saya dalam masalah ini, dan Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Menghukumi.
Ringkasnya:
1. Hudud ditegakkan oleh penguasa yang menghukumi dengan Islam. Dan itu menjadi penebus dosa yang mewajibkan dijatuhkan had itu. Artinya orang yang berdosa itu tidak dijatuhi sanksi di akhirat atas dosa itu yang terhadapnya telah dijatuhkan hadd di dunia. Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Ubadah bin ash-Shamit ra., dan ia turut serta dalam perang badar dan merupakan salah seorang wakil malam al-‘Aqabah: bahwa Rasulullah saw bersabda, dan disekeliling beliau ada sekelompok sahabat beliau:
«بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَ تَسْرِقُوا، وَلاَ تَزْنُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ، وَلاَ تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ». فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
“Baiatlah aku atas bahwa kalian tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, kalian tidak mencuri, kalian tidak berzina, kalian tidak membunuh anak-anak kalian, kalian ytidak mendatangkan kebohongan diantara kedua kaki dan tangan kalian, kalian tidak bermaksiyat dalam kemakrufan, dan siapa saja dari kalian yang memenuhi maka pahalanya menjadi tanggungan Allah, dan siapa saja yang terkena sesuatu dari yang demikian lalu dijatuhi sanksi di dunia maka itu menjadi penebus untuknya, dan siapa saja yang terkena sesuatu dari yang demikian kemudian Allah menutupinya maka itu kembali kepada Allah, jika Dia berkehendak Dia ampuni dan jika Dia berkehendak Dia jatuhi sanksi”. Ubadah binn ash-Shamit berkata: “lalu kami membaiat beliau atas yang demikian.”
2. Dan di wilayah-wilayah perselisihan dimana tidak ada daulah dan tidak ada pemerintahan yang stabil, maka persoalan tidak boleh dibiarkan menjadi rumit dan komplek, akan tetapi harus diselesaikan melalui perdamaian dengan campur tangan ahlul halli wal ‘aqdi dan para ulama yang memiliki penerimaan berpengaruh, beramal dengan benar dan ikhlas. Dan Allah SWT adalah tempat meminta pertolongan.
Ini adalah menurut pandanganku tentang pertanyaan Anda seputar penegakan hudud. Telah saya sebutkan dalil-dalil syara’ dalam masalah itu, arah penarikan dalilnya dan berikutnya pengistinbatan hukumnya, dan Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Memutuskan hukum.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
30 Muharram 1435 H
03 Desember 2013 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_31322