Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menyebutkan empat arti penolakan Perdana Menteri Australia Toni Abbot untuk menghentikan penyadapan di Indonesia. “Pertama, ini konfirmasi langsung bahwa selama ini Australia menyadap,” tegasnya kepada mediaumat.com, Ahad (8/12) melalui sambungan ponsel.
Kedua, mereka itu mempunyai kepentingan yang sangat tinggi untuk terus melakukan penyadapan. “Kalau mereka tidak punya kepentingan yang sangat tinggi semestinya setelah ketahuan akan berhenti, tapi ini kan tidak,” ungkapnya.
Ketiga, betul bahwa Australia tidak punya rasa takut sama sekali dengan Indonesia. Dengan kata lain, Australia itu memandang Indonesia tidak ada apa-apanya. Karena mereka tahu, Indonesia tidak akan berani melakukan tindakan yang sepadan dengan tindakan penyadapan. “Yang ada kan hanya penarikan Duta Besar Indonesia di Canbera, bukan pengusiran Dubes Australia di Jakarta,” sindirnya.
Keempat, keberanian Australia itu didorong juga oleh setting politik internasional. “Australia itu tidak sendiri, bertindak atas restu Amerika dan negara besar lainnya yang memang menjamin akan mendukung Australia kalau ada masalah dengan Indonesia,” bebernya.
Menurut Ismail, yang harus dilakukan Presiden SBY, terkait penyadapan tersebut sebenarnya sudah sangat jelas. “Seperti orang yang menangkap maling, itu malingnya diborgol tangannya. Dalam konteks diplomasi yang paling konkrit itu mengusir Dubes Australia dari Indonesia. Lebih jauh lagi ya putus hubungan diplomasi,” saran Ismail.
Namun itu tidak dilakukan. Ketidaktegasan SBY tersebut menggenapi diplomasi Indonesia yang dinilainya sangat lemah. (mediaumat.com, 9/12/2013)