Oleh: Hafidz Abdurrahman
Penyakit AIDS merupakan jenis penyakit menular, yang disebabkan oleh virus mematikan, HIV. Virus ini awalnya diidap oleh mereka yang sering malakukan zina, atau gonta-ganti pasangan seks. Karena virus, maka virus ini bisa ditularkan kepada orang lain, baik pasangan seks pengidap virus tersebut, atau anak-anak yang lahir dari pasangan pengidap virus tersebut. Bahkan, kemudian virus tersebut bisa ditularkan melalui jarum suntik, infus dan sebagainya. Penularan virus ini pun mengalami percepatan berkali lipat. Anehnya, hingga kini virus dan penyakit ini belum ditemukan obatnya.
Karena penyebaran virus yang mematikan ini begitu masif, banyak aktifis dan pemerintah hingga badan kesehatan dunia perlu melakukan berbagai tindakan nyata. Namun, alih-alih tindakan itu menghentikan, atau menyelesaikan perkembangbiakan virus dan penyakit ini, justru malah subur. Lihat saja, tindakan konyol dan gila yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, dengan program Pekan Kondom-nya. Dengan berbagai testimoni dari ahli zina, dari kalangan artis, yang dengan bangga mengatakan, mereka sudah biasa berzina, dan tidak terkena AIDS, karena selama ini memakai kondom. La haula wa la quwwata illa billah.
Akar Masalah
Virus dan penyakit mematikan ini, diakui atau tidak, sebenarnya bersumber dari kehidupan sosial yang salah. Free love, free sex, pergaulan bebas, prostitusi, baik yang dilokalisasi maupun liar, merupakan sumber utama perkembangbiakan penyakit ini. Pendek kata, semua ini terjadi akibat diterapkannya sistem pergaulan (nidzam ijtima’i) yang salah, yang merupakan turunan dari sistem kufur.
Mestinya, fenomena ini menyadarkan kaum Muslim, bahwa solusi dari seluruh permasalahan ini adalah dengan kembali kepada sistem Islam. Sebagaimana firman Allah, “Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia, agar Dia (Allah) mencicipkan mereka (untuk merasakan) sebagian dari apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (kepada Allah).” (TQS ar-Rum [21]: 41)
Dengan kembali kepada sistem Islam, maka tidak akan ada lagi pergaulan bebas di tengah-tengah kaum Muslim. Kehidupan antara pria dan wanita diatur sedemikian rupa. Mereka dilarang berkhalwat, berduaan pria dan wanita yang bukan mahram, termasuk berpacaran. Bukan hanya melarang berkhalwat, Islam juga melarang kaum pria dan wanita melakukan ikhtilath (campur baur), kecuali dalam perkara yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual beli, haji-umrah, naik kendaraan umum dan belajar-mengajar, misalnya. Karena hukum asal kehidupan antara pria dan wanita itu memang terpisah secara total.
Tidak hanya itu, kaum pria diwajibkan untuk menundukkan pandangan terhadap kaum wanita, sehingga terhindar dari memandang lawan jenis dengan dorongan syahwat. Demikian sebaliknya. Islam pun melarang kaum perempuan melakukan tabarruj, berpenampilan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Hal yang sama juga berlaku bagi kaum pria. Islam juga melarang pria maupun wanita menampakkan auratnya di hadapan masing-masing.
Semuanya ini merupakan ketentuan yang telah diatur oleh sistem Islam untuk membentuk masyarakat yang baik dan sehat. Jika semua ketentuan tersebut dijalankan, maka pintu perzinaan tertutup rapat. Karena itu, ketika ada orang yang melakukan zina, sanksi yang dijatuhkan kepadanya pun tegas dan keras. Karena dianggap nekad. Bagi yang sudah menikah (muhshan), dia dikenakan sanksi rajam, dilempari batu hingga mati. Bagi yang belum menikah (ghairu muhshan), dia dikenai sanksi jild, dicambuk 1oo kali.
Inilah sanksi yang tegas dan keras bagi pelaku zina. Adapun bagi mereka yang melakukan pelanggaran, meski tidak sampai kepada taraf berzina, seperti berkhalwat, ikhtilath, membuka aurat, ber-tabarruj, dan sebagainya, sekalipun tidak disebutkan sanksinya dengan jelas dan tegas, mereka tetap dikenakan sanksi. Bagi mereka sanksinya adalah ta’zir. Berat dan ringannya bisa dikembalikan kepada hakim, namun hakim bisa merujuk pada hukuman hudud, seperti dicambuk, dan atau dibuang, misalnya.
Tindakan Khilafah
Selain menerapkan hukum dan sanksi yang tegas dan keras di atas, baik untuk mencegah maupun menangani mereka yang terbukti melakukan pelanggaran, khilafah juga akan melakukan tindakan lain. Khususnya yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS dan penyebarannya.
Bagi mereka yang mengidap virus HIV/AIDS, jika terbukti sebagai pelaku zina, baik muhshah maupun ghairu muhshan, maka khilafah akan menjatuhkan had zina kepada masing-masing. Dengan dijatuhkannya sanksi rajam bagi penderita HIV/AIDS yang muhshan, maka dengan sendirinya akan mengurangi jumlah penderia HIV/AIDS, sekaligus membersihkannya, baik dari dampaknya kepada orang yang lain, maupun dosanya di sisi Allah SWT. Sementara bagi yang ghairu muhshan, akan dijatuhi sanksi jild, sebanyak 100 kali. Setelah itu, dia akan diperlakukan sebagai penderita HIV/AIDS dengan perlakuan yang khas.
Perlakuan yang khas juga dilakukan oleh khilafah terhadap penderita lain, yang bukan pelaku zina. Mereka bisa saja istri dari pelaku zina, yang tidak terlibat zina, atau anak-anak yang tertular virus tersebut dari orang tuanya. Bahkan, mungkin orang lain yang tidak bersalah, tetapi terinfeksi virus HIV-AIDS dari orang tersebut. Mereka semua mendapatkan perlakuan yang sama sebagai penderita virus yang mematikan ini.
Khilafah akan memberikan layanan pengobatan terbaik, kelas pertama, dan gratis. Khilafah juga akan bekerja keras menemukan penawar virus HIV/AIDS ini, dengan mendanai riset untuk keperluan ini. Karena mereka ini mengidap virus menular, dan mematikan, maka mereka akan dikarantinakan di pusat-pusat rehabilitasi kelas pertama dengan berbagai fasilitas kelas satu. Bukan hanya diobati dan dirawat secara fisik, tetapi mereka juga akan di-recovery mentalnya, sehingga bisa menatap masa depan dan sisa hidupnya dengan sabar, tawakal dan positif.
Pada masa yang sama, tindakan ini untuk mengeliminasi penyebaran dan pengembangbiakan virus ini di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, baik kepada penderita maupun masyarakat juga ditanamkan pandangan positif, bahwa semuanya ini merupakan musibah, yang bisa merontokkan dosa-dosa mereka. Dengan begitu, baik pelaku maupun masyarakat, sama-sama mempunyai pandangan yang positif.
Begitulah cara Islam, dan khilafah mengatasi masalah ini. Bukan dengan tindakan bodoh dan konyol, sebagaimana dilakukan para penguasa tolol saat ini. Penguasa yang mendapat julukan dari Nabi SAW sebagai Ruwaibidhah. Siapa Ruwaibidhah? “Orang tolol, yang mengurusi urusan orang banyak.” Begitu sabda Nabi (HR Ibnu Majah).
Subhanallah..! Begitu indahnya hukum Islam, sampai mengurus kehidupan pribadi dan sosial… Karena kita melihat kebejatan manusia (yang disebutkan dalam ar-Rum ayat 21) sudah keterlaluan, bahkan muslim sekarang tidak tahu malu menampakkan aurat mereka di depan umum dan berzina (na’udzubillah min dzalik), padahal ya sudah tahu kalau salah. Miris lihat bangsa kita yang sekarang!