Jaminan Keadilan bagi Semua Agama dalam Negara Khilafah Islam
Fitrah beragama umat muslim kembali terpasung. Di beberapa negara, umat Islam mengalami diskriminasi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, terjadi berbagai penolakan terhadap agama Islam dan kaum muslim.
Sempat beredar kabar bahwa di Angola, sebuah negara kecil di benua Afrika, telah melarang perkembangan Islam, bahkan juga 194 sekte lainnya. Kabarnya, Pemerintah Angola mengambil langkah-langkah dengan menghancurkan masjid-masjid di negara itu. Menteri kebudayaan Angola, menyatakan ”Proses pengakuan Islam di negara ini belum disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, masjid akan ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut” (eramuslim.com, 25 November 2013).
Kabar tersebut lantas dianulir oleh beberapa ulama Angola dan komunitas muslim Angola beberapa hari setelah kabar tidak sedap itu berkembang ke seantero dunia. Mereka menyatakan bahwa tidak ada penutupan masjid-masjid dan pemerintah Angola masih tetap memberi kebebasan kepada pemeluk Islam (Islampos, 28 November 2013). Bagaimana pun faktanya, berita awal yang menyakitkan itu tetap mengindikasikan ancaman bagi kaum muslim yang hidup secara minoritas di negara kufur, sebagaimana di Angola.
Kondisi di Myanmar berbeda lagi. Juru bicara Kepresidenan Myanmar, Ye Htut, menyatakan bahwa negaranya tidak akan menanggapi tekanan dari PBB terhadap negaranya untuk memberikan orang-orang minoritas Muslim “Rohingya” hak kewarganegaraannya. (eramuslim.com, 22 November 2013). Di sini , kaum muslim terang-terangan dipersulit hidupnya oleh negara.
Sedangkan di negara bagian AS, siswa muslim di Montgomery County, sebuah daerah setingkat kabupaten wilayah timur negara bagian Marylan telah kehilangan impian mereka merayakan Idul Fitri dan Idul Adha, setelah negara bagian ini menetapkan kalender pendidikan untuk tahun depan. Pemerintah Montgomery sendiri telah memberikan libur hari raya keagamaan bagi penganut Kristen dan Yahudi, namun tidak memberikan kepada umat Islam. (muslimdaily.net, 19 Novemver 2013).
Adapun pemerintah Belanda, meski tidak melarang agama Islam, namun pernyataan salah seorang anggota Parlemennya bertolak belakang. Geert Wilders, anggota Parlemen Negara Kincir Angin ini menyatakan kebenciannya kepada Islam sebagai agama dan sebagai ideologi. Ia menyebutnya sebagai agama yang berbahaya karena berpotensi menguasai masyarakat di mana ia berada. (republika.co.id, 22 November 2013)
Itulah perlakuan yang diterima kaum muslim di beberapa negara yang mengaku mengusung demokrasi. Inikah janji demokrasi yang katanya melindungi semua penganut agama? Inikah sistem yang dikatakan ideal bagi kehidupan beragama di dunia? Padahal, bukankah beragama adalah fitrah bagi setiap manusia.
Sungguh, dunia menghendaki sistem bernegara yang melindungi kehidupan beragama seluruh warganya. Dan itu semua sejatinya telah ada dalam Daulah Khilafah Islam, negara yang berdasarkan Islam. Bahkan prakteknya telah dimulai oleh Baginda Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh khalifah sesudahnya.
Kedudukan Orang Kafir dalam Daulah Islam
Kehidupan beragama dijamin dalam negara (daulah) Khilafah Islam, baik agama Islam maupun non Islam. Warga negara non muslim yang tinggal dalam daulah Islam disebut dengan kafir dzimmy atau ahlu dzimmah. Kata Adz dzimmi berasal dari adz-dzimmah yang artinya janji. Mereka hidup berdampingan dengan muslim dan mendapatkan perlindungan dari negara.
Mereka mendapatkan hak berupa perlakuan yang serupa dengan warga negara yang muslim. Beberapa aturan diantaranya tidak boleh memfitnah agama mereka, harta dan kehormatan mereka dilindungi. Sedangkan kepada mereka hanya dipungut jizyah (semacam pajak) yang khusus ditarik kepada laki-laki yang baligh dan mampu.
Perlakuan terhadap Dzimmi
Perlakuan terhadap Dzimmi dalam daulah Islam menunjukkan bahwa negara yang berdasarkan Islam ini mampu memberi keadilan yang dibutuhkan oleh semua warga negara negara. Hal ini nampak dari perlakuan negara terhadap mereka.
Pertama, pungutan jizyah. Kewajiban memungut jizyah kepada adz-dzimmi berdasarkan sabda Nabi Saw :
“Sesungguhnya barang siapa yang masih tetap mengikuti agama Yahudi dan Nasrani, maka ia tidak boleh diganggu dan ia harus membayar jizyah”. (HR. Abu ‘Ubaid)
Kewajiban jizyah tidak hanya bagi Yahudi dan Nasrani namun juga bagi orang-orang musyrik. Hal ini ditegaskan oleh riwayat yang disampaikan oleh Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib :
“Rasulullah Saw menulis kepada orang Majusi Hajar, menyeru mereka masuk Islam. “Barangsiapa yang memeluk Islam, maka ia diterima, dan yang menolak maka dikenai jizyah. Lebih dari itu sembelihannya haram dimakan dan perempuannya haram dinikahi” (HR. ‘Abu ‘Ubaid).
Hadits tersebut pun tidak dikhususkan bagi Majusi Hajar, namun umum bagi semua agama. Meski jizyah hanya diberlakukan kepada orang kafir di negara Islam, hal ini tidak menunjukkan tindakan diskriminatif terhadap orang kafir. Sebab, untuk kaum muslim pun dibebankan pungutan lain yang tidak diwajibkan kepada orang kafir, seperti kewajiban membayar zakat bagi muslim yang memiliki harta yang cukup untuk dizakati.
Jizyah hanya dipungut dari laki-laki yang mampu saja. Sebab, jika ia tidak mampu maka ia tidak dipaksa. Bahkan jika tergolong orang fakir, maka ia berhak mendapatkan santunan dari Baitul Mal (Kas Negara).
Kedua, memungut jizyah tanpa zhalim. Cara menarik jizyah kepada dzimmi pun dengan tidak kekerasan, namun dengan cara sopan dan tidak mendzalimi. Ketika Hisyam bin Hakim bin Hizam menemukan orang-orang yang melakukan penganiayaan dalam menarik jizyah maka ia berkata bahwa dirinya pernah pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah akan menyiksa pada hari Kiamat mereka yang menyiksa manusia di dunia”.
Ketiga, perlakuan umum yang baik. Islam mengajarkan agar memperlakukan orang kafir dzimmi dengan baik, bersikap lembut dan memperhatikan kepentingannya. Kaum muslim bahkan wajib menjaga keselamatan jiwa, harta dan kehormatannya. Mereka terjaga makanan, tempat tinggalnya, juga pakaiannya. Rasulullah Saw persabda :
“Saya berwasiat untuk khalifah sesudahku begini dan begitu. Saya juga berwasiat kepadanya untuk melakukan dzimmah (janji) Allah dan Rasul-Nya agar perjanjian dengan mereka ditunaikan, sehingga mereka berada di belakang (mendukung) ketika berperang dan agar tidak membebani mereka di luar kemampuan mereka”. (HR. Al Bukahri)
Keempat, kebebasan menjalankan keyakinan dan ibadahnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :
“Barangsiapa yang tetap pada keyakinannya, Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh diganggu” (HR. Abu ‘Ubaid)
Perlakukan tesebut juga berlaku kepada selain Ahli Kitab karena Rasulullah Saw pernah menyatakan berkaitan dengan Majusi :
“Berbuatlah pada mereka seperti pada Ahlul Kitab” (Diriwayatkan oleh Malik melalui Abdurahman bin ‘Auf).
Kelima, berkaitan dengan binatang sembelihan orang kafir, maka diatur sesuai syariah Islam. Kaum muslim boleh memakan binatang sembelihan Ahli Kitab, namun tidak boleh jika berasal dari kafir musyrikin selain Ahli Kitab. Demikianlah ketentuan Allah SWT dalam Kitab-Nya (QS. Al Maidah [5] : 5).
Keenam, kebolehan bermuamalah dengan kaum muslim. Kaum muslim boleh melakukan berbagai transaksi muamalah dengan orang kafir dzimmi, seperti jual beli, sewa, perserikatan, dan sebagainya tanpa diskriminasi.
Ketujuh, larangan melakukan spionase. Daulah Islam menerapkan hukum spionase menurut ketentuan Syariah. Bahwa kaum muslim tidak boleh melakukan aktivitas mata-mata (spionase) baik kepada sesama muslim maupun kepada warga negara kafir (dzimmi). Hal itu karena Rasulullah Saw pernah bersabda :
“Sesungguhnya seorang amir jika ia mencari-cari keraguan (memata-matai) di tengah-tengah masyarakat, berarti ia telah merusak mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Miqdad dan Abu Umamah).
Mereka (kafir dzimmi) pun dilarang memata-matai kaum muslim maupun sesama kafir dzimmi. Spionase hanya boleh dilakukan kepada orang kafir harbi, baik yang meminta jaminan keamanan (musta’min) dan yang memiliki ikatan perjanjian (mu’ahid) maupun orang kafir harbi yang tidak memiliki hubungan apapun dengan daulah khilafah. Mereka semua adalah kafir harbi, maka kepada diberlakukan hukum kafir harbi , baik mereka berada di wilayah daulah maupun di negeri mereka. Itulah yang pernah dilakukan Rasulullah Saw pada masa hidupnya.
Penutup
Sungguh tak ada negara yang begitu sempurna melindungi dan memberi keadilan bagi seluruh warga negaranya dan melainkan negara yang mendasarkan pengaturannya kepada wahyu Allah SWT. Itulah Daulah Khilafah Islam yang Insyaallah akan tegak kembali dalam waktu yang tidak lama lagi. Aamiin. []