Inilah Tanggung Jawab Intelektual dalam Transformasi Masyarakat

Bila mempelajari sejarah Nabi dalam konteks transformasi masyarakat, ungkap Prof Dr Fahmi Amhar akan didapati Nabi melakukan perubahan yang fundamental dalam  tiga aspek. “Nabi mengubah individu dengan menanamkan tauhid.  Selanjutnya Nabi membalikkan opini umum di masyarakat dengan menyodorkan ayat-ayat yang bertentangan dengan opini tersebut, dan menerapkan Islam dalam negara,” tegasnya, Sabtu (14/12) di Wisma Makara, UI, Depok.

Oleh sebab itu, ungkapnya dalam sesi penutup hari pertama konferensi intelektual Muslim Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) 2013,  ketika pada masa kini, opini umum yang dominan dan bertentangan dengan ayat-ayat suci adalah sekulerisme dan liberalisme, maka tugas para intelektual juga untuk membalikkan opini ini.

“Sekulerisme-liberalisme sudah dari awal bertentangan dengan tauhid!” pekiknya di hadapan sekitar 200 profesor, doktor dan master dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia maupun luar negeri.

Menurutnya,  proses transisi pembalikan opini ini tentu memerlukan proses yang panjang dan menyakitkan.  Namun ini semua proses yang perlu dilalui, sampai didapatkan suatu “massa kritis” yang siap memanggul beban perubahan.

Massa kritis ini akan terlahir dari mereka yang memang siap dengan segala risiko sebuah transformasi sosial.  Ia menegaskan, tidak ada transformasi sosial yang langsung dapat dinikmati.  Selalu akan ada masa-masa sulit, masa-masa kurang tidur, masa-masa penuh ketakutan, kekurangan dan ketidakpastian.

Di situlah peran dan tanggung jawab yang harus diambil alih para intelektual. “Merekalah yang harus menginspirasi para pemimpin politis agar maju, mengambil alih tanggung jawab memimpin masyarakat menghadapi masa-masa yang berat!” tegasnya.

Ia menjelaskan bila para intelektual ini lebih cinta dunia dan takut mati, maka para pemimpin pun akan menjadi lemah dan akhirnya rusak.  Kala pemimpin rusak, maka umatpun akan rusak. Sebaliknya, jika para intelektual ini lebih mencintai Allah dan mati syahid, bila mereka tidak takut menderita, maka para pemimpin pun akan menjadi kuat, menjadi besar hatinya, dan berusaha menjauhi kerusakan.

“Dan jika ada pemimpin-pemimpin yang seperti ini, maka umatpun akan bisa diperbaiki, karena ada teladan yang bisa dipercaya.  Umatpun akan bisa dibangkitkan, dan bisa diajak bergerak menuju tugas sejarahnya!”

Dan sebagaimana sebuah pekerjaan raksasa, perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network).  “Inilah dakwah berjama’ah, yang di dalamnya para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

2 comments

  1. Mayoritas intelektual cinta dunia dan takut mati. Hanya sedikit intelektual yang mencintai agamanya. tetapi yang sedikit ini akan menjadi penerang bagi intelektual lainnya dan diikuti umat. allohu akbar.

  2. Biaya besar dikeluarkan untuk menuntut ilmu dengan gelar akademisi sampai tertinggi.Pun penghargaan tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi ketika mati, mereka menyesal dan ingin kembali lagi untuk memperjuangkan islam.. ya khilafah. … Terlambat suda!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*