Refleksi Akhir Tahun 2013: Rapot Merah Rezim Sekuler

Indonesia, negeri kaya di khatulistiwa, tak henti dirundung nestapa. Nasib serupa dialami kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan selama 2013 menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan kian jauh dari harapan. Rangkaian peristiwa menonjol, terangkum dalam kilas balik berikut ini.

Politik: Demokrasi dan Gurita Korupsi

Tahun 2013 menjadi tahun yang penting menjelang suksesi kepemimpinan Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus lengser pada 2014, setelah memimpin selama dua periode.

Berbagai ancang-ancang dilakukan oleh partai politik untuk berebut kursi tertinggi negeri Muslim terbesar di dunia ini. Puluhan partai politik mendaftarkan diri. Namun hanya 12 partai politik nasional yang akhirnya berhak maju ke pemilihan umum mendatang. Hampir semuanya adalah partai-partai lama. Kalau pun baru, orangnya stok lama.

Di tengah persiapan menjelang Pemilu, tabir busuk partai politik mulai terbuka. Syahwat mereka mengumpulkan pundi-pundi uang dengan segala cara untuk kepentingan demokrasi tak bisa ditahan lagi. Jadilah partai politik menjadi sarang bercokolnya para koruptor. Wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR satu per satu dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah tahun sebelumnya M Nazaruddin (bendahara Partai Demokrat) dijebloskan ke penjara karena terbukti korupsi giliran berikutnya adalah teman-temannya. Ada Angelina Sondakh yang November lalu dijatuhi hukuman 12 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. Sementara Andi Alfian Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga dari Partai Demokrat, ditahan KPK karena diduga terlibat korupsi Wisma Atlet di Hambalang. Kasus yang sama menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Padahal mereka ini sebelumnya adalah bintang iklan: “Katakan tidak pada korupsi!”

Bukan hanya Partai Demokrat, utak-atik proyek pun dilakukan oleh kader Partai Keadilan Sejahtera. Tak tanggung-tanggung, pelakunya adalah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Di penghujung Januari, ia ditangkap KPK karena terlibat dalam pengaturan impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Di persidangan, Lutfi dinyatakan bersalah dan divonis 16 tahun penjara dan hartanya disita.

Korupsi ini tidak hanya menjadi domain wakil rakyat, birokrat pun terlibat. Beberapa hari sebelum Luthfi, Irjen Pol Joko Susilo digelandang KPK. Ia didakwa terlibat korupsi simulator SIM. Di persidangan Joko divonis 10 tahun penjara.

Rupanya, korupsi ini sudah menjadi penyakit akut dan menjangkiti semua lini. Agustus 2013, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini tertangkap tangan menerima suap di rumahnya. Uang itu dari perusahaan migas yang ingin memenangi tender.

Dan yang paling spektakuler di tahun 2013 adalah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK. Ia dicokok di rumah dinasnya, komplek pejabat tinggi negara karena diduga menerima uang suap dalam kasus Pilkada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersamanya digelandang pula kader Partai Golkar Chairunnisa.

Ternyata Akil tidak hanya bermain di satu Pilkada itu saja. Ia pun diduga menerima suap dalam kasus Pilkada Lebak, Banten. Saat itu pula KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardhana, adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah. Dari sinilah, berbagai kasus korupsi di Banten oleh keluarga Atut mulai terkuak. Terungkap pula, dinasti Atut menguasai hampir semua lini pemerintahan di provinsi paling barat pulau Jawa itu. Dan ada dugaan, terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya.

Sepak terjang dinasti Atut ini pun menambah deret panjang jejak korupsi di birokrasi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 309 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus korupsi sejak pemilihan kepala daerah secara langsung pada 2005, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menilai faktor utama tindak pidana korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu adalah tingginya biaya politik selama pemilihan umum kepala daerah berlangsung. “Karena dalam politik tidak ada yang gratis.”

Itulah mengapa, politik dinasti muncul di daerah. Begitu salah satu bagian dinasti meraih kursi, singgasana itu akan terus dipertahankan pada dinastinya. Pakar menyebut ini sebagai ‘cacat bawaan demokrasi’.

Hampir semua lini terlibat korupsi. Tak terkecuali, para pejabat tinggi. Wakil Presiden Boediono diperiksa KPK karena diduga bertanggung jawab atas pengucuran dana bagi Bank Century, Rp 6.7 triliun. Demikian pula Istana disebut-sebut terlibat dalam berbagai tindak korupsi dalam kasus impor daging sapi dan Hambalang.

Bersamaan dengan itu, pemerintah dan DPR berusaha mengebiri ormas dengan melarang mereka menggunakan asas Islam dan bergerak di bidang politik. Penentangan pun bermunculan. Akhirnya, UU Ormas disahkan dan berbagai niat pemerintah tak kesampaian.

Ekonomi: Jago Utang, Dicaplok Asing

Pembangunan di Indonesia ternyata lebih mengandalkan utang daripada sumber kekayaan alam. Hingga September 2013, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 2.273,76 triliun. Jumlah utang ini naik naik Rp 95,81 triliun dibandingkan dengan posisi Agustus 2013.

Bila dibandingkan dengan utang di akhir 2012 yang sebesar Rp 1.977,71 triliun, utang pemerintah di September 2013 naik cukup tinggi. Secara rasio terhadap PDB total di 2012, utang pemerintah Indonesia berada di level 27,5 persen hingga September 2013.

Utang ini menjadi andalan Indonesia karena kekayaan alam telah tergadaikan kepada asing. Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Pratikno mengatakan, hingga September aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasi bangsa asing. Tanpa usaha keras untuk mengambilnya kembali, aset itu semuanya akan jatuh ke tangan orang asing.

Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen. Sektor migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah adalah pertambambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai asng mencapai 80-85 persen.

Dalam situasi seperti itu pemerintah tak berkutik. Titah asing tak bisa ditolak. Jadilah pemerintah membebek perintah asing untuk mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mulai Sabtu (22/6/2013) pemerintah menetapkan, harga BBM bersubsidi jenis premium naik Rp 2.000 per liter dan harga jual Solar naik Rp 1.000 per liter.

Dengan kenaikan tersebut, maka terhitung mulai Sabtu (22/6), harga jual premium yang semula Rp 4.500 per liter kini menjadi Rp 6.500 per liter. Sedangkan harga Solar yang semula Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter. Pemerintah beralasan, meningkatnya harga minyak dunia dan membengkaknya konsumsi BBM, telah mengakibatkan subsidi BBM mendekati Rp 300 triliun dan defisit anggaran melampaui 3 persen. Anehnya, DPR yang katanya wakil rakyat, malah setuju dengan pemerintah dan menolak aspirasi rakyat.

Ketika para pakar berpendapat kenaikan harga BBM ini akan menaikkan inflasi dan kemiskinan lebih dari 2 persen, dalam pidato kenegaraan di depan DPR Agustus 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru mengklaim kemiskinan di Indonesia menurun. Tercatat tingkat penurunan angka kemiskinan di 2004 hingga 16,66 persen menjadi 11,37 persen hingga Maret 2013.

Padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Secara kualitas kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis. Ini pula yang dirasakan oleh Gubernur DKI yang baru Joko Widodo. Saat sidang paripurna DPRD DKI Jakarta April 2013, Jokowi memaparkan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 sebesar 366.770 orang atau 3,70 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2011 yang berjumlah 355.200 orang atau 3,64 persen.

Angka kemiskinan ini berkorelasi positif dengan jumlah pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 6,25 persen atau sebanyak 7,39 juta orang (per Agustus 2013) atau meningkat sebesar 6,14 persen (7,24 juta orang) dibandingkan periode yang sama 2012.
Kepala BPS Suryamin Rabu (6/11/2013) menjelaskan, bertumbuhnya jumlah pengangguran ini lantaran adanya perlambatan ekonomi pada tahun ini, terutama pada triwulan III/2013, di mana ekonomi tumbuh hanya 5,62 persen. “Perlambatan ekonomi ini menyebabkan pengurangan lapangan kerja. Akhirnya kurang ada penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.

Ekonomi yang kian sulit mendorong para buruh terus berupaya mendapatkan perbaikan penghasilan. Sepanjang tahun 2013, aksi buruh terjadi di mana-mana. Mereka menuntut perbaikan upah minimum. Para pengusaha pun keberatan karena mereka banyak terbebani biaya siluman alias pungutan liar. Ini diakui sendiri oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Sementara buruh merasa upahnya tak lagi cukup untuk hidup. Konflik itu terus berkepanjangan hingga akhir tahun.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah meminta DPR menyetujui anggaran negara tahun 2014. Postur APBN itu menunjukkan kenaikan pengeluaran pemerintah. Ironisnya, sebagian besar pengeluaran APBN kita ternyata bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk yang lain: membayar utang dan bunganya; gaji pegawai negeri; juga fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat. Bahkan tren pengeluaran untuk fasilitas dan perjalanan dinas para pejabat meningkat dari tahun ke tahun. Sebaliknya, pengeluaran untuk rakyat—melalui subsidi—terus-menerus dikurangi. Sedangkan di sisi penerimaan berkurang. Lagi-lagi pemerintah mengandalkan penerimaan dari pajak, bukan sumber daya alam. Untuk itu pemerintah akan menggenjot pajak dan mengutang kepada negara lain/lembaga internasional.

Bahkan untuk menaikkan citra, pemerintah rela merogoh kocek Rp 109 miliar untuk menyelenggarakan pertemuan World Trade Organization di Bali, awal Desember lalu. Tidak ada yang didapat Indonesia kecuali pujian bahwa Indonesia menjadi pelaksana pertemuan WTO yang baik. Sementara kepentingan Indonesia dan negara berkembang melayang, kalah oleh kepentingan negara besar. Tragis.

Sosial Budaya: Kian Rusak dan Liberal

Tahun 2013 tak lepas dari konflik hirisontal. Demokrasi yang digadang-gadang mampu melahirkan tatanan masyarakat yang lebih baik ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal dan terputus jalinan persaudaraannya.

Konflik antar anggota masyarakat berlangsung hampir setiap saat. Setiap masalah berujung kepada kekerasan, anarkisme. Bentrok antarkampung, antarsuku, antarpreman, antarsekolah, antarormas, antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng mewarnai pemberitaan televisi. Dan negara dibuat tak berdaya.

Budaya kekerasan ini berimbas kepada lahirnya manusia-manusia sadis. Kriminalitas tumbuh sampai taraf yang mengkhawatirkan. Pembunuhan terjadi dengan berbagai modus. Ada mutilasi (kasus Benget di Jakarta Timur) bahkan kepada orang terdekatnya (istri), menggunakan pembunuh bayaran (kasus Holly), dibunuh lalu dimasukkan koper (kasus Tante Heny), dibunuh pasangan suami istri (kasus penari telanjang) dan sebagainya.

Sementara dii kalangan remaja terjadi degradasi moral yang luar biasa. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan dewasa, tapi remaja bahkan siswa SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Surabaya yang menjadi mucikari untuk kawan-kawannya sendiri. Tak heran jika sekarang anak seusia SD pun ada yang melahirkan (kasus di Musi Banyuasin, Sumsel).

Tingginya angka perilaku seks bebas berimbas pada bertambahnya jumlah pengidap HIV/AIDS di kalangan remaja. Nah, demi mengerem wabah penyebaran virus HIV, pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama DKT Indonesia dan Kementerian Kesehatan kemudian menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada 1 Desember hingga 7 Desember lalu dengan membagikan kondom secara gratis. Kebijakan ini disinyalir akan kian menyuburkan seks bebas. Tapi program ini dihentikan di tengah jalan setelah mendapat tantangan keras dari berbagai pihak.

Di sisi lain, pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi terbaik, gagal. Banyak koruptor justru pernah mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan diantaranya ada yang bergelar profesor dan doktor. Terbukti, pendidikan yang berjalan kering dari nilai-nilai moral dan etika, apalagi agama. Yang terlahir justru generasi yang permisif, hedonis, materalis, dan individualis.

Pemerintah sendiri seperti tak peduli dengan nasib generasi ini. Perhelatan Miss World digelar di Indonesia dengan berbagai dalih. Padahal semua tahu perhelatan itu adalah ajang eksploitasi wanita oleh kaum kapitalis. Akibat tekanan dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan ormas Islam, akhirnya kontes Miss World dipindahkan ke Bali. Seolah dengan cara itu pemerintah telah berbuat kebaikan, padahal esensi ekploitasinya tetap saja terjadi.

Internasional: Umat Islam Teraniaya

Situasi dunia Islam belum berubah. Bahkan di beberapa tempat makin buruk. Umat Islam menjadi keganasan berbagai rezim. Di Suriah, lebih dari 150 ribu kaum Muslim dibantai oleh rezim Bashar Assad. Anehnya, dunia membiarkan pembunuhan massal tersebut.

Di Mesir, rezim militer Mesir dipimpin Abdul Fatah As Sisi menggulingkan pemerintahan Mursi yang baru berkuasa secara sah selama setahun. Kudeta ini menyebabkan konflik berkepanjangan. Rakyat menjadi sasaran kekejaman tentara.

Di Palestina, umat Islam masih menjadi bulan-bulanan tentara Israel. Rumah-rumah mereka dihancurkan dan diganti dengan permukiman Yahudi. Bahkan bagian bawah Masjid Al Aqsha dibuat terowongan untuk membangun tempat peribadatan kaum terlaknat tersebut. Umat Islam di Gaza diblokade dari segala penjuru. Terowongan yang menghubungkan Gaza-Mesir dihancurkan. Sementara itu, di Afghanistan umat Islam terus dijajah oleh Amerika Serikat dan penguasanya sendiri.

 

Di belahan dunia Islam lainnya, kaum minoritas Muslim tak beranjak dari kondisi terpuruk. Muslim di Xinjiang (Cina), Rohingya (Myanmar), dan Pattani (Thailand) berjuang untuk membebaskan diri dari kekejaman rezim penguasa. Sementara di Barat, minoritas Muslim sering mendapatkan perlakukan diskriminatif. Mereka semua tak bisa berbuat banyak, kecuali bertahan dan membela diri dengan kemampuan yang ada.

Di sisi lain, negara adidaya Amerika Serikat mulai berjalan gontai. Krisis ekonomi membuat negara itu limbung. Utang kian menumpuk. Rezim Obama bersitegang dengan Kongres terkait anggaran belanja negara sehingga pemerintahan AS sempat mengalami shutdown Oktober lalu karena rencana pemerintah menambah utang tak disetujui oleh Kongres.

 

Tidak hanya krisis ekonomi, AS pun mengalami krisis sosial. Kriminalitas meningkat, termasuk pembunuhan massal. Di penghujung tahun, markas Angkatan Laut diserang, 13 tewas. Demikian pula pengangguran dan kemiskinan mulai tampak. Gelandangan terlihat di beberapa sudut kota. Kendati begitu, AS secara militer merasa masih cukup kuat. Dengan kemajuan teknologinya, AS menyadap puluhan negara termasuk Indonesia. Aksi Amerika ini dibantu oleh sekutunya yakni Australia dan Inggris. Banyak negara marah atas aksi Amerika itu. Tapi tidak demikian dengan Indonesia. Rezim SBY tak berani protes kepada AS. Dan kepada Australia, SBY hanya mengirim surat dan menarik duta besar Indonesia dari Canberra. Begitu PM Australia Abbot menyatakan Australia tidak akan menghentikan aksi penyadapannya, SBY juga diam saja. Tak bisa apa-apa.

 

 

Akar Masalah

Krisis politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, dan sebagainya yang terjadi di dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, saat ini, tidak dapat dipisahkan dari ideologi Kapitalisme. Artinya, ideologi Kapitalisme yang diterapkan itulah yang menjadi sumber dan akar berbagai krisis tersebut. Sebagaimana diketahui, ide dasar Kapitalisme adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dengan kehidupan. Sumber hukum dalam ideologi ini dari akal semata, karena pada satu sisi keberadaan Tuhan diakui, namun di sisi lain manusialah yang dianggap layak untuk menetapkan berbagai aturan.

Ideologi merupakan pandangan hidup yang menjadi asas dalam berbagai aspek kehidupan negara, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, pemerintahan dan lainnya. Di Indonesia, Kapitalisme telah dipilih oleh pemerintah Orde Baru sebagai landasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan saat itu yang dihadapi saat itu. Diantaranya melakukan liberalisasi ekonomi dan pasar, serta mengikatkan diri dengan IMF dan Bank Dunia yang memberikan utang. Pada sisi lain, Indonesia harus membuka pasar dan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi oleh pihak asing atas nama investasi dan pembangunan ekonomi.

Di era reformasi, Indonesia semakin menyempurnakan agenda kapitalistiknya. Lahir berbagai undang-undang yang pro-kapitalis seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan dan sebagainya. Berdasarkan UU liberal inilah berbagai kebijakan ekonomi dikeluarkan yang kenyataannya justru menimbulkan berbagai problem baru. Misalnya, kemiskinan dan pengangguran bukannya menurun, justru terus meningkat. Kekayaan sumber alam dikeruk asing, sementara utang negara terus menumpuk.

Kapitalisme gagal menyejahterakan warga dunia. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural, dan hanya menyenangkan para kapitalis. Meskipun terbukti gagal, namun kapitalisme masih bisa bertahan hingga saat ini. Penyebabnya karena adanya dukungan imperialisme atau penjajahan global. Kapitalisme bersama turunannya yakni liberalisme, pluralisme, demokrasi, dan HAM dipaksakan oleh para kapitalis yang bekerja sama dengan kaum imperialis agar dijadikan ideologi oleh negara-negara di dunia. Tujuannya agar mereka bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mengeruk kekayaan negara-negara tersebut dan menguasasinya secara politik.

Secara politik, AS dan Eropa, menjajakan sistem demokrasi yang dikatakan sebagai sistem politik yang akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan modern. Padahal kenyataannya, demokrasi yang bertumpu pada ide liberalisme (kebebasan) ini telah menciptakan berbagai bencana yang menimpa umat manusia di seluruh dunia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai krisis global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di dunia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh ide liberalisme di negeri-negeri Muslim secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, kebebasan beragama. Dalam demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama. Seseorang juga bebas untuk berpindah-pindah agama, sehingga agama menjadi sekedar asesoris seperti halnya pakaian yang bisa diganti setiap saat. Maka bisa dipastikan, generasi yang tumbuh dalam sistem demokrasi akan semakin memandang remeh ajaran agama. Mereka tak segan berpindah agama sekedar untuk memenuhi persyaratan pernikahan misalnya. Akhirnya agama sekedar didudukkan sebagai penanda status seseorang, sama seperti suku, komunitas, dsb.

Kedua, kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun. Tak penting, pendapat atau ide itu sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Satu-satunya tolok ukur yang dipakai adalah kebebasan itu sendiri, serta kepentingan, baik kepentingan diri maupun kelompoknya. Karenanya, undang-undang dan peraturan yang lahir dari gedung parlemen pada dasarnya sekadar alat untuk mengakomodir kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Sebagai contoh, rencana kenaikan BBM beberapa waktu lalu ditentang oleh hampir seluruh rakyat di negeri ini, namun tetap saja disetujui oleh anggota DPR. Itu merupakan bukti bahwa mereka memang tidak pernah peduli pada kepentingan rakyat sehingga tidak layak disebut sebagai wakil rakyat. Hasilnya, para anggota dewan saat ini ‘sukses’ mensejahterakan dirinya dan partainya, sementara rakyat makin terjepit dalam penderitaan.

Ketiga, kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki harta sekaligus mengembangkannya. Hal ini menjadi jalan bagi para kapitalis yang berkolaborasi dengan penguasa di negeri ini untuk menjarah kekayaan alam yang notabene milik seluruh rakyat. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. Di sektor migas misalnya, saat ini di Indonesia ada 60 kontraktor penguasa migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Super Major (ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco) yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kelompok Major (Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex) yang menguasai cadangan minyak 18 persen dan gas 15 persen. Terakhir kelompok perusahaan independen yang menguasai cadangan minyak 12 persen dan gas 5 persen.

Ironisnya, pada satu sisi perusahaan migas asing tersebut leluasa mengeruk kekayaan negeri ini, pada sisi lain Indonesia jatuh dalam perangkap utang. Total utang Pemerintah Pusat per 30 September 2013 sudah mencapai Rp 2.274 triliun. Menurut data Kementerian Keuangan (28/10/2013), rencana cicilan pokok dan bunga utang 2013 sebesar Rp 299,708 triliun (cicilan pokok Rp 186, 5 dan cicilan bunga Rp 113,2 triliun) atau 17,3 % dari belanja APBN-P 2013.

Kebijakan yang tidak pro rakyat ini muncul dari pola pikir pemerintah yang liberal dan kapitalistik yang didukung oleh DPR yang melahirkan UU dan regulasi yang liberal dan kapitalistik seperti UU Migas No. 22 Tahun 2001 dan UU Minerba no. 4 Tahun 2009. Pada kasus PT Freeport Indonesia misalnya, Indonesia seharusnya mendapatkan keuntungan Rp 75–100 triliun pertahun seandainya pengelolaan tambang itu dikelola oleh negara bukan asing.

Korporasi asing disamping membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya, juga membutuhkan pasar untuk produk-produk industrinya. Hal inilah yang mendorong negara-negara kapitalis bersaing guna menjajah sebuah negara melalui lembaga yang mereka bentuk, seperti IMF, WTO, dan APEC. Tujuan utamanya tentu saja untuk mengeksploitasi kekayaan alam mereka serta mengendalikan berbagai kebijakan ekonomi dan politik di negara tersebut.

Keempat, kebebasan bertingkah laku. Kebebasan berperilaku ini telah menyuburkan berbagai penyakit sosial. Menurut data Kementerian Kesehatan, jika tidak ada program terobosan dalam penanggulangan HIV/AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang terinfeksi AIDS. Anehnya, penanggulangan HIV/AIDS tersebut yang digagas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bersama Kementerian Kesehatan adalah dengan menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) pada awal Desember lalu. Padahal kampanye PKN tersebut lebih tepat disebut sebagai kampanye pada seks bebas dan iklan penggunaan kondom yang akan menguntungan perusahaan kondom.

Tingginya penderita penyakit HIV/AIDS tersebut sebagai pertanda suburnya praktik seks bebas dan zina di negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Pemicunya tentu saja adalah kebebasan tingkah laku yang dipertontonkan melalui berbagai tayangan berbau porno di berbagai tv dan media cetak. Termasuk pagelaran yang menampilkan kecantikan wanita seperti acara Miss World di Bali beberapa waktu lalu. Semua itu berkontribusi nyata terhadap kerusakan akhlak masyarakat, namun pemerintah tidak berdaya mencegahnya karena alasan kebebasan bertingkah laku.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2013 sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. Setiap penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Dikuasainya sumber daya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kedzaliman yang diderita umat di berbagai negara, serta sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh karena dihambat oleh negara Barat yang tidak kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali kepada jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan merugikan umat manusia.
  2. Demokrasi dalam teorinya adalah sistem yang memberikan ruang kepada kehendak rakyat. Tapi dalam kenyataannya negara-negara Barat tidak pernah membiarkan rakyat di negeri-negeri muslim membawa negaranya ke arah Islam. Mereka selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekuler meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya tetaplah mereka mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang terjadi saat ini di negeri ini, sebagaimana tampak dari proses legislasi di parlemen dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya di bidang ekonomi dan politik yang sangat pro terhadap kepentingan Barat. Cengkeraman Barat juga tampak di negeri-negeri muslim yang tengah bergolak seperti di Suriah, begitu juga di Mesir dan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga semestinya memberikan peringatan umat Islam untuk tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan negara penjajah. Juga peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran Islam, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah.
  3. Bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini seperti sebagiannya telah diuraikan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Islam dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
  4. Karena itu, harus ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta kerjasama dari seluruh komponen umat Islam di negeri ini untuk menghentikan sekularisme dan menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh seorang khalifah, Indonesia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik. Syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian sehingga kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.

 

Insya Allah

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*