“Akidah bisa cacat karena sudah ikut dalam membenarkan sesuatu yang diharamkan oleh akidah Islam.”
Kalau orang Kristen ditanya, “Siapa Yesus?” Pasti mereka menyebut anak Tuhan. Dan, Natal merupakan perayaan terhadap kelahiran anak Tuhan. Meski, ada perbedaan di antara mereka tentang tanggal kelahirannya, mereka memiliki kesamaan keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan.
Sekretaris Jenderal Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MUIMI) Bachtiar Nashir menegaskan, Natal itu sudah masuk ke wilayah ritual ibadah dan itu berarti sudah menyangkut dalam ranah akidah. Karenanya, salah kalau menganggap perayaan Natal sebagai perayaan biasa bagi semua kalangan. “Akidah bisa cacat karena sudah ikut dalam membenarkan sesuatu yang diharamkan oleh akidah Islam,” tandasnya.
Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama tertanggal 1 Jumadil Awwal 1401 H/ 7 Maret 1981 menegaskan bahwa perayaan Natal tidak bisa dipisahkan dari ajaran Kristen yakni Trinitas. Perayaan itu sendiri bukan merayakan kelahiran Isa as, tetapi kelahiran Tuhan.
Dari sisi akidah Islam, ajaran Trinitas bertentangan dengan akidah. Berdasarkan QS Al Maidah:72-73; At Taubah:30, Barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
Janggal
Ketua Umum Lembaga Kristologi Indonesia Zhahir Khan menjelaskan, Yesus atau Nabi Isa as sendiri tidak tahu menahu sama sekali dengan Natal atau agama Kristen. Menurutnya, agama Kristen dibuat dan disebarkan oleh Paulus, bukan Yesus.
Ia kemudian mengutip sejarawan Yahudi bernama Max I Dimont. Dalam bukunya The Indestructible Jews halaman 227, disebutkan orang tidak boleh lupa bahwa Yesus itu tidak pernah beragama Kristen. Kata “Kristen” pertama kali dipakai di Kota Antiokia, Yunani, sekitar tahun 50 Masehi oleh Paulus.
Alasan lain? Yesus sendiri berbahasa Aramik bukan bahasa Yunani. “Dari situ saja sudah terlihat ajaran Kristen tidak benar,” tandasnya. Ia kemudian mengaitkan dengan firman Allah dalam Alquran bahwa Allah mengutus Nabi sesuai dengan bahasa tempat Nabi tersebut diutus. Bahasa Yunani adalah bahasanya Paulus.
Ia melanjutkan, hari Minggu, 25 Desember itu bukan hari dan tanggal kelahiran Yesus tetapi hari dan tanggal kelahiran Dewa Matahari. Karena itu dalam bahasa Inggris, hari Minggu itu disebut sebagai Sunday (sun=matahari, day=hari) atau day of god of sun, hari Dewa Matahari. Dalam bahasa Jerman Sunday berarti Sonntag (sonne=matahari, tag=hari). Bahasa Belanda juga sama zondag (zon=matahari, dag=hari). “Karena asal usulnya satu dari Yunani kemudian diterjemahkan ke bahasa-bahasa Barat,” jelasnya.
Kristolog Abu Deedat Syihabuddin menambahkan, pohon Natal yang di atasnya ada bintang-bintang dan di bawahnya salju, juga salah besar. “Kan tidak mungkin bintang dan salju bisa terlihat bersamaan. Karena salju munculnya bukan pada musim panas tetapi musim dingin,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa itu memang bukan tradisi awal Kristen tetapi tradisi kafir pagan. Karena kaum pagan mengaitkan pohon cemara tersebut dengan penyembahan pada Dewa Matahari. Itu merupakan simbol bergantinya matahari tua yang ditandai dengan musim dingin akan diganti dengan matahari baru yang ditandai dengan musim panas.
Kesalahan kaum Kristen ini semakin tegas, menurut Kristolog Irena Handono, setelah Paus Benedictus XVI menulis sebuah buku, Jesus of Nazareth: The Infancy Narrative’‘ yang diluncurkan Rabu (21/11/2012). Dalam buku itu, Paus membongkar beberapa fakta yang mengejutkan seputar kelahiran Yesus Kristus. Antara lain, kalender Kristen salah. Perhitungan tentang kelahiran Yesus yang selama ini diyakini adalah keliru. Kemungkinan, Yesus dilahirkan antara tahun 6 SM dan 4 SM.
Selain itu, materi-materi yang muncul dalam tradisi perayaan Natal, seperti rusa, keledai dan binatang-binatang lainnya dalam kisah kelahiran Yesus, menurutnya, sebenarnya tidak ada. Alias hanya mengada-ada.
Sementara terkait Sinterklas atau Santa Klaus, ternyata itu juga bukan tradisi Kristen melainkan tradisi yang berkembang di Eropa yang kemudian diadopsi oleh gereja. Ada yang menyebut itu dari St. Nicholas dari Myra (di Turki), 280 SM. Ia adalah seorang kaya yang menjual seluruh hartanya menolong orang banyak. Ia menjadi pelindung anak-anak dan pelaut. Hari rayanya dirayakan pada tanggal 6 Desember. Di Belanda, tradisi Sinterklas dirayakan di malam hari tanggal 5 Desember di mana seluruh keluarga berkumpul dan merayakannnya dengan memberikan hadiah kejutan (surprise), diiringi pembacaan puisi yang biasanya isinya penuh humor.
Di Jerman dan Swiss, dikenal Christkind atau Kris Kringle yang dipercai membawa hadiah bagi anak-anak yang berkelakuan baik. Di Skandinavia, ada peri riang yang bernama Jultomten yang mengantarkan hadiah Natal dengan kereta yang ditarik kambing. Di Itali ada cerita yang sama, yaitu La Befana. Ia adalah seorang penyihir ramah yang mengendarai sapu terbang. Ia masuk ke cerobong asap di rumah-rumah untuk mengantarkan mainan ke dalam kaus kaki anak-anak yang beruntung mendapatkan hadiah. []
Bertentangan dengan Alquran
Di antara kaum Muslim ada yang terjerumus dalam perayaan Natal dengan mengucapkan Selamat Natal dan mengikuti perayaan mereka. Sebagian mereka memang bodoh dan tidak mengerti agama. Sebagian lain mengikuti fatwa sesat ‘ulama’ liberal.
Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman menegaskan larangan bagi kaum Muslim ikut perayaan Natal. Pertama, firman Allah dalam QS al-Furqan: 72. Di sana Allah berfirman: yasyhaduna az-zura (menyaksikan kemaksiatan). Menurut al-Qurthubi, yasyhaduna az-zura ini aadalah menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta menyaksikannya.
Az-zura ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang paling besar adalah syirik, dan mengagungkan sekutu Allah. Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhaduna az-zura ini adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu merayakannya bagian dari ritual agama mereka. “Orang Islam yang merayakannya, bukan hanya maksiat, tetapi bisa sampai pada level murtad. Karena, telah melakukan ritual agama lain.”
Ketiga, adanya larangan menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari menyerupai tentu lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya menyerupai orang Kristen, tetapi telah mempraktikkan ritual mereka. “Karena itu, jelas lebih tidak boleh lagi.”
Selain tidak boleh menghadiri Natal Bersama, kaum Muslim pun dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan. Ini berdasarkan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (fakhisyah) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, maka mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (TQS an-Nur [24]: 19)
Menurutnya, menyebarkan fakhisyah itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga semua bentuk kemaksiatan. “Karena itu, menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan mempublikasikannya jelas menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Hukumnya jelas haram,” tegasnya. (mediaumat.com, 25/12/2013)