Beberapa bulan lalu, saya bersama beberapa pimpinan ormas Islam datang ke kantor Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Saat itu kami menyampaikan penolakan terhadap pembangunan gedung Kedutaan Besar AS menjadi 10 lantai, dengan luar 1,3 hektar dan daya tampung 16.000 orang. “Kalau ini diijinkan, maka sangat berbahaya sekali. Kedutaan besar AS merupakan pusat intelijen, bahkan markas militer,” ungkap saya.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, menyampaikan, “Bila pembangunan ini berlangsung maka Pak Jokowi bertanggung jawab dunia-akhirat.”
Gubernur dengan nada santai mengatakan, “Saya ini orang kecil. Nanti kita lihat. Permintaan ijinnya saja belum masuk.”
Tak lama kemudian, pembangunan Kedutaan Besar AS pun terus dilakukan.
Akhir November 2013 santer berita bahwa AS dan Australia melakukan penyadapan terhadap para pejabat Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apa yang ditengarai Hizbut Tahrir Indonesia benar. Dalam acara temu tokoh (29/11/2013), mantan Menteri Sosial Bahtiar Chamsah mengungkapkan komentar, “Dalam berhubungan dalam bernegara, bukan sekadar AS dan Australia, Singapura dan Malaysia pun tidak bersahabat. Mereka menyebut kita indon. Saya mengalami bagaimana sakitnya menjadi menteri di negara miskin. Pertama: kita harus protes. Kedua: kita mendorong agar aparat pemerintah dapat memproteksi dirinya agar rahasia negara terjaga.”
Beliau menambahkan, “Kedutaan besar itu memang pusat intelijen. Karena itu kita harus keras menolak pembangunan Kedubes AS. Saya mendengar cerita bahwa serat optik pusatnya di Singapura. Yang dapat kita lakukan adalah bagaimana sistem jaringan telekomunikasi, server di Singapura dipindah ke Jakarta. Negara-negara kafir itu musuh. Jangan sampai kita disumbang sedikit dana sudah menganggap musuh sebagai kawan.”
Kegeraman senada disampaikan oleh Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Ahmad Michdan dengan mengungkapkan, “Saya melihat dari sudut bahwa Indonesia merupakan ancaman bagi AS dan Australia dalam konteks kebangkitan Islam. Saat ini kebetulan Indonesia dipimpin oleh orang yang tidak begitu cinta pada Islam. Ada beberapa UU yang membolehkan sadap-menyadap yaitu terkait teroris, narkoba, dan korupsi. Kita umat Islam di Indonesia amat diperhatikan oleh dunia. Sayang, banyak orang yang ada di partai tidak pernah dapat memikirkan kepentingan umat. Penting memberikan tafsir yang benar tentang Islam kepada Barat. Islam bukan agama teroris. Bila kelak umat Islam kuat dan sekarang sudah dilakukan penyadapan sedemikian rupa, maka kelak pun akan habis disadap. Kita harus menyatakan bahwa penyadapan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum Islam dan hukum negara.”
Sayang, Pemerintah tidak begitu menganggap penting hal ini. Menarik apa yang disampaikan Helmi Burin dalam temu tokoh di Kantor HTI Jakarta (29/11), tokoh Muhammadiyah ini mengatakan, “Saat saya di Departemen Keuangan, yang namanya Indosat kita ambil-alih. Ini harus dipegang negara. Kalau Indosat dipegang oleh swasta, kita dapat disadap, termasuk lewat kabel di dasar laut. Sekarang, Indosat sudah dijual ke Singapura. Negara ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak amanah. Keberpihakan kepada rakyat tidak ada. Kita sudah disadap pula oleh Cina. Cina sudah memetakan potensi setiap propinsi dan kota.”
“Saya setuju HTI bisa menjadi promotor. Kita ini perlu perubahan sistem dan orang yang amanah. Perlu penggantian pemimpin yang amanah, sistem yang islami,” lanjutnya.
Memang, semua ini terpulang pada tidak adanya kepemimpinan Islam. “Kasus penyadapan oleh AS dilakukan ke seluruh dunia, khususnya terkait terorisme; termasuk Prancis dan Italia. Ini akan terus berlangsung untuk keamanan nasional mereka” ungkap Mashadi.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menambahkan, “Sejak merdeka, kita tidak punya pemimpin yang melindungi kepentingan nasional kita. Mulai dari Soekarno sampai sekarang adalah kacung, sekalipun retorikanya gede. Soekarno kacung Sovyet-Cina. Perbankan dan minyak asetnya dimiliki asing. Kita harus membuka topeng pemimpin apakah benar pemimpin atau boneka. Calon-calon presiden harus dibongkar siapa mereka. Semua calon sama saja. Antek AS.”
Kenyataan bahwa penguasa lebih berpihak kepada asing dan abai terhadap rakyat ini sudah disadari oleh banyak pihak. Tuntutan perubahan rezim dan sistem pun terus diteriakkan dengan semakin lantang. Tidak ketinggalan kaum intelektual. Saya senang dapat hadir pada 14 dan 15 Desember 2013 bersama sekitar 2000 intelektual mulai dari profesor, doktor, master, dan sarjana dalam acara Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals (JICMI) menggemakan perubahan. Mereka menuntut penerapan syariah dan khilafah sebagai pengganti sistem korup demokrasi yang saat ini diterapkan. Mereka pun menyerukan ‘Intellectual awakening for Khilafah’. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan, “Kita, para intelektual Muslim, harus menggunakan kemampuan dan ilmu kita untuk mengembalikan peradaban Islam, untuk mensinergikan cita-cita kita sebagai umat terbaik (khoiru ummah) kembali. Kita harus bergandeng tangan untuk menegakkan Khilafah.”
Kepercayaan kepada wakil rakyat dan penguasa makin menipis. Tidak mengherankan apabila angka golput dalam Pemilu 2014 ditengarai akan meningkat. Budayawan Ridwan Saidi mengatakan, “Golput pada Pemilu 2014 bisa tembus sampai 55%.”
Sayang, kondisi ini justru diselesaikan dengan cara mengeluarkan fatwa yang dapat dipahami orang sebagai pengharaman golput. Penentangan pun terjadi dimana-mana. Alasannya pun beraneka ragam, mulai alasan hak sampai argumen syar’i. Ketua DPP HTI, Rokhmat S. Labib, dalam acara debat salah satu stasiun TV swasta (16/12/2013) mengatakan, “Mengapa rakyat tidak memilih? Sebab, para wakil rakyat dan pemimpin dilihat oleh rakyat justru membohongi mereka, mengkorupsi harta mereka, menunjukkan moral yang busuk, dan sebagainya. Lalu, bila mereka tidak memilih, atas dasar apa mereka disalahkan? Pengharaman golput hanya akan mempertahankan rezim dan sistem bobrok.”
Perubahan terus bergulir. Hambatan tak pernah sirna. Kemenangan pun segera datang. Insya Allah. [Muhammad Rahmat Kurnia; [DPP Hizbut Tahrir Indonesia]]
Tinggalkan demoKERAsi, sistem ILUSI KHAYALI !