Surat kabar Inggris “Telegraph” menegaskan bahwa penahanan Presiden terpilih Muhammad Mursi tidak hanya melanggar hukum, namun juga tindakan tidak bermoral. Surat kabar juga menegaskan adanya sejumlah kebohongan rezim kudeta terkait tuduhan terhadap Presiden Mursi, serta penundaan sidang dengan dalih cuaca buruk.
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan hari Kamis (9/1) dengan judul “Kita semua akan membayar mahal penghancuran demokrasi di Mesir”, surat kabar Inggris “Telegraph” menyebutkan bahwa rezim kudeta yang represif dan brutal tengah membuat kelompok Islamis mustahil bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik. Ia memperingatkan bahwa praktek pemerintahan kudeta ini dapat mendorong kelompok Islamis menggunakan cara-cara kekerasan, seperti organisasi “Al-Qaeda”.
Peter Oborne dalam artikelnya di surat kabar tersebut mengatakan: “Saya baru saja kembali dari Kairo dalam sebuah perjalanan yang sangat menggelisahkan, dibandingkan dengan apa yang saya lihat pada musim panas tahun 2011, ketika orang banyak berkumpul di Tahrir Square, di mana segala sesuatu—harapan dan kebahagiaan—mungkin terwujudkan setelah penggulingan Presiden Mubarak.”
Ia melanjutkan: “Sekarang setelah kudeta militer, setiap aksi protes diancam hukuman penjara, penculikan, penyiksaan, dan penembakan para demonstran. Sementara Presiden interim “Adli Mansour” hanyalah seorang boneka, sedang Menteri Pertahanan “Abdul Fattah al-Sisi” adalah pengendali pemerintahan yang sesungguhnya.”
Oborne mengatakan bahwa kemungkinan kuat “Sisi” akan mencalonkan diri untuk pemilihan presiden yang akan diadakan tahun ini pada tanggal yang belum ditentukan hingga sekarang, setelah terungkap bocoran terkait “Sisi” bahwa ia mengatakan kepada teman-temannya tentang serangkaian mimpi—selama beberapa dekade—ia memimpin Mesir!
Oborne menambahkan bahwa Ikhwanul Muslimin yang memenangkan pemilihan presiden yang bebas dan adil, justru mendapatkan perlakukan represiif dari rezim kudeta, yang mengeluarkan keputusan bahwa Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris, hal itu dibuktikan dengan banyaknya anggota, pendukung dan pimpinannya yang dipenjara.
Sebagai sebuah sindiran, Auburn mengatakan: “Selama kunjungan, saya tidak mencoba untuk mewawancarai satupun dari Ikhwanul Muslimin, tidak hanya takut akan keselamatanku, namun karena itu bisa berakhir di penjara seperti wartawan aljazeera yang ditangkap akhir bulan lalu!”
Oborne melanjutkan: “Inggris, Eropa dan Amerika Serikat meski tidak terlibat langsung dalam kudeta militer, namun mereka bersekongkol di dalamnya.” Buktinya, Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague tidak menyebut kata “kudeta”, bahkan mengakui rezim baru. Ia menambahkan, bahkan John Kerry, Menteri Luar Negeri AS telah melangkah lebih jauh dan mengatakan kepada media sebagai pujian terhadap al-Sisi. Ia mengatakan bahwa Sisi akan mengembalikan demokrasi!
Sementara, saya menyoroti betul pembantaian untuk membubarkan aksi massa di “Rabiah al-Adawiyah” dan “an-Nahdhah”, yang menyisakan lebih dari seribu orang meninggal, dan ribuan terluka oleh peluru tajam. Dikatakan bahwa pasukan rezim kudeta sengaja melakukan pembunuhan massal terhadap para demonstran, kemudian menghancurkan mayat mereka dengan buldoser. Dan yang semakin mempertegas bahwa itu semua sengaja dilakukan oleh rezim kudeta adalah tidak adanya penyelidikan apapun terhadap kejahatan yang sangat keji ini (islammemo.cc, 9/1/2014).