Oleh: Ali Mustofa Akbar, Kantor Media HTI Solo Raya
Pemilu 2014 segera bergulir. Seluruh stakeholder siap meramaikan ajang lima tahunan ini. Berbagai parpol pun berhias diri. Seperti biasa di saat mendekati pemilu, mereka berusaha mengakrabkan diri dengan rakyat. Wajah kandidat calon wakil rakyat maupun calon pemimpin bermunculan di pinggir jalan, televisi, ataupun koran. Persaingan tampak begitu ketat, tak pelak membuat konstelasi politik menjadi semakin hangat.
Banyak kalangan menilai parpol saat ini sedang mengalami krisis identitas dan tak memiliki ideologi. Hal ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Uniknya, partai Islam mencoba sekuler, sementara partai sekuler mencoba Islami. Misalnya PKS menjadi partai terbuka, PDIP mendirikan Baitul Muslimin, Demokrat klaim sebagai partai nasional-religius.
Salah satu isu yang cukup menarik perhatian masyarakat baru-baru ini datang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti menemukan segepok emas, partai berbasis massa Islam ini mendapat kader baru yang begitu potensial, yakni Rusdi Kirana, Direktur utama maskapai penerbangan Lion Air. Rusdi langsung dinobatkan menjadi Waketum PKB.
Nama Rusdi Kirana boleh dibilang masih seumuran jagung dalam percaturan politik nasional. Dalam dunia politik, ia baru mulai dikenal publik ketika orang super kaya ini disebut-sebut ikut meramaikan konvensi demokrat untuk pemilu 2014, sebelum memutuskan mengundurkan diri karena merasa realistis sulit bersaing dengan kandidat lain.
“Saya punya keinginan kuat untuk serius maju sebagai calon presiden, tapi saya kemudian berkonsultasi dengan rekan bisnis saya, ada bahasa tubuh dari mereka yang menyatakan kalau belum waktunya bagi saya untuk ikut serta kali ini,” Ujarnya sebagaimana dikutip tempo.co (29/08/13).
PKB mau kemana?
Masuknya Bos Lion Air ini menunjukkan semakin tidak jelasnya arah tujuan perjuangan partai. Tujuan utamanya hanyalah untuk kepentingan pemilu dan kekuasaan. Jika Rusdi Kirana benar-benar menjadi sumber ATM dari PKB dalam pemilu, potensi besar PKB bakal menghamba pada Rusdi Kirana.
Sebagai partai yang memiliki basis pemilih dari kalangan Nahdliyin ini seharusnya memiliki ideologi yang jelas. Tentu ideologi Islam. Semenjak berdirinya PKB memang tidak pernah mengatakan dirinya sebagai partai Islam. Inilah yang perlu dirombak dan dibenahi.
Jika tidak dilakukan, sudah sepantasnya warga Nahdliyin dan pemilih lain untuk berpikir ulang di saat mendukung partai ini. Umat mesti mendukung partai Islam yang benar-benar memperjuangkan Islam. Partai yang berpegang teguh pada ideologi Islam. Sebab landasan berdirinya sebuah parpol ialah sebagaimana firman Allah Swt:
” Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS Ali Imron 104)
Akrobatik para Kapitalis
Selain Bos Lion Air, muncul pula nama-nama orang super kaya yang sebelumnya telah memilih untuk masuk ke dunia politik. Diantaranya, Hary Tanoe Soedibjo (Hanura), Hartati Murdaya (Demokrat), Hashim Djojo Hadikusumo (Gerindra), dsb. Mereka adalah kader instan, kader yang tak dididik oleh parpol sedari awal atau tak perlu mengikuti proses jenjang struktural partai. Menggunakan uangnya bisa saja dengan mudah menduduki kursi kekuasaan dengan instan pula. Entah itu kursi legislatif maupun eksekutif.
Negeri ini acap ramai dari problema relasi penguasa-pengusaha. Pada zaman Orde Baru, penguasa sedemikian rupa mengondisikan agar jejaring kekuasaan (the web of power) menjadi tempat kerjasama manis dengan kalangan pengusaha. Sayangnya pola hubungan keduanya selalu menimbulkan kemajuan-kemajuan ekonomi yang semu. Angka-angka statistik selalu dikatakan pertumbuhan ekonomi meningkat, tapi nilai substantifnya yang meningkat ialah kesejahteraan para pemilik modal saja.
Semenjak massa orde baru, sebagaimana menurut Prof Ricard Robbison dalam bukunya “Soeharto dan Bangkitnya kapitalisme”, Kapitalisme di Indonesia terus berkembang. Sebelumnya bermula dari peran-peran pemerintah dan pemilik modal (kapital). Perekonomian nasional disesaki oleh kehadiran para aktor yang sepenuhnya berorientasi profit, namun abai terhadap misi memakmurkan masyarakat. Sampai kini pada pasca reformasi justru semakin liberal. Pengusaha malah bisa semakin mendikte penguasa. Sebagai contoh kasus Lapindo Sidoarjo.
Hubungan antara Penguasa dan Pengusaha ini memang selalu menguntungkan keduanya, namun beban resikonya akan selalu ditimpakan pada rakyat. Menurut Ricard, ada tiga tahap evolusi kapitalisme di Indonesia. Pertama; mereka yang bertahan dari periode benteng dan ekonomi terpimpin, Kedua; kaum birokrat politik orde baru yang membangun grup-grup bisnis swasta, dan Ketiga; kelompok kapitalis baru yang muncul dengan perlindungan politik pusat-pusat kekuatan birokrasi politik baru.
Fenomena masuknya para kapital ke parpol menggambarkan kini model hubungan antara penguasa dan pengusaha berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya kerja sama antar keduanya diwujudkan dalam politik hutang budi dana partai, kini pengusaha langsung masuk ke ranah politik praktis. Berusaha menjadi pengusaha sekaligus penguasa. Bayangkan jika penguasa itu adalah para kapitalis, betapa payung politik kepentingan bisnisnya semakin kuat didapat.
Tingginya biaya demokrasi memang menjadikan ladang subur untuk kapitalisme. Jika yang terpilih sebagai penguasa atau wakil rakyat bukanlah para kapital, maka perselingkuhannya dengan para pemilik modal sudah menjadi hal yang logis.
Demokrasi hanya cantik di Casing
Karena itu umat mesti sadar akan ancaman demokrasi bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini. Tak perlu tertipu lagi dengan pujian dari banyak kalangan tentang keberhasilan demokrasi Indonesia. Atau Indonesia adalah contoh bagi negeri-negeri muslim akan praktek demokrasi yang baik. Seperti contohnya penghargaan yang pernah diberikan pada Indonesia oleh Asosiasi Internasional Konsultan Politik atau International Assosiation of Political Consultant (IAPC) pada tahun 2007. Padahal pada faktanya demokrasi tak memberikan kebaikan bagi negeri ini. Demokrasi di sini hanyalah cantik di cassing namun babak belur di mesin.
Secara aqidah, demokrasi bertentangan dengan Islam karena memberikan kedaulatan di tangan manusia, Artinya manusia itulah yang diberi kewenangan membuat hukum. Sementara Islam mengajarkan kedaulatan adalah di tangan hukum syara’. Secara politik, istilah demokratis itu jauh panggang dari api. Bagaimana bias dilihat kasus money politic terjadi dimana-mana, persengketaan akibat pemilu sudah menjadi hal yang biasa. Secara ekonomi, demokrasi melahirkan pemborosan negara, mendorong kasus korupsi, melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Sehingga demokrasi bukanlah jalan yang baik bagi negeri ini. Karena itu, sudah saatnya umat berpaling dari demokrasi untuk mendukung perjuangan tegaknya ideologi Islam. Yakni diterapkannya syariah dalam bingkai negara khilafah Islamiyah. Untuk Indonesia lebih baik. Wallahu a’lam.[]
Masukan sebagai ralat, tertulis pada paragraf ke-16 ada kata “Cassing”, kalau yang dimaksud adalah kata yang berarti “penutup/selubung”, maka yang benar adalah “CASING”.