Beberapa waktu lalu jubir Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto menyempatkan diri singgah di Istambul, Turki, ibukota Khilafah Islamiyah terakhir dari perjalanannya ke Tanah suci. Berikut catatan singkat yang ditulisnya bagi pembaca.
“No, not empire but khilafah”, sergah saya ketika, Zaenab (28), guide yang memandu kami, menjelaskan mengenai peta wilayah kekuasaan Khilafah Utsmani yang demikian luas terutama semasa Khalifah Sulaiman “The Magnificent” dengan sebutan Ottoman Empire. Setelah berdebat sejenak, dengan wajah agak kurang senang akhirnya dia mengalah dengan mengatakan, “whatever you say”.
Sebenarnya Zaenab, yang sarjana sejarah spesialis Anatolia lulusan salah satu universitas terkemuka di Turki, tidak salah. Di peta yang terpampang di bagian depan Istana Topkapi, tempat para Khalifah Utsmani dulu tinggal, yang kini menjadi museum, memang tertulis ‘Ottoman Empire’. Begitu juga di semua brosur, dokumen atau buku-buku tertulis seperti itu.
Istana Topkapı adalah kediaman resmi para khalifah Utsmani selama lebih dari 400 tahun (1465-1856). Istana ini mulai dibangun pada tahun 1459 atas perintah Sultan Muhammad al Fatih. Kompleks istana terdiri atas empat lapangan utama dan banyak bangunan-bangunan kecil. Pada puncaknya, istana ini dihuni oleh sekitar 4.000 orang. Selain sebagai tempat tinggal kerajaan, istana digunakan untuk acara-acara kenegaraan. Sekarang menjadi museum. Di dalamnya tersimpan sejumlah barang penting seperti mangkuk yang dulu digunakan oleh Nabi, jilbab Fatimah, pedang Ali dan lainnya.
Tentu bukan tanpa sengaja pemerintah di sana mengganti istilah khilafah dengan empire. Ini adalah bagian dari usaha keras pemerintahan Turki pasca kekhilafahan diruntuhkan oleh Kemal Pasha untuk memaksakan sekulerisme dan menghapus sama sekali semua yang terkait dengan Islam dan kekhilafahan. Selain melarang jilbab, penggunaan simbol-simbol Islam, pengajaran Islam, Kemal juga melarang adzan dalam bahasa Arab. Adzan harus dikumandangkan dalam bahasa Turki. Bukan hanya itu, ternyata semua kosakata yang terkait dengan kekhilafahan juga dibuang. Buktinya ya tadi, istilah ‘khilafah’ diganti dengan ‘empire’ yang tidak lain bermakna kekaisaran. Menyebut khilafah dengan impire tentu tidak tepat karena khilafah bukanlah kekaisaran. Karena itulah, saya memprotes Zaenab. Tapi ternyata Zaenab, dan saya banyak lagi dari rakyat Turki, hanyalah korban saja dari sekulerisme yang demikian panjang menyelimuti negeri yang pernah menjadi pusat daulah Khilafah lebih dari 500 tahun.
++++
Pengaruh sekulerisme bukan hanya pada hilangnya istilah-istilah penting seperti khilafah, tapi juga pada persepsi tentang Islam, syariah dan keagungan khilafah serta perjuangannya.
Pagi hari di penghujung bulan Desember 2013, menjelang keberangkatan menuju sejumlah obyek, saya sempat berbebat kecil dengan calon guide kami, Ozgur Yigit (33), seorang sarjana sastra Inggris yang sudah mendapat sertifikat sebagai guide profesional setelah menempuh pelatihan khusus selama 1,5 tahun. Ozgur (dia sendiri lebih senang dipanggil Oscar) bersikeras menyarankan kita untuk tidak usah mengunjungi Rumeli Hiseri, sebuah benteng peninggalan Muhammad al Fatih. Katanya, ‘saya sarankan kalian tidak usah ke sana, tidak ada apa-apa di sana, hanya sebuah benteng. Habis-habisin waktu saja. Kita bisa lihat itu dari laut saat nanti kita naik kapal dalam program Boshporus Cruising’. Saya bilang, ‘Tidak’, memotong omongan dia yang terus nyerocos menyarankan untuk tidak ke sana, ‘You know”, kata saya, “kita semua ke sini itu untuk melihat tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah. Jadi kita harus ke sana”. Tentu saja akhirnya dia mengalah, mengikuti kemauan kami.
Rumeli Hiseri adalah benteng yang dibangun oleh Muhammad al Fatih beberapa bulan menjelang penyerangan ke Konstantinopel. Benteng ini terletak di tepi Selat Bosphorus di sisi Eropa, tepat berhadapan dengan Anadolu Hiseri, benteng yang sudah lebih dulu dibangun oleh Sultan Murad, bapaknya Muhammad al Fatih, di sisi Asia.
Dalam kajian Muhammad al Fatih dan para sekondannya, untuk melumpuhkan Konstantinopel harus ada strategi guna memutus jalur logistik dari daerah koloni Konstantinopel di wilayah sekitar Laut Hitam. Caranya dengan memotong Selat Bosphorus sebagai satu-satunya jalur menuju Konstantinopel dari wilayah itu. Dan dilihat oleh al Fatih, ternyata daerah di hadapan Benteng Anadolu itulah titik dari Selat Bosphorus yang paling sempit. Lebarnya sekitar 660 meter. Akhirnya diputuslah untuk membangun benteng di daerah itu. Dalam waktu singkat, pada bulan Desember 1452, sebelum April 1453 dilakukan penyerangan, benteng itu sudah siap.
Benar, ketika melewati wilayah yang diapit oleh dua beteng itu, kapal-kapal musuh memang dengan mudah masuk jangkauan tembakan meriam yang diletakkan sengaja hampir sejajar air laut guna menyasar lambung kapal. Strategi ini terbukti ampuh. Sekian banyak kapal lawan berhasil ditenggelamkan, dan lainnya melarikan diri. Tak ada lagi kapal musuh yang berani lewat. Jalur logistik ke Konstantinopel putus! Jadi, jelas sekali Rumeli Hiseri sangat dahsyat secara historis.
Ketika kami tiba di lokasi, terbentanglah di hadapan sebuah bangunan kuno berwarna coklat tua keputihan. Inilah Benteng Rumeli (orang Turki menyebut Rumeli Hiseri). Tingginya berkisar 22 – 28 meter. Tinggi 3 menara dengan tiga pembantu utama al Fatih mencapai 70 meter. Ketebalan dinding antara 4 hingga 7 meter. Menurut catatan sejarah, benteng yang luar biasa ini hanya dibangun dalam waktu 4 bulan saja. Kebayang oleh kami bagaimana semangatnya sekitar 4.000 pekerja ketika itu membangun benteng yang menjadi pijakan awal strategi penaklukan Konstantinopel. Kini, di dalamnya masih bisa dilihat sejumlah meriam yang dulu digunakan untuk menembak kapal-kapal musuh yang berlayar menyusuri Selat Boshporus menuju Konstantinopel.
Tak salah kami memasukkan tempat ini dalam prioritas kunjungan. Boleh disebut inilah tempat yang menjadi awal keberhasilan Muhammad al Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel. Tapi mungkin karena memang sudah tipis spirit atau ghirah perjuangan umumnya anak-anak muda Turki, tak banyak juga penjelasan yang kami dapat dari guide. Dia malah menyilakan kami jalan sendiri. Dia sendiri menunggu di bawah, tidak mau menemani kami menyusuri detil benteng yang sangat bersejarah ini.
Bukan hanya Oscar yang tak mewarisi ghirah perjuangan, guide kami hari berikutnya, Esra (25), juga kurang lebih sama. Ketika menjelaskan detil isi istana Dolmabache, pengganti Istana Topkapi, ia sama sekali tidak menyinggung satu peristiwa penting dalam episode akhir Kekhilafahan Utsmani. Yakni ketika Kemal Pasha menghapus kekhilafahan dari Istana ini lah ketika itu Sultan Abdul Majid, khalifah terakhir, diusir. Padahal itulah peristiwa besar yang telah secara telak mengakhiri sistem kekhilafahan dan sekaligus kejayaan Islam berbilang abad lamanya. Dan bagi Turki, peristiwa ini juga menjadi titik balik. Dari yang semula sebagai pusat khilafah yang memimpin dunia Islam menjadi hanya sebuah negara sekuler, dan kini tengah mengemis untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Juga ketika kami meminta diantar ke Menara Galata di Bukit Galata, dia mengatakan itu cuma menara, tidak ada apa-apanya. “Paling kita naik ke puncak, melihat pemandangan kota Istanbul dari atas, foto-foto, that’s all…”, cetusnya. Padahal bukit ini menyimpan sejarah amat heroik, ketika di tengah kebuntuan setelah lebih dari satu bulan mengepung benteng Konstantinopel tak kunjung berhasil, Muhammad al Fatih akhirnya menempuh cara yang sangat mengejutkan lawan: menarik 70 kapal dalam semalam melintas Bukit Galata menuju Teluk Tanduk Emas (The Golden Horne) agar bisa menyerang benteng dari arah belakang.
Sejarah membuktikan, langkah hebat Muhammad al Fatih inilah yang kemudian menjadi faktor penentu kemenangan pasukan Islam menaklukkan Konstantinopel. Memang sekarang Bukit Galata sudah dipadati oleh pemukiman, termasuk pemukiman orang-orang Yahudi yang memang dahulu sengaja ditempatkan oleh khalifah di daerah ini sebagai bentuk perlindungan setelah mereka melarikan diri dari inkuisisi paska Spayol dikuasi kaum Katolik. Jalur pendakian kapal juga sudah tidak terlihat lagi. Tapi dari puncak Menara Galata (tinggi 66 meter, diameter 16 meter), rekonstruksi pergerakan pasukan Muhammad al Fatih bisa dilakukan, dan getar heroik perjuangan 600 tahun lalu itu masih bisa dirasakan.
++++
Pengaruh sekulerisme tampaknya demikian menghunjam dalam ke tubuh orang-orang Turki. Secara sosial, mereka lebih mencitrakan diri sebagai bagian Eropa dari pada Asia. Memang secara fisik, orang Turki kebanyakan mirip orang bule. Perempuannya berkulit putih, tinggi dan berambut pirang. Tapi tak banyak dari mereka yang menutup aurat. Perempuan berkerudung hanya satu dua. Laki perempuan bergaul amat bebas. Dan, ini yang ajaib, meski Muslim umumnya mereka tidak menjalankan shalat. Termasuk tiga guide yang menemani kami, semuanya tidak shalat. Padahal mereka Muslim, dan dengan fasih menjelaskan keistimewaan masjid-masjid bersejarah yang kami kunjungi seperti Masjid Muhammad al Fatih, Masjid Sulaimaniye dan Masjid Abu Ayyub al Anshari. Ketika kami masuk untuk shalat, mereka tetap tinggal di luar. Ketika ditegur, Oscar malah menjawab dengan nada agak sedikit marah.
Masjid Abu Ayyub al Anshari adalah masjid yang dibangun di dekat makam Abu Ayyub al Anshari, sahabat Nabi yang rumahnya dulu dihampiri pertama kali oleh Rasulullah saat hijrah ke Madinah. Di masa Khalifah Muawiyah, pada sekitar tahun 52 H, ternyata usaha untuk menaklukkan Konstantinopel sudah dilakukan. Abu Ayyub al Anshari ikut terlibat langsung dalam usaha itu. Dia meninggal dalam jihad. Dan sebelum meninggal, ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di daerah dekat musuh. Berdasar wasiat ini, oleh shahabat yang lain jenasah itu lantas “diselundupkan” ke wilayah Konstantinopel. Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel, Muhammad al Fatih memerintah untuk mencari makam shahabat Abu Ayyub al Anshari. Ditemukan di tempat yang sekarang ini di bangun masjid cukup besar. Banyak orang berziarah ke sana.
Sementara Masjid Muhammad al Fatih, lebih dikenal dengan sebutan Masjid Sultanahmed, adalah masjid yang dibangun pertama kali oleh Muhammad al Fatih setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel. Lokasinya tidak jauh dari Aya Sophia, gereja terbesar di masa Konstantin yang kemudian oleh al Fatih diubah menjadi masjid. Ia membangun masjid Muhammad al Fatih untuk menandingi kemegahan Aya Sophia. Masjid ini memang sangat megah dan besar. Empat tiang utamanya saja masing-masing berdiameter 5 meter. Interiornya didominasi oleh keramik iznik kualitas terbaik yang didominasi warga biru dengan ornamen yang sangat indah. Karena itu, masjid ini juga dikenal dengan sebutan The Blue Mosque.
Masjid Sulaimaniye dibangun oleh Khalifah Sulaiman al Qanuni. Di masanya kekhilafahan Ustmani mencapai puncak kejayaannya. Daerah kekuasaannya meluas hingga Rumania, Hongaria, bahkan Austria. Ia membangun masjid yang juga sangat megah. Tidak jauh dari lokasi Masjid Muhammad al Fatih dan bersebelahan dengan Universitas Istanbul, salah satu universitas terbesar di Turki. Kubah tunggalnya seberat 1000 ton menjulang tinggi disangga oleh 4 tiang utama. Senada dengan Masjid al Fatih, interiornya juga didominasi oleh rangkaian keramik iznik yang sangat indah. Meski sudah berumur lebih dari 500 tahun, tapi masjid ini tampak masih kokoh.
++++
Kepada Esra yang tetap berdiri di luar masjid menunggui kami shalat di Masjid Sulaimaniye, saya tanya, “kenapa nggak ikut shalat?”. Dengan enteng dia jawab, “I am working”. Lalu saya tanya apakah memang begitu umumnya orang Turki, Muslim tapi tidak shalat? Dia jawab, “Iya”. Dia lalu menjelaskan lebih jauh. Baru-baru ini ada survei yang menanyakan orientasi politik keagamaan orang Turki, apakah islamis atau liberalis. Hasilnya, sekitar 60 persen liberalis dan 40 persen sisanya islamis. Tapi di antara yang islamis tadi ketika ditanya apakah melakukan shalat, ternyata yang menjawab iya hanya 60 persen.
Terkait kehidupan sosial, khususnya soal pergaulan muda-mudi, saya tanya lagi, “Apakah memang umumnya anak muda Turki begitu, bergaul bebas?”. Dia jawab, “Iya, utamanya di kawasan pantai Istanbul”. “Apakah mereka biasa melakukan seks sebelum menikah?”. Dia jawab lagi, “Iya”. “Hamil di luar nikah?”. “Oh, no..”
“Kalau gitu, lalu apa arti Islam buat mereka?” Dia jawab, “Sebagai social identity. Bahwa kami adalah orang Islam”. “Lalu kenapa, mayoritas orang di sini tetap Islam meski sekian lama mengalami sekulerisasi?”. Dia jawab, “Itu karena social influenz. Maksudnya, karena orang sekitarlah kami tetap Muslim, dan tidak mungkin kami bukan muslim”.
“O, gitu” gumam saya. Karena itu bisa dimengerti kenapa meski secara statistik 97 persen, malah ada yang bilang 99 persen penduduk Turki adalah Muslim, tapi ya itu, istilah kami hanya Islam – KTP. Shalat kagak, nutup aurat emoh. Masjid-masjid besar tadi memang ramai ketika waktu shalat, tapi oleh wisatawan. Sementara penduduk setempat anteng saja meski adzan berkumandang keras. []
Ya Allah, Ampunilah Dosa-dosa kami dan dosa-dosa orang tua kami dan dosa seluruh orang -orang beriman dan orang muslim dan muslimat!