Ucapan Terbaik

Di dalam Hizbut Tahrir, aktivitas tatsqif murakazzah melalui halaqah rutin bertujuan untuk membentuk sekaligus menguatkan kepribadian islami (syakshsiyyah islamiyyah), yakni membentuk dan menguatkan pola pikir dan pola jiwa islami (‘aqliyyah islamiyyah dan nafsiyyah islamiyyah) para syabab-nya. Melalui tatsqif ini, yang dikehendaki tentu bukan sekadar lahirnya para syabab (aktivis dakwah) yang berilmu, tetapi sekaligus mengamalkan ilmu yang dia dapatkan di dalam halaqah. Terkait pentingnya mengamalkan ilmu, Abu ad-Darda’ ra. pernah berkata, “Engkau tidak akan menjadi orang berilmu hingga engkau belajar. Engkau pun tidak dianggap menguasai suatu ilmu hingga engkau mengamalkan ilmu itu.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulLah bahkan berkata, “Orang berilmu pada dasarnya bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia mengamalkan ilmunya, barulah dia layak disebut berilmu.” (‘Awa’iq ath-Thalab, hlm. 17-18).

Selain mengamalkan ilmu, para aktivis dakwah tentu dituntut berdakwah alias menyampaikan ilmunya. Dakwah adalah aktivitas yang amat mulia. Karena itu kemuliaan aktivis dakwah tentu terletak pada aktivitas dakwahnya, bukan pada status atau sebutannya. Dengan kata lain, kemuliaan pengemban dakwah terletak pada lisan atau ucapannya yang sendantiasa mengusung nilai-nilai dakwah. Allah SWT sendiri yang menyatakan demikian (yang artinya): Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan dengan orang yang berdakwah (mengajak) kepada (agama) Allah… (TQS Fushilat [41]: 33).

Artinya, tidak ada seorang pun yang ucapannya lebih baik—sebagus apapun retorika dan gaya bahasanya—dibandingkan dengan ucapan orang yang berdakwah atau mengajak manusia untuk mentauhidkan sekaligus menaati Allah SWT (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, III/480).

Tentu, kemuliaan ini hanya milik pengemban dakwah yang senantiasa menyatukan ucapan dengan perbuatannya. Kemuliaan ini tidak untuk pengemban dakwah yang ke mana-mana berdakwah, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan apa yang dia dakwahkan seperti: mengajak orang lain agar selalu terikat dengan syariah, namun dia sendiri sering melanggar syariah; mengajari orang lain agar ikhlas, namun dia sendiri sering riya; menyeru orang lain agar banyak berkorban untuk Islam, namun pengorbanan dia sendiri untuk Islam amat minimalis; mengingatkan agar orang lain banyak taqarrub kepada Allah SWT, namun dia sendiri makin jauh dari Allah SWT; dst. Pengemban dakwah seperti ini tentu jauh dari kemuliaan dan kebaikan. Dia malah akan mendapatkan murka Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan? Sungguh, Allah amat membenci kalian yang mengucapkan apa yang tidak kalian lakukan (TQS ash-Shaff [61]: 2-3).

Salah satu pendapat menyatakan: Sabab an-nuzul ayat ini terkait dengan peristiwa sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Thalhah dari Ibnu Abbas ra., bahwa suatu saat sekelompok orang dari kalangan kaum Muslim menyatakan (sebelum jihad diwajibkan), “Kami sangat menyukai jika Allah SWT menunjukkan kepada kami amal yang paling Dia cintai (sehingga kami bisa melakukan amal tersebut).” Namun, tatkala turun ayat tentang kewajiban berjihad, mereka malah tidak suka (enggan melakukannya).” (Ibn Al-Jauzi, Zad al-Masir, III/426; Al-Mawardi, An-Nakt wa al-‘Uyun, IV/267).

Sikap itulah yang amat dibenci Allah SWT. Karena itu menurut Imam al-Jazairi, ayat di atas bermakna, “Pernyataan kalian tentang sesuatu yang tidak kalian lakukan benar-benar telah menjadikan Allah amat membenci kalian.” (Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, IV/260).

Tentu, ayat ini pun sejatinya merupakan peringatan dan ancaman kepada orang yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, tetapi tidak sungguh-sungguh berdakwah atau menjadikan dakwah hanya sekadar aktivitas sampingan (Bandingkan dengan pernyataan Imam Al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, IV/260).

*****

Dakwah sejatinya baru merupakan salah satu syarat di antara tiga syarat yang mesti ada pada seseorang yang ingin meraih derajat sebagai orang yang paling baik lisan atau ucapannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT dalam QS Fushilat [41]: 33 di atas. Allah SWT sendiri melanjutkan firman-Nya (yang artinya): …yang beramal shalih dan berkata bahwa ‘aku adalah bagian dari kaum Muslim’ (TQS Fushilat [41]: 33).

Dengan demikian selain dakwah, syarat kemuliaan dan kebaikan ucapan pengemban dakwah lainnya adalah: beramal shalih, yakni menjalankan semua kewajiban dan menjauhi semua keharaman; juga bangga dengan Islam sebagai bentuk memuliakan Islam dengan berani menyatakan diri sebagai Muslim. Dalam kondisi demikian, tidak ada seorang pun yang lebih mulia dan lebih baik lisan atau ucapannya daripada orang yang memenuhi ketiga syarat ini. Di antara yang termasuk ke dalam golongan ini, yang paling utama adalah para rasul (Al-Jazairi, Ibid, hlm. III/480).

Dengan demikian seseorang yang mengklaim pengemban dakwah, tetapi tidak benar-benar menjalankan kewajiban dakwah, tidaklah termasuk dimuliakan oleh Allah SWT berdasarkan ayat ini. Demikian pula pengemban dakwah yang tidak beramal shalih berupa menjalankan semua kewajiban lain seperti birrul walidayn, menuntut ilmu, mencari nafkah yang halal, dll; atau masih menjalankan keharaman seperti masih terlibat dalam transaksi ribawi, menjalankan akad-akad muamalah yang tidak syar’i, menjalin hubungan yang tidak islami dengan lawan jenis, dsb.

Tidak dimuliakan pula oleh Allah SWT pengemban dakwah yang tidak berani dengan bangga menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, termasuk—saya kira—pengemban dakwah yang enggan menyampaikan kebenaran yang dia yakini baik karena tidak percaya diri, malas-malasan ataupun tidak berani menghadapi risiko dakwah meski hanya sekadar dicibir dan dijauhi masyarakat.

Alhasil, seseorang dikatakan memiliki lisan atau ucapan terbaik di mata Allah SWT jika ia memiliki tiga syarat: (1) berdakwah; (2) beramal shalih; (3) berani menyatakan diri sebagai seorang Muslim. Hanya dengan itulah, dakwah benar-benar akan berpengaruh terhadap obyek dakwah. Jika dakwah tak ada pengaruhnya terhadap pihak-pihak yang kita dakwahi, sepantasnya kita khawatir: jangan-jangan kita belum memenuhi ketiga syarat di atas.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*