Majelis Ta’lim Rindu Syariah Jabar
HTI Press. Bandung. Ahad, 2 Februari 2014, Muslimah DPD I HTI Jawa Barat menggelar kajian umum dalam bentuk diskusi interaktif dengan tema “Hikmah di Balik Bencana Alam”, yang dilaksanakan di Aula Mesjid Raya Bandung. Hadir sekitar 110 peserta dari berbagai daerah di Jawa Barat. Rasyidah Munir (Ketua Lajnah Fa’aliyah Muslimah DPD I HTI Jabar) hadir sebagai pembicara.
Musibah/bencana adalah qadha Allah SWT, Dan ketika ditimpa musibah, kaum muslimin harus beristirja, bersabar, merenungi penyebab musibah, dan berupaya untuk mengatasinya dengan ikhtiar. Lebih jauh, Rasyidah Munir menjelaskan bahwa terjadinya musibah bencana alam amat terkait juga dengan tugas, fungsi, dan proses pengurusan negara terhadap rakyat yang meliputi pengurusan pra, ketika, dan pasca terjadinya bencana.
Pertama, sebelum musibah itu terjadi, negara berkewajban membuat strategi untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Pun, menaruh perhatian besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana.
Kedua, manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana.
Ketiga, manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk: (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya, dan (2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, dan pasar.
Rasyidah menegaskan bahwa saat ini negara abai dan lalai terhadap tugas dan fungsinya di atas. Secara normatif, empiris, dan historis, negara yang mampu melaksanakan pengembanan tanggung jawab tersebut hanyalah Khilafah Islam. Secara normatif, Khilafah Islam menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif yang terhimpun dalam manajemen bencana model Khilafah Islam. Manajemen bencana model Khilafah Islami tegak di atas aqidah Islam dan prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dengan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat.
Secara empiris dan historis, dalam antisipasi dan penangulangan banjir, Khilafah Islam telah membangun bendungan, terusan, dan alat peringatan dini. Pada abad 9 M, Ir. Al-Farghani membangun alat yang disebut nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air Sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat dan berhasil memberikan prediksi banjir Sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pada abad 20 dibangun Bendungan Aswan berdasarkan teori fisika Newton yang diambil dari teori fisika optikaya Al-Haitsami di abad 10 M. Adapun dalam antisipasi dan penanggulangan bencana paceklik dan kekeringan, khalifah di masa itu telah membangun bunker gudang makanan. Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga persiapan bila ada serangan musuh yang mengepung kota.
Pada sesi diskusi, terkupas perbedaan antara tawakal dan sabar. Rasyidah menjelaskan bahwa tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah, sedangkan sabar artinya tetap mengikatkan diri pada apa yang diatur dan dikehendaki Allah meskipun dihadapkan pada kesulitan sehingga sabar tidak berarti diam. Sikap sabar ini bisa tercermin ketika mendapatkan musibah dan ketika menjalankan ketaatan. Sikap sabar ini juga yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam mengupayakan agar negara khilafah yang didamba segera tegak, yaitu dengan menggiatkan dakwah dengan pengorbanan waktu, biaya, tenaga, dan bahkan nyawa. Dengan demikian, umat secara mayoritas paham bahwa syariah wajib tegak secara kaffah di bawah naungan khilafah, negara yang berlandaskan aqidah Islam.
Dengan diangkatnya tema seperti tersebut di atas, diharapkan setiap peserta mampu menyikapi terjadinya berbagai musibah sekaligus mengetahui bagaimana seharusnya negara menjalankan fungsinya dengan benar dan serius dalam mencegah dan menangani bencana alam. []