Tidak memilih satu pun dari semua calon presiden, kepala daerah maupun calon anggota legislatif dalam Pemilu (golongan putih/golput) merupakan sikap politik yang dilindungi undang-undang.
“Kalau dalam UU yang berlaku saat ini, itu statusnya ya boleh saja, tidak mandatori (wajib memilih calon yang ada, red),” ungkap Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Prof Dr Djohermansyah Djohan seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 119, Jum’at (2-16 Januari).
Alasannya, lanjut Djohermansyah, karena masyarakat ini kan sedang belajar berdemokrasi, kalau dimandatorikan kuatir memberikan efek yang tidak baik juga bagi masyarakat.
Namun, dari1.013 jumlah Pilkada (gubernur, bupati dan walikota) yang digelar sejak Pilkada pada 1 Juni 2005 sampai dengan Desember 2013, tren masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu cenderung menurun terus. “Tadinya, rata-rata tidak kurang dari 80 persen, kemudian turun jadi 70-an persen, sekarang kurang dari 60 persen,” ungkapnya.
Malah bila Pilkadanya sampai ada putaran kedua, partisipasi masyarakat semakin rendah, dapat 50-an persen pemilih saja sudah bagus. Bahkan di kota-kota tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu hanya 40-an persen.
“Ini gejala yang harus kita baca dengan baik, sikapi dengan baik, untuk mengantisipasi Pemilu legislatif April 2014 dan Pilpres Juni 2014,” tegasnya.
Selain karena kelelahan terlalu sering ikut Pemilu maupun faktor ekonomis, menurut Djohermansyah Golput juga terjadi lantaran calon kepala daerahnya tidak memiliki kapasitas yang memadai, sehingga malas memilih, faktor ketidakpercayaan kepada parpol yang kerap terlibat korupsi juga sangat berpengaruh, ada yang menilai calon yang ada tidak akan membawa pada perubahan ya mereka tidak pergi ke bilik suara, ada juga yang tidak mau berpartisipasi karena alasan ideologi tertentu.[] Joko Prasetyo