Oleh: Rokhmat S Labib, M.E.I.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya (TQS al-Maidah [5]: 1).
Dalam menjalani kehidupannya, manusia tak bisa mengelak melakukan akad dan perjanjian di antara manusia. Ketika akad dan perjanjian itu telah disepakati, maka wajib dipenuhi. Ayat ini adalah di antara yang menjelaskan perkara tersebut.
Wajib Menepati Akad
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû awfû bi al-‘uqûd (Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Mereka diperintahkan untuk memenuhi akad-akad mereka.
Kata al-‘uqûd merupakan bentuk jamak dari kata al-‘aqd. Dikatakan: ‘aqd al-syay` bi ghayrihi (mengikat sesuatu dengan lainnya) berarti washl bihi (menyambungkannya), seperti menyambungkan tali dengan tali. Apabila sudah tersambung, maka dikencangkan lagi. Demikian penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya.
Dalam konteks ayat ini, pengertian al-‘uqûd adalah al-‘uhûd (perjanjian). Demikian menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan lain-lain, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir. Bahkan, menurut Ibnu Jarir, pengertian tersebut telah menjadi kesepakatan.
Kata al-‘uqûd dalam ayat ini bersifat umum. Oleh karena itu, banyak mufasir yang memahami akad yang diperintahkan untuk dipenuhi itu pun mencakup semua akad dan perjanjian yang dilakukan manusia. Dituturkan al-Zajjaj, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, akad yang diperintahkan ayat ini mencakup akad Allah atas manusia, dan akad sesama manusia.
Dijelaskan Fakhruddin al-Razi, Allah SWT menyebut taklif-taklif dengan ‘uqûd sebagaimana dalam ayat ini dan QS al-Maidah [5]: 89. Sebab, Allah SWT mengikat taklif tersebut dengan hamba-Nya, sebagaimana mengikat sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan tali yang kuat. Terkadang juga menyebut taklif tersebut dengan al-‘ihûd (perjanjian), seperti dalam al-Baqarah [2]: 40 dan al-Nahl [16]: 91. Oleh karena itu, menurut al-Razi ayat ini memerintahkan untuk menunaikan taklif, baik perintah mengerjakan maupun meninggalkan.
Terhadap semua akad tersebut, umat Islam diperintahkan untuk memenuhinya. Dalam ayat ini dikatakan awfû (penuhilah). Kata tersebut berasal dari al-wafâ`. Menurut Ibnu Manzhur, kata tersebut merupakan lawan dari kata al-ghadr (melanggar, mengkhianati). Dijelaskan al-Zuhaili, kata awfû berarti penuhilah sesuatu dengan lengkap, sempurna, dan tidak ada pengurangan sedikit pun. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Abdurrahman al-Sa’di, al-wafâ` bi al-‘uqûd (memenuhi akad-akad) berarti menyempurnakan dan melengkapinya serta tidak membatalkan dan menguranginya.
Berkenaan dengan adanya perjanjian manusia dengan Tuhannya perintah untuk menepatinya, disebutkan dalam beberapa ayat, seperti QS al-Ra’d [13]: 25). Dikatakan Ibnu ‘Abbas, al-‘uqûd di sini bermakna al-‘uhûd (perjanjian), yakni apa yang dihalalkan, diharamkan, diwajibkan, dan dibatasi Allah SWT dalam Alquran. Maka, jangan ditinggalkan dan dilanggarnya.
Sedangkan perjanjian manusia dengan sesamanya, disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW: Orang Mukmin terikat dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari). Ada beberapa perkara yang termasuk dalam akad dengan sesama manusia, seperti jual-beli, ijarah, dan lain-lain.
Hanya saja, dalam akad dengan sesama manusia, seperti jual-beli, sewa-menyewa, nikah, dan lain-lain, tidak boleh melanggar ketentuan syarat. Rasulullah SAW bersabda: Setiap syarat yang menyalahi kitabullah adalah batil, meskipun seratus syarat (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar). Dikatakan Imam al-Qurthubi, hadits ini menerangkan bahwa syarat atau akad yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai dengan kitabullah atau agama Allah. Apabila di dalamnya jelas bertentangan dengannya, maka tertolak, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam perintah kami, maka tertolak (HR Muslim dari Aisyah).
Hewan yang Dihalalkan
Setelah memerintahkan kaum Mukmin untuk memenuhi semua akadnya, kemudian Allah SWT berfirman: Uhillat lakum bahîmat al-an’âm (dihalalkan bagimu binatang ternak). Ayat ini memberikan ketetapan bahwa bahîmah al-‘âm merupakan makanan yang dihalalkan bagi kaum Muslimin.
Dalam kitab Mafâtîh al-Ghayb, Fakhruddin al-Razi mengutip pendapat yang mengatakan bahwa bahîmah pada awalnya menunjuk kepada semua makhluk hidup yang tidak berakal. Kemudian kata itu dikhususkan untuk menyebut hewan berkaki empat, baik di darat maupun di laut. Sedangkan al-an’âm (bentuk jamak dari kata al-na’am) adalah unta, sapi, dan kambing. Menurut Ibnu Katsir, pendapat yang sama juga dikemukakan Abu al-Hasan, Qatadah, dan lain. Kesimpulan tersebut juga diambil dari QS al-Nahl: 9-5. Ditegaskan ayat ini, semua binatang tersebut dihalalkan bagi manusia.
Selanjutnya Allah SWT mengecualikan dengan firmannya: Illâ mâ yutlâ ‘alaykum (kecuali yang akan dibacakan kepadamu). Kata illâ memberikan makna istitsnâ (perkecualian). Itu artinya, makanan yang disebutkan sesudahnya tidak dihalalkan sebagaimana binatang ternak yang disebutkan sebelumnya. Dijelaskan ayat ini, makanan yang tidak dihalalkan itu akan dibacakan kepadamu. Menurut al-Syaukani, yang dimaksud dengan yang dibacakan adalah yang disebutkan Allah SWT tentang pengharamannya, seperti dalam QS al-Maidah [5]: 2, dan yang diterangkan oleh sunnah.
Dikatakan Fakhruddin al-Razi, perkecualian dari binatang ternak itu disebutkan dalam ayat berikutnya. Yakni apabila menjadi bangkai, disembelih atas nama selain Allah, tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan disembelih untuk berhala (lihat QS al-Maidah [5]: 3).
Selain itu, juga: ghayra muhill al-shayd wa antum hurum ([yang demikian itu] dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji). Kata hurum di sini berarti ihram, baik haji maupun umrah. Ayat ini memperkecualikan binatang bagi orang yang sedang umrah.
Patut diketahui, binatang ternak ada yang diperoleh dengan berburu dan ada yang tidak. Binatang yang tidak dari hasil berburu hukumnya halal, baik bagi yang sedang ihram maupun tidak. Sedangkan yang dari berburu, hanya halal ketika tidak ihram. Jika sedang ihram, maka dihalalkannya berburu binatang laut dan diharamkan berburu binatang darat (lihat QS al-Maidah [5]: 96).
Penetapan Hukum: Otoritas Allah SWT
Setelah menjelaskan beberapa perkara hukum, ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Innaâl-Lâh yahkumu mâ yurîdu (sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya). Ayat ini menegaskan bahwa keputusan hukum merupakan otoritas Allah SWT. Dikatakan Ibnu Katsir, Dialah Yang Maha Bijaksana dalam semua perkara yang diperintahkan maupun dilarang-Nya. Demikianlah. Umat Islam diwajibkan untuk memenuhi semua akad, baik akad dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia. Termasuk di antaranya adalah memakan makanan yang dihalalkan dan menjauhi yang diharamkan. Ketentuan hukum ini mutlak ditangan Allah SWT. Tidak boleh seorang pun membantah dan menolaknya. Manusia tidak ada pilihan kecuali tunduk kepada semua ketentuan hukum-Nya. Ini termasuk perkara mendasar dalam Islam. Konsep ini jelas bertentangan dengan demokrasi yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat hukum semau-maunya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
- Wajib memenuhi semua akad yang telah ditetapkan, kecuali akad yang menyalahi syariah
- Binatang ternak dihalalkan kecuali yang disebutkan keharamannya
- Allah SWT berhak menetapkan hukum buat makhluk-Nya.
Sumber: Tabloid MediaUmat Edisi 121