Negeri yang Air Bukan Masalah

Oleh: Dr Fahmi Amhar

Sejatinya, Indonesia bukan negeri yang kekurangan air.  Walaupun kadang hujan lama tak turun dan sawah-sawah mengering, namun untuk sebagian besar wilayah, air sebenarnya berlimpah.  Hanya saja, kadang-kadang air itu turun sekaligus sebagai hujan dalam waktu yang pendek, jadilah banjir di mana-mana seperti sebulan terakhir ini.  Jadi masalah sebenarnya bukan kelangkaan air, tetapi distribusi spasial (lokasi) dan temporal (waktu turunnya).

Padahal seribu tahun yang lalu, ada sebuah negeri yang letaknya tak seberuntung Indonesia, daerahnya juga berhadapan dengan banyak padang pasir, tetapi negeri itu berabad-abad nyaris tanpa masalah air.

Kuncinya adalah pada pengelolaan sumber daya air yang bijak, serta penggunaan teknologi yang tepat.  Dan sejarah peradaban Islam dihiasi dengan begitu banyak ilmuwan yang peduli pada ilmu dan teknologi yang terkait manajemen sumber daya air yang bijak.

Secara umum, manajemen sumber daya air terdiri atas empat hal: (1) pencarian sumber air; (2) penyaluran air dari sumbernya sampai pengguna; (3) penggunaan air yang efisien; dan (4) penjagaan sumber daya air agar tetap sehat (tidak tercemar, rusak atau merusak / banjir).

Untuk mencari sumber air, berkembanglah geografi teknik atau hidrologi.  Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) mengembangkan teknik untuk mengukur beda tinggi antara gunung dan lembah guna merencanakan saluran irigasi.  Dia juga mendiskusikan tentang geografi manusia dan habitabilitas (syarat-syarat tempat yang dapat didiami manusia).  Dia berhipotesa bahwa hanya seperempat permukaan bumi yang dapat didiami manusia.

Sementara itu Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406) menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi iklim.

Jadi, di mana manusia sebaiknya bermukim, memang seharusnya mempertimbangkan keberadaan sumber air serta iklim di situ dalam jangka panjang, sehingga krisis air bagi suatu negeri yang didiami manusia sudah dari awal dapat dicegah atau diminimalisir.

Untuk penyaluran air dari sumbernya ke pengguna, berkembanglah ilmu konstruksi dan teknik mesin.

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin air yang lebih efisien.  Di antaranya yang paling terkenal adalah Banu Musa bersaudara (abad 9 M).  Dengan mesin buatan mereka, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum per hari.   Mereka bahkan mengukur aliran sungai berdasarkan jumlah penggilingan yang dapat diputarnya.  Sebuah sungai biasanya  dinyatakan dalam sekian daya giling (mill-power).

Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis.  Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Suatu ketika, industri permesinan yang termaju adalah pembuatan alat-alat irigasi, yakni kincir-kincir otomatis bertenaga air.  Namun industri ini juga menarik tumbuhnya industri konstruksi seperti pembuatan semen untuk konstruksi dam dan kanal, serta industri pertanian untuk mengolah hasil panen yang kemudian melimpah.

Industri irigasi menjadi perhatian utama di negeri-negeri Islam, baik untuk air minum, wudhu, kebutuhan rumah tangga, pertanian pada umumnya maupun untuk mencegah banjir.  Ini berbeda dengan Eropa Utara yang relatif memiliki curah hujan yang tinggi dan banyak sungai.

Alat irigasi yang pertama-tama dikembangkan adalah shaduf, yaitu semacam katrol pemberat dengan ember pada ujungnya untuk menaikkan air dengan mudah.  Katrol ini masih digerakkan dengan tenaga manusia.  Alat yang lain adalah saqiya dan noria (atau na’ura).  Saqiya digerakkan dengan tenaga hewan (seperti keledai), sedang noria dengan tenaga air.  Kedua alat ini sudah menggunakan roda gigi yang cukup rumit.  Meski alat-alat ini sudah dikenal sejak sebelum kelahiran Islam, namun para ilmuwan Islam telah menaikkan tingkat efisiensinya hingga lebih dari 60 persen.  Al-Jazari, mengembangkan lima jenis pompa air yang berbeda dari rancangan tradisional.  Saat ini, sisa-sisa saqiya maupun noria masih bisa ditemui di beberapa desa di Suriah maupun Mesir, meski pompa listrik telah banyak menggantikannya.

 

Noria (kincir air) untuk menaikkan air yang masih berfungsi di Suriah

Untuk penggunaan air yang efisien, berkembanglah berbagai teknik dalam pertanian, sehingga jenis tanaman yang ditanam sesuai dengan jumlah air yang tersedia.  Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī (828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya.  Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air.  Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.

Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya,  menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya.  Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.

 

Dan untuk penjagaan sumber air agar tetap sehat, para penguasa benar-benar mempromosikan budaya yang berasal dari syariat Islam untuk tidak mengotori sumber daya air dengan cara apapun.  Sampai sekarang budaya ini tampak salah satunya di Mesir, di mana rakyat Mesir tidak ada yang membuang sampah ke sungai Nil, sekalipun di daerah-daerah yang terhitung miskin dan jauh dari jangkauan aparat pemerintah.

Kemudian untuk mengantisipasi banjir, para penguasa muslim berusaha keras untuk membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini.  Astronom dan insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah mengonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.  Setelah bertahun-tahun melakukan pengukuran, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Kemampuan peradaban Islam bertahan berabad-abad, bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan yang menghabisi banyak peradaban lain, adalah merupakan sinergi dari keimanan, ketaatan pada syariat, dan ketekunan mereka untuk mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan ilmu dan teknologi yang tepat dalam mengelola air.[]

Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 121

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*