Penyimpangan Seksual, Bukti Lemahnya Dogma Gereja Katolik
Komite Hak Asasi Manusia PBB akhirnya mengeluarkan kecaman keras kepada Vatikan dan menuduh bahwa Vatikan mengadopsi kebijakan yang memungkinkan pastor memperkosa dan mencabuli ribuan anak-anak (voa-Islam, 6/2/2014).
Sebelumnya, Gereja Katolik telah menghadapi banyak tuduhan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh pastor di seluruh dunia dan mendapatkan kritik karena keuskupan tidak memberikan reaksi yang memadai (BBC, 16/1/2014).
Tak hanya penyimpangan seksual kepada anak-anak, beberapa waktu lalu, seorang biarawati asal Salvador kedapatan melahirkan bayi. Meski ayah dari bayi itu masih misterius, namun sang bayi akhirnya dinamai dengan Francesco (Francis), nama yang sama dengan titel untuk Paus dan salah satu nama yang paling populer di Italia (Islampos, 20/01/2014).
Masalah penyimpangan seksual yang dilakukan sejumlah pendeta dan uskup di berbagai negara sebenarnya telah berlangsung lama. Sorotan dan kritik terhadap prinsip utama larangan menikah bagi para pendeta Gereja Katolik pun bergulir, tak terkecuali dari pihak pengikut gereja sendiri. Bahkan keyakinan mereka telah sempat goncang.
Memang, sungguh menarik bila persoalan ini dikaitkan dengan keberadaan doktrin larangan menikah di gereja Katolik. Apalagi, doktrin tersebut bertentangan 180 derajat dengan ajaran Islam.
Dogma Larangan Menikah
Dogma larangan atau pantang menikah bagi seorang Paus, para biarawati serta biarawan dan Pendeta Katolik ternyata sudah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun. Meski demikian tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dogma tersebut muncul. Sebab, awal mula ajaran Katolik tidak mengajarkan hidup membujang. Bahkan keadaan Yesus apakah menikah atau tidak pun masih menjadi silang sengketa yang terus berkembang. Dengan demikian, larangan menikah pagi para pastor, uskup dan pendeta di Gereja Katolik tidak lain adalah dogma yang diciptakan oleh manusia biasa, bukan ajaran kenabian.
Terlebih lagi, para Rasul terdahulu pun tidak ada yang membujang (tabattul). Mereka beristeri, kecuali beberapa yang ditakdirkan Allah SWT wafat sebelum menikah. Namun mereka semua tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah. Firman Allah SWT :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)” (TQS. Ar Ra’du [13] : 38)
Di samping itu, wahyu Allah SWT juga telah melarang manusia dari menyalurkan naluri seksualnya kepada yang tidak dihalalkan. Perzinahan dan menyimpangan seksual kepada anak-anak menjadi perkara terlarang sebagaimana ajaran nabi-nabi terdahulu, termasuk Isa, Musa dan Daud. Masalahnya, para pemuka agama Katolik telah melarang para pendeta dan biarawati untuk menikah. Bukankah hal ini menunjukkan adanya keyakinan yang saling bertentangan di dalam ajaran Katolik. Para pendeta terlarang berzina, namun mereka juga terlarang untuk menikah. Itulah dogma gereja Katolik yang dibangun tanpa sandaran wahyu dan saling bertentangan antara satu ajaran dengan ajaran lainnya.
Fitrah Manusia
Allah SWT menciptakan manusia dengan serangkaian kebutuhan, baik berupa kebutuhan pokok maupun naluri. Diantara naluri yang secara fitrah ada pada manusia adalah adanya kecenderungan untuk melestarikan keturunan atau naluri seksual (gharizah nau’), termasuk rasa suka pada lawan jenis, kasih sayang pada anak-anak, dan sejenisnya.
Adanya naluri juga telah diberitakan Allah SWT dalam beberapa ayat al Quran, diantaranya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunan saya.’ Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 124).
Kecintaan Ibrahim kepada keturunannya merupakan fenomena yang membuktikan adanya naluri melestarikan keturunan (gharizah nau’). Nabi Ibrahim as. memohon kepada Allah SWT agar menjadikan keturunannya sebagai imam sama dengan dirinya. Ini merupakan fenomena mengenai keberadaan naluri yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia.
Demikian juga dengan kisah Nabi Yusuf as dalam al Qur’an :
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf juga bermaksud (melakukan perbuatan yang sama) dengan wanita itu, seandainya dia tidak melihat tanda-tanda (dari) Tuhannya.” (TQS. Yusuf [12]: 24).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki gharizah nau’ berupa ketertarikan kepada lawan jenis. Dalam hal ini Nabi Yusuf as. tidak melakukannya karena Allah SWT telah mencegahnya.
Sebagaimana kebutuhan pokok manusia (pangan, sandang, papan), naluri manusia juga menuntut pemenuhan. Hanya saja sifat pemenuhannya berbeda. Tidak seperti kebutuhan pokok yang menuntut pemenuhan yang pasti -yaitu jika tidak dipenuhi maka akan membinasakan manusia- maka, pemenuhan terhadap adanya naluri ini berbeda. Kemunculan naluri tidak menuntut pemenuhan yang pasti (harus). Artinya, jika tidak dipenuhi tidak akan membinasakan manusia, hanya membuatnya gelisah. Namun demikian, manusia dapat mengalihkannya kepada yang lain sehingga naluri tersebut tidak muncul atau tidak memerlukan pemenuhan.
Pada intinya, tatkala naluri manusia muncul, ia membutuhkan mekanisme (aturan) penyaluran. Tak hanya itu, manusia juga membutuhkan aturan bagaimana bila ia tidak memiliki sarana untuk menyalurkan atau memenuhi kebutuhan naluri tersebut, sementara nalurinya telah muncul.
Dogma Katolik tentang membujang jelas tidak memenuhi apa yang terjadi pada manusia. Dogma tersebut nyata-nyata tidak mampu menjawab masalah yang muncul dari sesuatu yang fitrah pada manusia. Karena itulah, wajar jika pada akhirnya banyak dari mereka yang melanggar dogma yang mereka buat sendiri. Inilah logika yang paling nyata di balik berbagai penyimpangan seksual yang terjadi di gereja Katolik.
Semua aturan yang bertentangan dengan fitrah manusia hanya akan merusak manusia itu sendiri. Bila menikah saja dilarang, lantas dengan cara bagiamana lagi mereka harus menyalurkan naluri tersebut pada saat bangkit? Tentu saja, akhirnya dengan cara yang keliru. Kehamilan yang terjadi pada biarawati maupun kekerasan yang dialami anak-anak harga yang harus dibayar dari keyakinan yang bertentangan dengan fitrah manusia tersebut.
Lantas bagiamana dengan Islam? Bagaimana Islam mengatur pemenuhan kebutuhan manusia?
Pemenuhan Gharizah Nau’ dalam Islam
Islam memiliki mekanisme yang unik dan sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Islam mensyariatkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan yang menghalalkan hubungan jenis manusia sehingga keduanya mendapatkan ketentraman dan kasih sayang. Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (TQS. Ar Ruum [3] : 21)
Sebaliknya, Islam bahkan memakruhkan tabattul (yaitu memutuskan diri untuk membujang atau tidak menikah). Rasulullah Saw pernah bersabda :
“Bahwa sesungguhnya Nabi Saw. mencegah perbuatan tabattul (membujang)” (HR. An Nasai)
Bila seseorang belum mampu menikah maka Islam pun memberikan mekanisme pengaturannya. Islam memerintahkan agar mereka berpuasa sebagaimana sabda Nabi saw :
“Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang mampu berumah tangga, menikahlah. Sebab, menikah itu dapat menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi benteng (bagi seseorang).” (HR. Bukhari).
Nabi saw. memerintahkan puasa dalam kasus tersebut supaya orang yang mempunyai keinginan kuat untuk menikah, karena telah muncul gharizah nau’-nya, dapat mengalihkan pada dorongan gharizah tadayyun (naluri beragama). Sebab, puasa merupakan ibadah dan tiap ibadah mempunyai tujuan yang hendak dicapai, yaitu meningkatnya kekuatan ruhiyyah seseorang. Dengan kekuatan ruhiyah itulah gharizah nau’ seseorang dapat dikendalikan sehingga bisa ditekan.
Di samping itu, Islam juga mengatur agar hubungan antar jenis tidak serta merta memunculkan gharizah nau’. Sebab, kemunculan gharizah nau’ bisa membawa persoalan tersendiri terutama pada orang-orang yang tidak memiliki sarana pemenuhannya, seperti mereka yang belum menikah. Karena itulah, Islam memberikan hukum-hukum pergaulan. Diantaranya, melarang berzina dan mendekati zina (termasuk berkhalwat, berciuman, dsb), larangan bertabarruj, mewajibkan menutup aurat, mewajibkan menahan pandangan, dan lain sebagainya.
Itulah keunikan Islam. Agama yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad Saw ini tidak pernah mengekang fitrah manusia. Islam bahkan memberikan penyaluran sesuai fitrah manusia.
Karena itulah, tatkala hanya Islam yang mampu mengatur kehidupan manusia sesuai fitrahnya, mengapa manusia tidak beralih meyakini Islam dan berusaha menegakkan hukum-hukumnya agar manusia mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat?
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al Maidah [5]: 50)
Inilah tugas kita, untuk menjadikan Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam dengan pengamalan yang kaffah atas seluruh ajarannya. Semoga hadirnya Khilafah Islam -yang tidak lama lagi- akan membuktikan semua itu. Insyaallah. []