Audiensi MHTI ke Ketua Promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
HTI Press. Jakarta. “Mengapa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Wajib Ditolak dan Jaminan Kesehatan Khilafah Wajib Diterapkan”, merupakan tema audiensi Lajnah Mashlahiyah MHTI dengan dr. Lily Sriwahyuni Setyowati MM, Ketua Promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Jumat, 07/02/2014).
Audiensi diawali dengan ta’aruf singkat tentang MHTI oleh dr. Estyningtyas. MHTI adalah partai politik, dalam makna pengaturan urusan umat dengan Islam sebagai landasannya. MHTI sebagai bagian dari HTI, concern terhadap berbagai persoalan umat termasuk kesehatan, dalam hal ini kebijakan JKN. Delegasi MHTI diterima dr. Lily yang didampingi sejumlah staf beliau.
Dr. Rini Syafrie, (MHTI) mengawali diskusi dengan membacakan QS 14, ayat 24, 25, konsep yang baik seperti akar yang baik, dan sebaliknya. Ditegaskan pula fokus audiensi adalah konsep prinsip sistem pelayanan JKN, bukan aspek teknis, serta apa yang menjadi konsep prinsip jaminan kesehatan khilafah. Audiensi yang dimulai sejak pukul 08.30-09.30 wib itu, berlangsung hangat dan dialogis.
Dalam penjelasannya, dinyatakan sistem pelayanan JKN sebagai model Universal Coverage pada umumnya berdiri diatas sejumlah konsep prinsip. Yaitu diantaranya adalah pelayanan kesehatan sebagai sesuatu yang harus dikomersialkan. Pandangan ini sempat ditolak dr Lily, menyatakan JKN tidak mengkomersialkankan pelayanan kesehatan, bahkan berusaha membantu yang miskin, adanya PBI.
Namun kemudian dibenarkan beliau, setelah dijelaskan bahwa JKN sebagai sistem pelayanan kesehatan yang merupakan bagian dari sistem kesehatan secara keseluruhan, yaitu sub sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit dan Puskemas, institusi pendidikan Nakes, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan. Semuanya dikomersialkan, dan hanyalah industri yang dikendalikan oleh uang. Indikasi komersialisasi tersebut adalah premi yang wajib dibayar masyarakat, sebagai pra syarat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Seharusnya pelayanan kesehatan diperoleh masyarakat secara cuma-cuma dari Negara dengan kualitas terbaik. Awalnya dr. Lily juga tidak sependapat dengan poin ini. Alasannya masyarakat jadi tidak peduli terhadap kesehatan. Bagaimana dengan orang yang suka mabuk, apakah juga mereka harus digratiskan, padahal sakitnya mereka karena perbuatan mereka sendiri.
Ini adalah dua persoalan yang berbeda jangan dicampur adukkan. Yaitu memberikan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik oleh Negara adalah satu aspek, dan wajibnya setiap orang awared (peduli) dengan kesehatan aspek yang berbeda. Islam sangat mendorong setiap orang awared terhadap kesehatannya.
JKN telah menjadikan peran Negara sebagai regulator. Ini sangat berbahaya. Seharusnya wewenang dan tanggung jawab bersifat penuh dengan pembiayaan yang mutlak. Artinya ada atau tidak ada uang di kas Negara, wajib diadakan manakala dibutuhkan untuk pembiayaan kesehatan gratis berkualitas bagi semua individu masyarakat. Hal ini sangat mungkin, karena Negara memiliki sumber-sumber pembiayaan yang membuat Negara memiliki kemampuan finasial untuk pembiayaan kesehtan. Misalnya dari harta milik umum yang jumlahnya berlimpah.
Dr. Lily menyatakan, bahwa JKN sebenarnya baik karena mengadopsi budaya saling membantu, gotong royong, yang sudah menjadi budaya Indonesia. Namun ditegaskan oleh Dr. Rini, pembiayaan kesehatan bukan ranahnya untuk digotong royongkan, karena bukan kapasitas beban masyarakat, tapi Negara. Karenanya tidak akan mampu mencapai tujuan pembiayaan itu sendiri,yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik.
Audiensi menarik dan cukup singkat ini, berlangsung di Ruang Ka PromKes, KemenKes RI, Gedung Prof. Sujudi, Lt 10. Diakhiri dengan harapan dari dr. Lily maupun dari delegasi MHTI dapat dilanjutkan di lain waktu. []