Audiensi Lajnah Mashlahiyyah MHTI ke PT. Pertamina

HTI Press. Jakarta. Lajnah Mashlahiyyah MHTI, yang dipimpin oleh  Maiyesni Kusiar berkunjung ke PT. Pertamina (Kamis, 20/02/2014). Dalam hal ini Karen Agustiawan yang diwakili oleh Lukitaningsih (Finance and Business Support Director PT. Pertamina EP) dan  Sapta (Manager GDIT Pertamina EP), beserta para staff perempuan, di Menara Standard Chartered Lt.28, Jl. Prof. Dr. Satrio, Jaksel.

Dalam kesempatan pertama, Lukitasari memberikan ucapan terimakasih kepada MHTI yang mau berkunjung dan berbagi informasi, juga penyampaian permintaan maaf bahwa Karen  tidak bisa turut hadir, namun mendelegasikan kepadanya. Lukitasari kemudian memperkenalkan aktivitas Pertamina EP yang bergerak di sektor hulu pengelolaan migas dan staff yang hadir.

Syiddah dari MHTI juga mengucapkan terimakasih atas respon Pertamina, dan memperkenalkan tim MHTI. Perkenalan dilanjutkan dengan menjelaskan MHTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan HTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir Internasional. Kiprah MHTI sebagai parpol salah satunya adalah menyampaikan pemikiran-pemikiran Islam mengenai aturan-aturan yang terkait dengan interaksi masyarakat. Politik yang dimaksud adalah riayatu suunil ummah, yakni tata cara mengurusi urusan umat. Wacana bahwa Islam memiliki seperangkat pemikiran tentang pengurusan masyarakat masih sedikit dipahami dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran ibadah. Pemikiran-pemikiran Islam tentang pengurusan masyarakat ini, oleh MHTI juga telah disampaikan kepada berbagai kalangan yakni ulama, intelektual, pengusaha, praktisi, birokrat penguasa, dan masyarakat umum.

Maiyesni (MHTI) menyorot tentang salah kaprah pengelolaan energi saat ini termasuk gagasan RPP KEN. Islam memandang letak kesalahan mendasarnya pada kebijakan yang menjadikan migas sebagai barang ekonomi mengikuti mekanisme pasar. Padahal migas sendiri pada faktanya tidak bisa dijadikan barang yang mengikuti mekanisme pasar melainkan migas adalah product inelastic market, yakni berapa pun harga yang dipatok oleh produsen pasti akan diserap oleh pasar.

« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“ (HR. Imam Abu Dawud)

Lukita (Pertamina), menanggapi tentang rakyat krisis energi, bahwa hanya 40,7% migas dikonsumsi domestik dan 59,3%-nya malah diekspor. Hal tersebut karena kilang-kilang yang dimiliki saat ini tidak sesuai dengan spesifikasi sumber daya alam yang dimiliki. Pembangunan kilang tidak sesuai dengan sumber daya alam yang ada memang kurang tepat, namun saat ini harus difikirkan mekanisme kerjasama yang saling menguntungkan.

Sapta juga menambahkan bahwa kepemilikan ladang terluas masih dikuasai pertamina, namun sumber-sumbernya kurang produktif, misal karena sumur tua maupun karena memang resource-nya kecil. Sementara sumber-sumber produktif memang dikelola (bukan dikuasai) asing. Bentuknya kerjasama, apabila eksplorasi gagal maka kita tidak bayar cost recovery, kita tidak rugi.

Tim MHTI menanggapi, sepakat bahwa telah terjadi kesalahan di masa lalu, berarti harus ada perbaikan pada saat ini. Namun yang terjadi bukanlah perbaikan melainkan kita semakin mengikuti arus liberalisasi yang benar-benar menjadikan migas sebagai barang ekonomi. Buktinya lahirnya berbagai undang-undang migas yang liberalistik seperti yang telah disampaikan dalam presentasi (UU migas no 22 thn 2001, UU no.30 tahun 2007, renstra BPH Migas ESDM, dll). Sebagaimana saat ini terjadi unbundling Pertamina semakin menunjukkan bahwa Pertamina memang diposisikan sebagai badan untuk meraih profit dalam mengkomersilkan barang tersebut.

Saat ini model bagi hasil yang ditetapkan adalah bagi hasil laba. Yakni pengelola asing boleh menjual migas ke luar negeri dan hasil penjualannya dibagi dengan Indonesia. Pada saat yang sama tidak ada jaminan supply bagi kebutuhan dalam negeri, bahkan Mahkamah Konstitusi menghapus kewajiban DMO (domestik market obligation) dengan menetapkan bahwa 25% produksi utk DMO merupakan hal yang tidak mengikat. Untuk apa APBN kita mendapat banyak uang dari penjualan migas, sementara rakyat kita sulit mendapat akses migas ?

Lukitasari tertarik dengan pernyataan unbundling. Apa pendapat MHTI dengan unbundling Pertamina?

Unbundling Pertamina adalah bukti liberalisasi migas. Secara efisiensi untuk dapat melayani, MHTI melihat bahwa model integrated lebih baik daripada model unbundling. Ketika pertamina dilakukan unbundling dari hulu ke hilir seperti halnya Pertamina EP saat ini memegang unit hulu, maka masing2 unit usaha dan anak-anak perusahaannya berdiri sebagai unit usaha tersendiri yang kinerjanya dinilai dari profit yang diperoleh masing-masing unit usaha bukan dilihat sejauh mana pelayanan dapat dilakukan.

MHTI menambahkan sebagai contoh pabrik pemroduksi PTA, purified therephtalic acid, milik pertamina (maksudnya pabrik di sungai gerong plaju sumsel) terpaksa ditutup karena bahan baku paraxylene harus import dari China. Sedangkan pertamina yang lebih hulu (maksudnya Cilacap) memilih menjual keluar paraxylene-nya karena lebih menguntungkan.

Dalam hal teknis migas Khilafah akan membangun Badan Usaha Milik Umum yang aktifitas teknisnya melakukan riset, eksplorasi, eksploitasi, pemrosesan, dan distribusi. Semisal Pertamina namun bentuknya bukan persero untuk mencari profit, namun pelayanan.

Lukitasari menambahkan, berarti bentuknya bukan BUMN tapi BUMU karena migas dipandang sebagai milik umum bukan milik negara ya?

MHTI mengiyakan. Hal tersebut didukung dengan strategi politik ekonomi Khilafah, yakni industri yang pertama kali akan diprioritaskan oleh Khilafah adalah pembangunan industri berat, karena dengan industri berat tersebut akan dilahirkan mesin-mesin produksi bagi industri selanjutnya. Namun liberalisasi saat ini membuat negara semakin tidak berdaya, industri dasar kita semisal Krakatau Steel sahamnya dilepaskan ke publik/swasta, sehingga pelayanan oleh negara semakin sulit untuk diwujudkan.

Saat ini negara sedang di arahkan untuk menjadi regulator saja sedangkan pemainnya adalah swasta dengan mekanisme pasar. Sedangkan Khilafah, negara akan sibuk mengurus hingga hal teknis agar rakyat dapat terlayani dengan sempurna. Rakyat yang dimaksud meliputi muslim maupun non muslim tanpa diskriminasi hak.

Adapun apabila negara Khilafah keadaannya memang benar-benar belum mampu untuk melakukan hal tersebut, maka harta kekayaan milik umum tersebut  pengelolaannya tidak diserahkan kepada swasta/asing. Sebisanya kita memanfaatkan, sebagaimana awal berdirinya uni sovyet pemimpin negara tersebut (Lenin) menyatakan bahwa “kita tidak akan menggunakan traktor sebelum kita bisa memproduksi sendiri traktor tersebut”. Ketika kita membulatkan tekat untuk tidak menyerahkan pada swasta, maka kita akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa mewujudkannya sendiri.

Kalaupun Khilafah tetap akan mengeksploitasi migas dengan bekerjasama dengan asing, bentuknya tidak bagi hasil melainkan dengan sistem ajir-musta’jir, pengupahan. Sehingga dengan sistem ajir-mustakjir tersebut migas tetap menjadi milik kita dan kita berkuasa penuh atas pengelolaan/pemanfaatannya.

Tentang kerjasama dengan pihak asing. Lukitasari tidak sepakat jika tidak boleh bekerjasama dengan asing, seorang muslim harus menunjukkan diri sebagai orang baik dan profesional yang fair bukan justru bersikap diskriminatif sara.

MHTI menjelaskan maksud pemakaian kata asing dalam paparan-paparan sebelumnya adalah tidak boleh asing mendominasi/mengontrol kita.

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Adapun dalam muamalah yang tidak menjadikan mereka mendominasi kaum muslim terdapat banyak fikih-fikih yang menjelaskan kebolehannya bahkan Rasulullah SAW pun bermuamalah dengan non muslim.

Namun dalam mekanisme kerjasama saat ini, kita tidak memiliki kontrol penuh atas migas-migas kita bahkan UU yang lahir saat ini lebih pro kepada asing. Beberapa orang menjadi sangat kaya karena undang-undang mengizinkan mereka mengambil/mencuri harta milik umum, sehingga sebagian besar rakyat harus menderita kemiskinan yang amat sangat padahal harta tersebut adalah hak mereka untuk dapat menikmatinya pula.

Dan saat ini negara sebagai regulator yang tidak adil, lebih pro kepada asing. Bagaikan orang tua yang menyuruh pertamina yang notabene anak kandungnya sendiri disuruh berkelahi dengan asing dan negara malah memenangkan asing, seperti kasus pertamina dengan exxon. Sehingga seperti yang Luki dan Sapta nyatakan di depan bahwa asing mendapatkan sumber-sumber berproduksi besar sementara Pertamina mendapatkan ladang-ladang kurus karena sudah tua ataupun karena reservoarnya kecil.

Seharusnya sebagai orang tua jika menganggap anaknya belum mampu harusnya berfikir bagaimana menjadikannya mampu, menyekolahkannya, dan sebagainya bukan malah menganaktirikannya sehingga migas semakin mengikuti mekanisme pasar.

Bahkan Karen sendiri menyatakan bahwa andai seluruh ladang yang ada di Indonesia diserahkan kepada Pertamina, maka Pertamina sanggup untuk mengerjakannya. Namun pemerintah lebih memberikannya kepada asing.

MHTI menambahkan bahwa Pertamina hanyalah pelaksana kebijakan sementara kebijakan merupakan wewenang pemerintah. Sehingga perubahan tidak bisa dilakukan oleh Pertamina, namun paradigma negara harus berubah. Oleh sebab itu diperlukan perubahan dimulai melalui opini publik yang darinya nanti diarahkan untuk membentuk kesadaran publik. MHTI mengambil peran ini dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh MHTI sendiri perlu dilakukan bersama-sama untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran Islam. Sistem yang baik akan melahirkan orang-orang (penguasa) yang baik. Sebagaimana dalam hadits : Al Madinatu Kalkiirun. Yang artinya (sistem) Madinah laksana tungku api besi, maksudnya adalah sebagaimana yang terjadi dalam tanur besi. Ketika besi dilelehkan oleh panas dalam tanur, maka pengotor-pengotornya akan terpisah karena perbedaan berat jenis. Sehingga agar tidak terlempar dari sistem Madinah yang baik, orang-orang tidak baik harus berubah menjadi baik.

Lukitasari menyimpulkan dari hasil diskusi bahwa migas adalah barang milik umum agar kesejahteraan dapat merata maka migas harus diposisikan kembali sebagai barang milik umum dan fungsi negara haruslah menjadi pelayan rakyat bukan semata mencukupkan diri sebagai regulator. Demikian juga berbahaya jika DMO bukan sesuatu yang mengikat. Apabila negara belum sanggup maka tetap tidak akan menyerahkan kepada swasta.

Lukitasari pun menyatakan ucapan terimakasih kepada MHTI atas penyampaian pemikiran-pemikiran yang tidak biasa, dan juga terimakasih sehingga para staff juga bisa turut mendengarkan pembahasan diluar dari rutinitas yang mereka biasa jalani. Dan berjanji akan menyampaikan hasil diskusi ini kepada Karen dan berharap suatu saat Karen juga punya kesempatan berdiskusi langsung dengan MHTI. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*