Al-Islam edidi 696, 5 Jumadul Awal 1435 H-8 Maret 2014 M
Fenomena calon anggota legislatif melakukan ritual ke tempat keramat meningkat menjelang pemilihan umum. Para calon wakil rakyat itu menanggalkan rasionalitas untuk mengejar jabatan (detikNews, 4/3).
Berbagai aksi tidak rasional dilakukan para caleg demi ambisi. Ritual di tempat yang keramat, mendatangi makam keramat, bahkan ritual “nyembah” pohon besar. Jasa paranormal, dukun dan ahli spiritual juga menjadi langganan para caleg.
Tidak Rasional Akibat Sistem
Banyak pihak menilai, semua perilaku itu akibat sistem politik pemilu. Menurut Ketua DPC PD Kab. Tulungagung, Jatim Menurut Goldy kebiasaan politisi mengunjungi makam keramat meningkat menjelang pemungutan suara. Umumnya dilakukan akibat seorang calon anggota legislatif memiliki kepercayaan diri yang lemah. Ongkos besar yang terlanjur dikeluarkan saat kampanye membuat pola pikir seorang calon anggota legislatif tidak lagi rasional (lihat, detikNews, 4/3).
Pada pemilu tahun 2014 ini para caleg harus bekerja lebih keras dan jor-joran. Persaingan bakal lebih ketat dari Pemilu 2009 lalu. Selain jumlah caleg makin banyak, ‘harga’ satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat RI dipastikan juga lebih mahal. Baik harga finansial maupun harga berupa jumlah suara yang harus diperoleh seorang caleg untuk bisa duduk di kursi dewan.
Bisa Gila Beneran
Sistem politik pemilu yang ada bahkan bisa membuat orang gila benaran. Ini sudah terbukti pada pemilu 2004 dan 2009.
Menurut data Kemenkes, pada pemilu 2009, ada 7.736 caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang caleg DPR, 496 orang caleg DPRD I, 4 caleg DPD dan 6.827 orang caleg DPRD II.
Prof. Dadang Hawari memperkirakan, “pada 2014 ini saya pikir akan lebih banyak lagi caleg gila dibanding 2009.” (Media Umat, edisi 122). Bahkan dr. Teddy Hidayat, psikiater yang juga Ketua Penanggulangan Narkoba RS Hasan Sadikin Bandung, memprediksi stress caleg akan mencapai 30% baik bagi yang terpillih maupun yang gagal. (Galamedia, 21/1).
Melihat pengalaman pemilu 2004 dan 2009 serta prediksi Pemilu 2014 mendatang, sejumlah rumah sakit dan rumah sakit jiwa sudah bersiap-siap. Diberitakan di antara yang sudah bersiap itu antara lain: RSJKO Prov. Bengkulu, RSJ Ernaldi Bahar Palembang, RSJ Tampan Pekanbaru, RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta; RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, RSU Kota Banjar Jabar, RSJD Solo, RS Panembahan Senopati (RSPS) Bantul, RSUD Banyumas, RSUD Kudus Jateng, RSUD Kartini Jepara, RSJ Menur Surabaya, RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Malang, RSUD Kanjuruhan Malang, RSJ Prov. Kalbar di Singkawang, Dinkes Kota Balikpapan Kaltim, dan RSKD Maluku.
Sistem Membuat “Gila”
Sistem politik pemilu membuat kontentasi di dalam pemilu jadi sangat mahal, persaingan sangat ketat dan peluang berhasil sangat kecil. Peluang seorang caleg hanya 10%. Untuk DPR ada 560 kursi, DPD ada 132 kursi, DPRD provinsi ada 2.112 kursi dan DPRD Kabupaten Kota 16.895 kursi. Total nasional ada 19.699 kursi. Jumlah kursi sebanyak itu diperebutkan oleh sekitar 200 ribu caleg DPR, DPD, DPRD I dan DPRD II. Artinya, hanya 10% caleg yang akan berhasil. Sekitar 180 ribu caleg atau 90 % dipastikan akan gagal.
Persaingan itu untuk kursi DPR malah lebih ketat lagi. Jumlah 560 kursi diperebutkan oleh 6.607 caleg. Hanya 8,5% yang akan lolos ke senayan. Sebanyak 6.047 caleg DPR dipastikan akan gagal.
Kecilnya peluang itu masih diperumit lagi oleh sistem pemilu yang digunakan. Dengan sistem yang ada, persaingan sengit bukan hanya dengan caleg dari partai lain, tetapi juga antar caleg dari satu partai yang sama di dapil yang sama.
Dan untuk tingkat DPR, hanya partai yang mendapat suara total nasional minimal 3,5% yag dikenal sebagai angka parliamentary treshold saja yang akan bisa duduk di DPR. Meski seorang caleg meraih suara terbanyak, jika partinya tidak lolos parliamentary treshold itu maka ambisinya akan kandas dan dia menjadi caleg gagal.
Semua persaingan dan mekanisme itu membuat setiap caleg habis-habisan agar dapat suara terbanyak. Segala cara dilakukan. Adu banyak iklan, baliho, spanduk, poster, stiker, pamflet, kaos, blusukan, sumbangan, bantuan, sembako. Banyak-banyakan tim kampanye dan pemenangan untuk rekrut suara dan kampanye dari pintu ke pintu, dsb. Dan tidak menutup kemungkinan, besar-besaran uang pemberian pun sangat mungkin terjadi. Semua itu harus dilakukan jauh-jauh hari dan jangka waktu lama. Semua itu perlu uang, uang dan uang.
Riset Pramono Anung menunjukkan, biaya kampanye pemilu 2009 naik 3,5 kali lipat dibandingkan pemilu 2004. Ia memperkirakan biaya kampanye akan naik lagi 1,5 kali lipat dari pemilu 2009. Secara rata-rata, biaya kampanye pada 2009 bagi caleg DPR mencapai Rp 3 miliar. Pemilu 2014 ini ia perkirakan rata-rata biaya kampanye caleg DPR mencapai Rp 4,5 miliar. Menurutnya, setidaknya dana kampanye yang harus disiapkan oleh seorang caleg DPR Rp 1,2 – 1,5 miliar.
Dalam beberapa pemberitaan, sejumlah caleg DPR mengaku sudah menyiapkan dana kampanye Rp 6 miliar. Untuk calon DPD dan caleg DPRD I serta DPRD II setidaknya dana yang harus disiapkan pada angka ratusan juta rupiah.
Bisa dibayangkan ketika gambarnya sudah terpampang dimana-mana calon wakil rakyat, sudah habis-habisan harta, boleh jadi sudah jual tanah, sawah, gadaikan rumah, mobil, atau utang ratusan juga hingga miliaran, terkuras fisik, finansial dan mental, lantas gagal, jelas tekanan batin menimpanya. Yang tidak kuat akan mengalami ganggungan jiwa baik ringan hingga berat alias gila. Merekalah, korban pertama dari sistem politik pemilu, atas kemauan, kesadaran dan pilihan sendiri.
Rakyat Jadi Korban
Sementara caleg yang terpilih, nanti justru menjadi sumber problem baru bagi rakyat. Rakyat akan menjadi korban dari perilaku caleg terpilih yang koruptif, kolutif dan permisif.
Biaya politik tinggi itu meminta kompensasi dan membawa konsekuensi. Kompensasinya, caleg harus mengkompensasi dana yang dia peroleh dari cukong, jika tenyata dana kampanyenya berasal dari cukong. Itu melalui dua cara: pertama, kebijakan yang menguntungkan para kapitalis, seperti pemberian konsesi lahan atau tambang; keringanan pajak, pembebasan bea, pajak dibayari negara. Atau kedua, dengan rekayasa atau pengaturan proyek. Proyek dibuat dan dibagi-bagi untuk para cukong itu.
Juga membawa konsekuensi, yaitu bagaimana secepatnya kembali modal. Maka begitu terpilih, caleg pun berubah pelupa, lupa pada rakyat, lupa pada janji kampanye, lupa moral bahkan berpura-pura lupa dosa. Cara korupsi, manipulasi dan cara-cara kotor lainnya dilakukan. Dan ditambah dengan memperbesar pendapatan legal atas nama tunjangan, peningkatan gaji, fasilitas, insentif, dsb.
Lihat saja, sejak 2004 hampir 3.000 anggota DPRD kabupaten/kota diseluruh Indonesia terjerat hukum. Kasus korupsi yang mendominasi (Republika online, 23/2/2013). Sementara itu menurut wakil ketua KPK Adnan Pandu Praja, selama empat tahun berturut-turut DPR menjadi lembaga nomor satu terkorup (merdeka online, 14/2/2013).
Anggota dewan juga begitu mudah terbeli dan menyetujui berbagai undang-undang yang menguntungkan asing, seperti selama ini. Menurut Rizal Ramli, setidaknya ada 20 UU yang pembuatannya didanai asing. Sementara menurut pengakuan Eva Kusuma Sundari (tempo.co.id, 20/8/2010), ada campur tangan asing terlibat dalam penyusunan puluhan undang-undang di Indonesia. “Ada 76 UU yang draft-nya dilakukan pihak asing” ucapnya. Temuan itu diperolehnya dari sumber BIN. Menurutnya, inti dari intervensi itu adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang migas, kelistirikan, keuangan dan perbankan, sumber daya air, dsb.
Akibatnya, kekayaan alam tambang, mineral, migas, energi, sektor keuangan dan perbankan dsb dikuasai asing. Rakyat tidak bisa mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan yang katanya adalah milik rakyat. Maka pada akhirnya, rakyat jugalah yang jadi korban akhir dari semua itu.
Khilafah dengan Majelis Ummah Sebagai Solusi
Solusi untuk mengakhiri dan memperbaiki semua kerusakan dan “kegilaan” itu hanyalah khilafah dengan sistem Majelis Ummah-nya. Anggota Majelis Ummah dipilih langsung oleh rakyat di wilayah masing-masing.
Dalam Islam, anggota Majelis Ummah tidak memiliki hak dan fungsi budgeting dan legislating. Tetapi hanya fungsi penyalur aspirasi umat, dan pengoreksi. Jadi tidak ada kewenangan anggota majelis umat yang bisa dikomersilkan dan dijadikan ajang korupsi melalui kebijakan. Dengan begitu bibit korupsi, kolusi dan manipulasi bisa dimatikan sejak dini dari akarnya.
Sementara untuk hukum, perkara yang sudah jelas tinggal merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan untuk perkara yang belum jelas atau perkara baru, maka dilakukan ijtihad menggali hukum dari dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun qiyas oleh para mujtahid. Lalu khalifah bisa mengadopsi salah satu hukum yang dia pandang paling kuat baik hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad mujtahid lain. Dengan begitu legislasi menjadi murah, cepat dan hemat, berkebalikan dari yang sekarang.
Dan karena rujukannya jelas dan baku, tetap tidak berubah, yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas, maka mudah bagi siapa saja untuk mengoreksinya jika keliru, atau jika ada penyimpangan, atau jika ada maksud tertentu di balik pengadopsian undang-undang.
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu hanya bisa dijalankan dalam sistem khilafah islamiyah. Maka untuk mengakhiri keburukan sistem sekarang yang terus menjadikan rakyat sebagai korbannya, maka sistem khilafah dengan Majelis Ummah-nya itu harus segera diwujudkan. Jika tidak, Allah SWT bertanya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar Al Islam:
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak yakin partai politik bakal menuruti surat keputusan bersama (SKB) moratorium iklan kampanye. Hal itu karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum masih memiliki celah sehingga parpol bisa lolos dari jerat sanksi jika melakukan iklan terselubung di luar waktu yang ditetapkan.(Kompas.com, 4/3)
- UU-nya saja yang buat wakil-wakil parpol, tentu mereka lebih jago cari celahnya. Itulah, dalam demokrasi, UU tidak bisa lepas dari kepentingan, sehingga selalu bias dan tidak fair.
- Jika tidak nurut, parpol sebagai pilar demokrasi negeri ini sudah menunjukkan sulit diatur. Jika begitu perilaku pilarnya, bagaimana bisa meminta masyarakat nurut aturan? Ibarat, guru kencing berdiri, tak bisa larang murid kencing berlari.