Oleh: Eko R. Cahyadi, Phd (Dosen IPB dan Tim LM DPP HTI)
Dalam laporan terbaru FAO (2013) yang bertajuk “The State of Food Insecurity in The World” terungkap bahwa sekitar 842 juta orang atau satu di antara delapan penduduk dunia menderita kelaparan kronis. Laporan tersebut bahkan mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di banyak negara tidak mampu menyentuh setiap penduduk dan tidak dapat memberikan lebih banyak pekerjaan yang lebih baik sehingga belum mampu mengatasai persoalan pangan ini.
Pada pertengahan 2012 suatu konferensi para ekonom pertanian dunia di Brazil membahas sebuah topik menarik tentang pangan dengan tajuk “1 billion hunger 1 billion obesity“. Para ahli memperkirakan terdapat sekitar 1 miliar penduduk dunia yang kelaparan dan pada saat yang sama terdapat 1 miliar penduduk yang menderita kegemukan. Distribusi penduduk yang lapar dan obsesitas tersebut ternyata tidak merata. Kelaparan banyak ditemukan di negara berkembang sementara obesistas banyak ditemukan di negara maju. Kondisi ini memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah kelaparan yang menjadi persoalan dunia saat ini lebih disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya pangan di dunia ataukah besarnya ketimpangan antar negara dalam mengakses dan mengekstrak sumberdaya?
Sebuah fakta yang cukup mengejutkan terungkap dalam sebuah laporan FAO bahwa ketika sebagian penduduk dunia masih kekurangan pangan, sebagian penduduk di belahan dunia lain justru membuang makanan. Dalam laporan bertajuk Global Food Looses and Food Waste, FAO (2011) mengungkapkan sekitar 1/3 makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang, dengan jumlah mencapai 1.3 miliar ton per tahun. Jumlah ini lebih banyak disumbang oleh penduduk di negara-negara eropa dan amerika utara yang membuang 95-115 kg makanan per orang per tahun. Sementara itu, negara-negara brkembang di Afrika dan Asia Tenggara/ Selatan membuang 6-11 kg/ orang/ tahun. Kapitalisme global, seperti kampanye produk “beli dua dapat tiga” telah mendorong orang untuk membeli jauh lebih banyak dari yang ia butuhkan. Produksi pangan secara keseluruhan boleh jadi meningkat efisiensinya namun kemiskinan dan ketimpangan ekonomi telah menjadi isu besar yang menyebabkan tidak semua orang di berbagai negara dapat mengakses pangan secara layak.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam sebuah laporan Global Food Security Index (GFSI) yang diterbitkan the Economist (2013) Indonesia tercatat berada pada peringkat ke 66 dari 106 negara yang disurvei tentang keamanan pangannya. Dari skor 0-100 yang menggambarkan kondisi sangat tidak aman hingga sangat terjamin keamanannya, negeri kita memiliki skor 45.6 yang menunjukkan ketahanan pangan masih menjadi persoalan serius yang belum terpecahkan dengan tuntas. Di Indonesia sendiri kerawanan pangan masih dirasakan oleh 21 juta jiwa atau 9 % dari populasi.
Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan di sisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi. Hampir setiap tahun, kita disibukkan dengan pro-kontra impor bahan pangan, mulai dari beras, daging sapi, kedelai, hingga bawang merah.
Ada bayak persoalan yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya, data yang digunakan untuk membuat kebijakan yang bersumber dari instansi resmi negara seringkali tidak sinkron satu sama lain. Apalagi pada tataran perumusan dan eksekusi kebijakannya di lapangan.
Pada tahun 2005-2011 produksi beras Indonesia tercatat surplus namun justru pada periode tersebut harga beras nasional terus mengalami kenaikan yang signifikan. Pada 2005 produksi padi nasional mencapai 54,15 juta ton dan pada 2011 jumlahnya menjadi 65,74 ton atau mengalami kenaikan sebesar 21 persen. Data BPS menyebutkan, pada 2005 produksi GKG per kapita sebanyak 244 kilogram atau setara dengan produksi beras sebanyak 152 kg/kapita. Kategori swasembada beras ditetapkan dengan angka konsumsi beras per kapita sebanyak 130 kg. Dengan demikian, pada 2005 dengan jumlah penduduk yang tercatat di BPS sebanyak 221,95 juta jiwa Indonesia sudah surplus beras sebesar 22 kg/kapita. Sedangkan pada 2011, dengan jumlah penduduk 240,78 juta jiwa, produksi GKG per kapita sebanyak 273 kg atau setara dengan 170 kg/kapita. Sehingga, pada 2011 Indonesia surplus beras sebesar 40 kg/kapita.
Sementara itu kemendag menggunakan data harga beras di pasar sebagai cermin dari pasokan beras dalam negeri untuk menentukan Impor. Dan nyatanya, harga merangkak naik dan tidak dijumpai beras di pasar. Bila diasumsikan bahwa kedua data tersebut benar maka terlihat jelas indikasi oligopoli pada struktur pasar beras. Para mafia beras bekerja dibalik kelangkaan beras di pasar. Saat harga pangan internasional murah, para mafia ini menimbun beras hingga ada kelangkaan di pasar yg dapat menjadi alasan pemerintah untuk impor. Di sini, peran dan kontrol pemerintah dinilai kurang memadai.
Komoditi pangan lainnya seperti kedelai sekitar 70 persen kebutuhannya dipasok dari impor dengan jumlah 2 juta ton/ tahun (BPS 2011). Sekitar 90 % impor tersebut berasal dari Amerika Serikat. Apakah negeri kita benar-benar tidak memiliki potensi untuk memproduksi kedelai sendiri secara memadai? Hasil riset Prof Munif Gulamahdi dari IPB di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa kedelai dapat diproduksi di lahan pasang surut dan ternyata produktivitasnya tinggi, yakni 2.75 -3.38 ton per ha. Perlu diketahui bahwa Indonesia memiliki wilayah pasang surut 20,1 juta hektar dan sekitar 9,53 juta hektar di antaranya berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian secara umum. Sementara lahan pasang surut yang berpotensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2,08 juta hektar. Bisa dibayangkan, bila para pengambil kebijakan secara serius menindaklanjuti riset ini, kita bahkan dapat memenuhi kebutuhan kedelai dari lahan kita sendiri. Namun, sayangnya lagi-lagi pemerintah absen dalam membangun ketahanan pangan jangka panjang dan lebih sibuk dengan solusi jangka pendek dan pragmatis.
Persoalan lainnya adalah ketersediaan lahan pertanian kita. Produktivitas lahan di Indonesia sebenarnya tidak buruk, mencapai 5 ton/hektar pada 2009. Angka ini bahkan lebih baik dari Thailand (2.87 ton/hektar), India (3.19 ton/hektar), dan hanya sedikit di bawah Vietnam (5.23 ton/hektar). Namun persoalannya adalah jumlah areal lahan pertanian kita jauh di bawah negara-negara lain. Bila dilihat dari sisi rasio luas lahan pertanian terhadap jumlah penduduk, menurut data FAO tahun 2004 kita hanya memiliki 354 m2/ kapita. Saat ini jumlah tersebut telah turun drastis mengingat maraknya konversi lahan pertanian. Sementara itu, Thailand dan Vietnam memiliki berturut-turut 5226 m2/ kapita dan 960 m2/ kapita. Saat ini petani kita rata-rata hanya mengelola 0.3 sampai 0.5 ha sawah. Jelas, bukan sebuah skala yang efisien untuk pertanian. Dari sini terlihat bahwa lebih urgen untuk meningkatkan jumlah lahan daripada upaya-upaya peningkatan produktivitas seperti bibit unggul, irigasi, pupuk, dan lain-lain meskipun itu juga baik. Ironisnya sementara kita perlu lahan pertanian besar, sejumlah lahan di negeri kita justru banyak menganggur. Saat ini terdapat 7,5 juta ha tanah terlantar dimana 2,1 juta ha di antaranya layak untuk pertanian. Lagi-lagi pemerintah absen dalam kebijakan yang serius mengelola sumberdaya lahan.
Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
«كُلُّ شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ فِيهِ حَقٌّ»
Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya.
Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda:
فَهِيَ لَهُ مَيْتَةً أَحْيَى أَرْضًا مَنْ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab:
«حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ لِمُحْتَجِرٍ لَيْسَ
Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Anas ra. menceritakan:
Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata: “ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda: “sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad).
Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya.[]