Aktivitas Politik Menuju Perubahan Yang Hakiki

[Buletin Cermin Wanita Shalihah edisi 35]

Dalam Kongres Muslimah Indonesia yang digelar pada tanggal 7 – 9 Maret 2014 bertempat di Bogor, Boediono menyatakan bahwa “Tahun pesta demokrasi ini merupakan momentum yang strategis untuk merumuskan peran muslimah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah perkembangan dunia yang sangat dinamis ini” (sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/03/09/220830/Wapres-Boediono-Ingatkan-Peran-Muslimah-Jelang-Pesta-Demokrasi- ). 

Kongres yang bertema “Revitalisasi Peran Muslimah Indonesia dalam Menghadapi Globalisasi “ ini, dihadiri oleh tidak kurang dari empat puluh ormas muslimah. Dalam sambutannya, ketua panitia Kongres mengatakan bahwa, Perempuan adalah instrumen pertama dan utama yang sangat berperan sebagai agen perubahan.  Bahkan salah satu pembicara kongres, yaitu Dr Marwah Daud Ibrahim PhD menyatakan, “Harapan  wanita Indonesia  menjadi pelopor perubahan peradaban terbuka saat ini”. Sumber: http://dunia-islam.pelitaonline.com/news/2014/03/09/kongres-muslimah-diikuti-32-ormas-wanita-islam-se-indonesia#.

Perubahan seperti apa yang perlu dirumuskan oleh kalangan muslimah? Benarkah demokrasi (dengan “pesta”nya (red: pemilu) bisa menjadi jalan perubahan? Apakah  keterlibatan politik perempuan dalam bingkai demokrasi menjanjikan penuntasan penyelesaian masalah perempuan?

Perubahan Bukan Melalui Demokrasi

Demokrasi sebagai jalan perubahan yang hakiki adalah harapan semu. Demokrasi tidak akan bisa melepaskan manusia dari penghambaan kepada manusia –harta-jabatan. Demokrasi bahkan menghilangkan  penghambaan manusia  kepada Sang Pencipta, dengan ketundukan yang total dan ketaatan yang utuh tanpa menghinakan dan mencabut fitrah manusia.

Demokrasi secara akar adalah sistem yang rusak karena melalui aqidah sekularisme, demokrasi telah mencabut hak Allah SWT sebagai pembuat hukum dan pengatur kehidupan. Atas nama demokrasi,  seorang muslim boleh untuk menolak larangan  pelacuran, larangan minuman beralkohol, larangan melaksanakan  riba dan larangan berzina dengan mengatakan bahwa manusia berhak (red: bebas) untuk berpendapat dan berperilaku.  Produk hukum dan UU demokrasi tidak mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, tidak mampu menjaga fitrah dan martabat manusia,  apalagi  melindungi manusia dari kerusakan. Yang terjadi malah memfasilitasi “kemaksiatan dan kejahatan” terus berlangsung atas nama “lokalisasi dan regulasi kebebasan” yang dikeluarkan oleh Lembaga yang Terhormat.

Demokrasi dengan kesombongannya memberi janji-janji palsu akan kesejahteraan dan keadilan bagi manusia padahal secara nyata telah memproklamirkan keberpihakannya kepada kalangan pemilik modal/kapitalis yang serakah dan zhalim.  Contohnya kenaikan “BBM”, secara transparan penguasa mengumbar janji palsu “akan disalurkan untuk orang miskin berupa bantuan sembako, pendidikan dan kesehatan gratis”.  Realitasnya, demokrasi tidak pernah sungguh-sungguh memberikan “layanan gratis” kepada rakyatnya kecuali sekedar “self service”  tebar  kebaikan pada segelintir orang dan membiarkan  mayoritas rakyat menderita.  Rakyat yang menerima bantuan tersebut selamat dari kemiskinan akibat kenaikan BBM? Mereka hanya bisa sekedar makan dan berobat dengan harga murah, jauh dari standar hidup yang layak sebagaimana manusia yang bermartabat. Disisi lain layanan gratis  ini harus ditebus dengan pelekatan predikat miskin yang tertulis secara legal melalui surat keterangan RT setempat.

Dalam bingkai demokrasi, bukan suatu kesalahan bila negara tidak mampu mengurus dan melayani seluruh rakyatnya dalam mendapatkan  seluruh haknya (kebutuhan pokok) dengan baik dengan alasan mengelola negara adalah “tanggung jawab bersama”.  Bahkan tanpa malu-malu, negara dalam bingkai demokrasi meminta kesediaan rakyat untuk berkorban dalam pembangunan melalui pajak, untuk menjalankan roda pemerintahan dan memfasilitasi (red:gaji) para  “penguasa dan pejabat” dengan “kemakmuran yang berlimpah ruah” .

Tidak ada yang gratis bagi demokrasi untuk melayani rakyat, termasuk keluarnya 1 pasal dalam UU harus di tebus dengan limpahan suara mayoritas,  dengan suntikan anggaran yang berlimpah kepada  pihak-pihak yang berwenang dan adanya jaminan bahwa pasal tersebut tidak merugikan kalangan pengusaha/kapitalis lokal maupun import (asing).  Demokrasi tidak akan memberi ruang  bagi Islam dan kaum muslimin bila ingin menerapkan Islam sebagai suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan meniscayakan corporate/kapitalis/pemilik modal dan pelaku kemaksiatan akan terusir dalam kancah kehidupan.  Demokrasi adalah penjaga terpercaya bagai sistem Kapitalisme yang rakus dan zhalim dengan mengusung kebebasan kepemilikan bagi yang kuat dan berkuasa.

Demokrasi telah memberi ruang kepada korporasi/kapital/pemodal asing yang rakus untuk berinvestasi di dalam negeri dengan  membeli murah  SDA yang berlimpah dan segala asset yang berharga bagi suatu negara (BUMN). Selanjutnya untuk mendapatkan kehidupan yang berkualitas, demokrasi memaksa rakyatnya untuk membayar lebih, termasuk dalam hal pemenuhan hak-hak dasar yang seharusnya diperoleh rakyat dengan mudah tanpa memeras kantong.

Masihkah Berharap Aktivitas Politik Dalam Bingkai “Demokrasi” Kendaraan Untuk “Mewujudkan Perubahan Yang Hakiki”?

Politik dalam bingkai demokrasi adalah jalan (thoriqoh) untuk meraih kekuasaan  bagi  yang kuat dan berpengaruh secara modal dan kekuasaan.  Politik dalam demokrasi harus dibayar dengan harga mahal untuk meraih “popularitas” sekalipun minim “kapabilitas”. Selain itu, untuk menang dalam kompetisi pesta demokrasi membutuhkan biaya yang   besar, melebihi kekayaan yang dimiliki, sehingga kebutuhan jalinan kerjasama dengan  kalangan pemodal tidak mungkin dielakkan. Keberhasilan meraih kursi yang hanya berlaku 5 tahun harus dimanfaatkan untuk pengembalian modal plus peningkatkan pundi-pundi kekayaan untuk modal menuju periode 5 tahun berikutnya.  Kapan bisa dengan leluasa dan serius untuk mengurus seluruh urusan rakyatnya dengan baik? Kalau kalah dalam kompetisi terancam bangkrut bahkan menjadi “gila”. Inilah Utopia Demokrasi.

Aktivitas politik dalam bingkai demokrasi  sarat diwarnai dengan permainan kotor yang menghalalkan segala cara untuk sampai pada tujuan.  Individu yang baik, saat terjun dalam “kubangan demokrasi”  tidak akan mempunyai kekuatan yang besar untuk melakukan perubahan secara total, bahkan tidak bisa dielakkan  tergelincir dan ternoda oleh kotoran yang di tebar oleh demokrasi atas nama sistem.  Sebagai bukti, korupsi dalam sistem demokrasi adalah penyakit yang menggurita, tidak hanya di kalangan yang rendah iman dan rakus materi saja yang menjadi korban, namun individu-individu yang bisa jadi bersih, namun tidak bisa terhindar dari korupsi missal dan sistemik. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya berpeluang untuk masuk dalam jeratan gurita korupsi dan kemaksiatan lainnya (perselingkuhan dan  pelanggaran terhadap hukum lainnya ).

Perubahan Hakiki Dengan Aktivitas Politik Yang Hakiki

Perubahan hakiki yang dimaksudkan adalah perubahan secara mendasar dengan fondasi yang kuat dari “Sang Pencipta” untuk meraih derajat kehidupan yang bermartabat dan mensejahterakan seluruh individu tanpa terkecuali.

Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Allah SWT menegaskan hal itu di dalam firman-Nya:

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). (QS. al-Baqarah [2]: 257)

Artinya hanya sistem Islamlah yang bisa menjamin terwujudnya perubahan dan kehidupan yang baik yang diridhai oleh Alllah SWT. Sistem Islam datang dari Pencipta manusia yang paling mengetahui hakikat manusia, apa yang baik dan yang tidak, yang bermanfaat dan yang madarat bagi manusia.

Dengan demikian, jalan perubahan itu adalah dengan menerapkan Islam sebagai sebuah sistem secara menyeluruh dalam  bingkai “Khilafah Islamiyah” suatu sistem yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Perjuangan mewujudkan perubahan hakiki itu tentu saja adalah perjuangan mewujudkan penerapan Islam secara menyeluruh melalui perjuangan politik yang “hakiki”.

Politik Dan Aktivitas Politik Dalam Islam

Politik dalam konsep Islam tidak terbatas pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik pelakunya negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui penerapan hukum, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.

Negara (Khilafah) Islam sebagai pelaku pratis dalam menjalankan politik (pengaturan urusan umat) dalam dan luar negeri. Politik dalam negeri dilaksanakan negara (khilafah) untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri pada seluruh bidang kehidupan(ekonomi, pendidikan, pemerintahan, social budaya, pertahanan dan keamanan, dll). Politik luar negeri dilakukan negara (khilafah)  untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia.

Islam memposisikan kepada penguasa (penentu kebijakan) ataupun rakyat biasa, keduanya memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang sama sekalipun dengan kadar yang berbeda, dalam menyelesaikan seluruh problematika umat  baik yang menimpa laki-laki atau perempuan.  Keseluruhannya dianggap sebagai problematika umat yang harus diselesaikan secara tuntas dengan menjadikan Islam sebagai sudut pandang pemecahan problematika.  Sehingga, ketika kaum muslimin berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.

Allah swt berfirman :

 “ Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam); memerintahkan yangma’ruf dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran(3) : 104)

Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kemakrufan dan mecegah kemungkaran. (QS at-Taubah [9]: 71).

Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Hudzayfah r.a.. juga bersabda :

“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaumMuslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. “(HR ath-Thabrani).

Nash-nash ini menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintah kaum muslim, laki-laki maupun perempuan untuk memperhatikan atau memikirkan urusan umatnya. Keterlibatan perempuan dalam aktivitas ini bukan untuk mendapatkan posisi tertentu dalam masyarakat atau mendulang suar.  Esensi peran politik perempuan adalah pelaksanaan dari kewajibannya yang datang dari Allah SWT dan bentuk tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Perempuan berkontribusi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa dan melakukan aktivitas pencerdasan politik berdasarkan ideologi Islam, kepada kalangan perempuan khususnya dan umat secara keseluruhan. Inilah jalan untuk menghantarkan kepada perubahan yang hakiki. Wallahu A’lam Bi Showab. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*