Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan

JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah berjalan satu bulan.  Itu bisa dikatakan usia yang sangat muda, ibarat manusia baru bayi.  Meski jika mengingat bahwa BPJS Kesehatan adalah transformasi dari PT Askes dengan melebur semua asuransi kesehatan yang tergabung di Askes, Jamsostek, ASABRI, dan Veteran, di tambah dengan Jamkesnas serta Jamkesda, maka tidak bisa dikatakan baru lahir.  Namun, karena perbedaan sistem maka bisa dikatakan bahwa pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan harus dimulai dari baru. Meski dengan pengalaman pelaksanaan asuransi kesehatan dan Jamkesnas/Jamkesda selama ini pelaksanaan JKN seharusnya tidak sama sekali seperti orang yang tidak punya pengalaman sama sekali.

Perkembangan pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan ini kemajuannya bisa dilihat dari sejauh mana perkembangan jumlah peserta dan jumlah faskes (fasilitas kesehatan) yang ikut program.  Data per 6 Februari 2014 telah terdaftar sebanyak 116 juta peserta dengan sekitar 18 ribu faskes. Data terakhir menunjukkan jumlah peserta mandiri adalah 162.201 orang per 15 Januari 2014, dan per 6 Februari 2014 telah meningkat menjadi 474.117 orang.

Sementara faskes yang bekerja sama dengan BPJS per 31 Januari 2014, sekitar 18.764. Purnawarman Basundoro, Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga, dalam konferensi pers yang diadakan di Media Center BPJS Kesehatan, Jl Letjen Suprapto Cempaka Putih, Jakarta, Jumat (7/2/2014) merinci, jumlah faskes yang bekerja sama dengan BPJS itu terdiri dari 17.014 faskes tingkat pertama yaitu puskesmas, dokter umum, klinik pratama, dan faskes tingkat pertama milik TNI/Polri. Sementara sisanya yaitu 1.750 adalah faskes tingkat kedua, di antaranya RS pemerintah, RS swasta, dan RS milik TNI/Polri. (detikHealth, 7/2).  Secara lebih rinci per 1 Februari Sebanyak 9.133 puskesmas, 3.715 dokter umum, 620 praktek dokter gigi, 1.724 klinik swasta, 799 klinik TNI, 558 klinik Polri, dan 19 RS Pratama telah bergabung.

Sementara jumlah kapitasi yang dibayarkan BPJS kepada faskes selama Januari mencapai lebih dari Rp 629 miliar. Jumlah ini sudah sesuai dengan jumlah peserta yang sudah dipetakan dan sesuai domisili faskes yang sebelumnya sudah peserta isi di formulir pendaftaran. Menurut Purnawarman, kapitasi yang dibayarkan kepada faskes tingkat pertama, di antaranya puskesmas, dokter praktek, dan klinik sudah termasuk pembayaran biaya pelayanan yang dilakukan oleh jejaring faskes. Dengan begitu, masyarakat tidak akan dimintakan biaya untuk bisa mendapatkan pelayanan di faskes tingkat pertama seperti dalam hal administrasi pelayanan; pelayanan promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; tindakan medis non spesialistik; pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; dan pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.

Di sisi lain, satu bulan perjalanan BPJS Kesehatan ini juga telah memunculkan berbagai masalah.  Diantaranya, ada sejumlah faskes yang menarik diri dari kerjasama dengan BPJS, padahal baru sebentar.  Bahkan ada faskes, RS St. Antonius Pontianak, menarik diri setelah 4 hari kerjasama dengan BPJS.  Sejumlah faskes yang menarik diri itu disebabkan berbagai sebab dan alasan.

Masalah lainnya adalah tidak meratanya pemahaman tentang prosedur BPJS dan JKN pada pegawai BPJS sendiri.  Sehingga tak jarang dijumpai praktek yang berbeda.  Pemahaman tentang BPJS lebih minim lagi di berbagai faskes termasuk yang bekerjasama dengan BPJS.  Sehingga ada permintaan agar BPJS menempatkan pegawainya di puskesmas-puskesmas.

Masalah lain yang cukup santer adalah model pembayaran BPJS dalam JKN ini, baik pada model kapitasi maupun model INA-CBGs.  Rata-rata dikeluhkan bahwa tingkat pembayaran per unit cost masih jauh dibawah real cost yang dikeluarkan oleh faskes, terutama faskes swasta.  Akibatnya, di berbagai faskes harus menanggung “kerugian”.  Menurut info dari pegawai internal sebuah RS rujukan di Bandung, selama dua minggu ikut kerja sama dengan program JKN, RS tersebut harus menanggung kerugian lebih dari 400 juta.

 

Sistem Pelayanan Kesehatan di Dunia

Sistem pelayanan kesehatan nasional yang dipraktekkan di dunia secara umum bisa dikategorikan menjadi empat:

1. Beveridge-system: sistem yang didanai oleh negara dari pajak, contohnya Inggris dan negara persemakmuran termasuk Australia; Denmark, Irlandia, Spanyol, Portugal, Finlandia, Swedia, Norwegia, Italy.  Malaysia termasuk mengadopsi sistem ini disertai penyesuaian.

2. Semashko-system: sistem terkontrol penuh oleh negara.  Sistem ini awalnya dipakai di Uni Soviet, lalu diadopsi oleh negara-negara komunis-sosialis seperti Polandia, Cuba dsb.

2. Bismarck-system: sistem jaminan kesehatan berbasis pada asuransi sosial.  Sistem ini pertama kali dikembangkan di Jerman.  Dan Jerman butuh 100 tahun sejak 1883 sampai sistem itu dianggap sempurna di Jerman.  Sistem ini juga dipakai di Korsel dan Taiwan.  Indonesia juga mengadopsi model ini.  Sebagian negara juga memberlakukan sistem ini dengan sedikit perubahan dari sisi pembayaran, dimana semua rakyat membayar jumlah yang sama tanpa memperhatikan tingkat penghasilan, artinya tidak ada pengkelasan, dan semua orang mendapat pelayanan kesehatan yang sama.  Ini seperti yang diadopsi di Swiss dan hal mirip diterapkan di Belanda.

3. Market-oriented systems: sistem yang berorientasi pasar seperti yang digunakan di AS.  Meski di AS akhir-akhir ini juga mulai ditambal dengan mengadopsi pembiayaan oleh negara melalui Obama care, yang sering disebut social health care.  Yaitu premi untuk orang-orang berpenghasilan rendah dibayar oleh negara.  Tetapi sistem pelayanan tetap melalui fasilitas kesehatan yang market oriented.

Keempat model itu menurut seorang ahli sosiologi Belanda, Abram de Swaan, merupakan sistem untuk mengkompensasi resiko akibat dari kebangkitan kapitalisme industri. Ia menyatakan, “sementara itu, welfare state (negara kesejahteraan) telah menjadi sistem raksasa dari institusi kolektif berbasis hukum untuk mengkompensasi dampak eksternal resiko dan defisit.”

Selanjutnya, sistem itu mengalami perubahan baik menjadi lebih kental atau menjadi kurang kental sifatnya yang market oriented dan pendanaan layanan kesehatan oleh individu.  Hal itu didasari oleh dua alasan utama (Thadeus Pato, Health systems in Europe – changes and resistance): Pertama, kurangnya dana pemerintah akibat krisis yang berkepanjangan.  Masalah itu diatasi dengan melakukan privatisasi dan mengurangi sistem layanan publik langsung oleh negara termasuk mengurangi subsidi. Kedua, menurun drastisnya keuntungan dan terjadinya krisis modal jangka panjang, akhirnya kapital berusaha menginvasi ruang publik, yang selama ini tertutup.  Diantaranya dengan mengubah layanan kesehatan dari public service menjadi komoditas sederhana.

 

Liberalisasi Health Care

Secara global pelayanan kesehatan diarahkan untuk dilepaskan dari tanggung jawab negara secara langsung.  Pelayanan kesehatan diarahkan untuk diliberalisasai dan diprivatisasi.

Hal itu bermula dengan dimasukkannya pelayanan kesehatan sebagai salah satu layanan dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdagangan General Agreements Trade and Services (GATS), tahun 1994.  Artinya, layanan kesehatan dipandang sebagai bagian dari komoditas, dan dikeluarkan dari posisi sebagai public services.

Berikutnya, secara global dunia diarahkan untuk mengadopsi salah satu dari dua sistem pelayanan kesehatan di atas, yaitu model beveridge system atau bismarck system. Upaya itu dilakukan melalui tangan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada WHA (World Health Assembly) ke 58, tahun 2005, Negara-Negara anggota WHO sepakat mengadopsi konsep UHC -Universal Health Coverage- (Anonim.  World Health Assembly concludes: adopts key resolutions affecting global public health.  25 Mei 2005.  http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2005/pr_wha06/en/)Yang dianggap sebagai model pembiayaan kesehatan terbaik yaitu pembiayaan model State funded system  (pembiayaan dari pajak)/beveridge system, seperti  Inggris, dan Negara Anggota persemakmuran; dan  Social Health Insurance, dari premi asuransi sosial/model bismarck, seperti  Jerman, Taiwan, dan Korea Selatan (Riyarto,S. Tren Pembiayaan di Indonesia: Model Bismarckian atau Beveridge?  Hand out.).  Mayoritas anggota WHO memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan UHC itu.  Hal itu terus dipropagandakan dan didorong. Pada WHA ke-65 di Jenewa, 21-26 Mei 2012, dalam press release yang tertanggal 26 Mei 2012, dinyatakan, “Multiple Member States supported the concept of universal health coverage. ‘Universal health coverage is the single most powerful concept that public health has to offer.(Anonim.  65th World Health Assembly closes with new global health measures.  Release 26 MAY 2012.  GENEVA.  http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2012).

Dalam konteks ini maka negara hanya diperankan sebagai regulator dan fasilitator.  Sementara pelayanan kesehatan diserahkan kepada swasta atau semi-swasta (kuasi korporasi) dalam bentuk badan publik.  Sementara pengorganisasian sistem jaminan kesehatan dan pengelolaan dananya diserahkan kepada lembaga baru yang bersifat setengah swasta (kuasi korporasi).  Semua itu dibingkai dengan kerangka pikiran berkaitan global good governance (tata kelola yang baik) dimana ide dasarnya adalah tata kelola yang baik akan bisa dijalankan ketika pelayanan tidak dikelola dan ditangani langsung oleh lembaga negara melainkan diserahkan kepada swasta atau badan lain selain negara. Hal itu diantaranya diungkapkan oleh tulisan Asih dan Miroslaw, dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN, bahwa : “Ide dasar jaminan kesehatan sosial (Indonesia, JKN – pen.) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial” (Asih Eka Putri dan Miroslow Manicki. Pembangunan  Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana  Jaminan Kesehatan Sosial Dapat Membuat Perubahan?.  German Technical Cooporation, Social Health Insurance Project Indonesia). Jakarta.  (Makalah). www.sjsn.menkokesra.go.id.)

Pendekatan yang diadopsi di Indonesia adalah bismarck system atau sistem asuransi sosial.  Dengan sistem ini, negara masih bisa mengklaim memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, meski senyatanya tidak.

Sistem ini pada dasarnya adalah pelepasan tanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan dari pundak negara.  Dan berikutnya mengalihkan tanggungjawab itu ke pundak rakyat. Negara cukup membentuk badan atau lembaga yang mengelola saling menanggung pelayanan kesehatan oleh sesama rakyat itu, disamping mengelola (menginvestasikan) dana yang terkumpul dari masyarakat melalui instrumen investasi.  Maka pada dasarnya, asuransi sosial kesehatan ini adalah bentuk privatisasi semu pelayanan kesehatan.  Disebut privatisasi sebab inti privatisasi adalah pelepasan tanggung jawab dari negara dan mengalihkannya ke lembaga atau pihak selain negara.  Dan ini yang terjadi, sebab pelayanan kesehatan melalui skema asuransi sosial itu tidak lagi dikelola oleh negara secara langsung, tetapi diserahkan kepada badan penyelenggara yang bukan badan negara dan keuangannya juga dipisahkan dari keuangan negara.  Disebut semu, sebab badan yang diserahi tanggung jawab itu bukan badan swasta murni atau bukan lembaga bisnis swasta, melainkan badan publik.  Tetapi meski berbentuk badan publik, namun DNA dan pola pikirnya mengadopsi DNA dan pola pikir lembaga bisnis.

Dengan demikian nafas dari JKN ini adalah privatisasi pelayanan kesehatan.  Ini tidak lain adalah melengkapi liberalisasi sektor kesehatan yang sudah digalakkan sejak tahun 90-an melalui lembaga-lembaga dunia.  Ironinya, negeri ini justru dengan sukarela bahkan bangga ikut dalam arus liberalisasi sektor kesehatan itu.  Padahal dengan itu, rakyat lah yang jadi korban dan tertimpa beban.  Karena itu, JKN ini harus dinalar ulang.  Bahkan lebih dari itu harus diganti total.  Seharusnya, pelayanan kesehatan itu adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban negara.  Dan itu mesti diberikan kepada seluruh rakyat tanpa memandang tingkat ekonomi dan kemampuan bayar, juga tanpa pungutan dalam bentuk dan sebutan apapun.  Pelayanan kesehatan itu harus dijamin oleh negara, diberikan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali sesuai dengan kebutuhan medisnya.  Jika seperti itu barulah bisa dikatakan benar itu sebagai jaminan kesehatan.  Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[Yahya A]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*