Jokowi dan Jalan Menuju Indonesia Hebat

Oleh: Ali Mustofa Akbar, Kantor Media HTI Soloraya

Seperti diketahui, tak lama lagi negara ini segera menggelar ritual lima tahunan pesta demokrasi. Negara pun sedang berkonsentrasi ekstra guna menyukseskan pemilu (pemilihan umum) ini. Pemilu nantinya bertujuan memilih orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif, maupun kursi presiden dan wakilnya.

Persaingan menuju kursi Presiden kini tampak memanas pasca penunjukan Jokowi sebagai Capres pilihan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Parpol yang mengusung slogan politik “Indonesia hebat” ini telah resmi mendeklarasikan Jokowi sebagai Capres. Keputusan pencapresan Jokowi ini ditetapkan langsung oleh ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, pada hari Jum’at (14/03). “Saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk jadi capres. Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan,” Ucap Jokowi sebagaimana dilansir detik.com (14/03).

Joko Widodo begitu nama lengkap pria ndeso kelahiran Solo ini. Namanya semakin mentereng di belantika politik nasional setelah ia disebut- sebut sebagai salah satu kepala daerah terbaik dunia, meski sejatinya prestasinya masih perlu diuji lagi.

Banyak masyarakat menaruh ekspektasi tinggi pada sosok yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta ini. Perawakannya yang kurus dan penampilannya yang selalu sederhana semakin menarik simpati masyarakat. Ia dinilai paling layak memimpin Negara ini. Setidaknya hal itu tercermin dari hasil berbagai survei oleh berbagai lembaga survei, Jokowi acap bertengger di posisi terdepan mengungguli kontestan lain.

Masyarakat boleh berharap, simpatisan pun boleh ngotot menjagokan. Namun pertanyaannya, apakah memang pemimpin seperti ini yang Indonesia butuhkan. Dari sinilah kita perlu mencermati dari berbagai sisi. Baik itu sisi historis, fakta empiris, serta ideologis.

Sejarah telah mencatat negeri ini berkali-kali berganti pemimpin dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu. Mereka semua telah memilih sistem sekulerisme menjadi pedoman bernegara. Tapi hasilnya sama saja, Indonesia terus merana. Sehebat-hebat pemimpin jika tak didukung dengan sistem yang baik, tentu juga tidak akan menjadikan negara dalam kondisi kebaikan.

Eksentrik

Menyoal Jokowi, banyak kalangan masih menyangsikan apakah Jokowi benar-benar hebat. Ketika ia menjabat sebagai orang nomor satu di ibukota, permasalahan utama seperti macet dan banjir juga belum ada perubahan signifikan. Pun demikian dengan prestasinya selama menjabat walikota Solo, bahwa yang terjadi sebetulnya tak seindah dengan apa yang terkesan di permukaan. Misal pada sisi kesejahteraan, berdasarkan data Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Solo justru mencapai sekitar 130 ribu jiwa, hampir dua kali lipat dari data yang dirilis BPS yang hanya sekitar 70 ribu jiwa.

Jokowi juga sempat membuat umat Islam Solo cukup kecewa atas beredarnya informasi terkait kebijakan bantuan pendidikan, dimana Pemkot Solo ternyata memberikan bantuan pendidikan yang begitu jomplang dengan lebih banyak menyalurkan bantuan ke lembaga-lembaga pendidikan umat agama lain dibanding pada lembaga pendidikan Islam yang notabene mayoritas. Uniknya, namannya semakin melambung hanya karena persengketaan dengan Bibit Waluyo, Gubernur Jateng kala itu. Atau Jokowi juga menjadi berita-berita utama media hanya karena mendukung status mobil Esemka yang kini belum jelas juntrungannya.

Eksentrik, prestasi Jokowi yang biasa-biasa saja itu justru membuat sinar pesonanya kian memijar. Di saat belum sanggup membereskan masalah Jakarta sekalipun, elektabilitas Jokowi tetap masih di atas. Seperti ada kekuatan besar di belakangnya. Memang sudah menjadi rahasia umum, Jokowi merupakan “anak emas” jaringan konglomerat China untuk digadang-gadang menjadi Presiden. Pun style kepemimpinan Jokowi yang tampak disukai AS, dimana pada tahun lalu terbukti Jokowi memberikan jalan bagi Kedutaan Besar AS di Jakarta untuk memperbesar gedung kedutaan mereka yang gedung tersebut terindikasi sebagai wahana mata-mata AS di Indonesia.

Tiga Unsur Penting

Apapun itu, saat ini Indonesia membutuhkan seorang pemimpin hebat guna menuju Indonesia hebat sebagaimana slogan politik PDIP. Selain hebat , juga dibutuhkan faktor-faktor penting lain. Apa saja? setidaknya ada tiga unsur penting yang dibutuhkan:

Pertama: pemimpin yang baik. Apa itu standar yang bisa dikatakan pemimpin yang baik ? Pemimpin itu harus memenuhi kriteria hukum syara’. Syaikh Taqiyyudin An-Nabhaniy dalam Ajhizah daulah Al-Khilafah telah menjelaskan syarat In’iqad untuk menjadi pemimpin atau Imam (khalifah): Muslim, Laki-laki, Baligh, berakal atau tidak gila, adil, merdeka, dan mampu memimpin). Seorang pemimpin harus beriman dan bertaqwa. Lebih takut kepada Allah ketimbang Bangsa penjajah, sehingga ia tak mungkin menjalin persahabatan dengan negara muhariban fi’lan semacam Amerika. Ia juga sangat peduli terhadap kondisi rakyatnya.

Kedua: Sistem yang baik. Itulah sistem Islam yang telah terbukti selama berabad-abad memberi kepuasan hati. Sejago apapun pemimpin, niscaya tak bisa berbuat banyak tanpa ditopang sistem yang baik pula. Sekulerisme-demokrasi telah gagal di negri ini, kemana harapan kita jika tidak pada sistem Islam. Penerapan syariah Islam secara kaffah merupakan tuntutan akidah Islam. Disamping itu, sistem yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul ini telah terbukti kehebatannya memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Orang-orang Barat pun mengakui sebagaimana dalam tulisan-tulisan mereka.

Ketiga: Perlu dukungan terhadap sistem dari pihak yang dipimpin (masyarakat). Dibutuhkan kesadaran dari sebagian besar masyarakat, termasuk para tokoh masyarakat dan militer. Tujuannya ialah supaya masyarakat turut mengawal berjalannya sistem Islam. Mengingat seorang pemimpin juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, sehingga dibutuhkan adanya koreksi dari masyarakat. Mengoreksi dan meluruskan penguasa inilah yang disebut seutama-utama jihad oleh Rasulullah Saw.

Faedah lainnya, apabila masih banyak masyarakat yang tidak mendukung, dapat berdampak buruk bagi stabilitas politik nasional. Mengingat massa transisi peralihan sistem kenegaraan sistem Islam (khilafah) dibutuhkan keikhlasan, kesabaran, dan pengorbanan segenap stackholder dalam menghadapi tantangan-tantangan internal maupun eksternal.

Tak sekedar blusukan

Begitulah, Khilafah adalah model sistem kenegaraan terbaik. Sementara Rasulullah Saw dan para khalifah setelah kepemimpinan Beliau Saw juga menjadi tauladan sosok pemimpin hebat. Kini sedang tren adanya istilah politik blusukan. Aktivitas politik ini sejatinya juga telah dilakukan oleh para khalifah. Amirul Mukminin Umar Bin Khatab misalnya, ia sering blusukan malam-malam bahkan terkadang harus melakukan penyamaran, supaya mengetahui bagaimana kondisi rakyatnya lebih dekat.

Pernah suatu malam, khalifah Umar menjumpai seorang rakyatnya yang menanak batu, Hatinya trenyuh, Umar pun langsung bergegas ke Baitul Mal dan memikul sendiri karung gandum untuk diberikan pada rakyatnya itu. Khalifah Umar juga berhasil memberikan kesejahteraan dan ketenteraman pada rakyatnya, Jiwa negarawan Umar juga menurun kepada cucunya, Umar Bin Abdul Aziz, yang juga menjadi khalifah. Pada massa pemerintahannya sampai-sampai tidak ada rakyatnya yang berhak menerima zakat karena sudah ucapkan selamat tinggal kemiskinan. Sungguh mereka telah mewarnai tinta emas peradaban Islam.

Karena itu jika ingin negeri ini menjadi hebat, hendaknya para pemimpin termasuk Jokowi,  meneladani Rasulullah Saw dan para khalifah dalam memimpin negeri. Jangan hanya mengambil bagian sekelumit aktivitas politik mereka apalagi sekedar pencitraan, tanpa meneladani kepemimpinan negara seutuhnya. Terapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan dan segera campakkan demokrasi-sekulerisme. Untuk menuju Indonesia hebat. Monggo sengkuyung marang perjuangan syariah dan khilafah kemawon Pak Jokowi!. Wallahu a’lam.

 


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*