Dalam berbagai tulisan telah diungkap betapa SJSN dan BPJS termasuk di dalamnya JKN ternyata adalah sesuatu yang didiktekan oleh barat. Lalu sejak perancangan didanai oleh barat, diasistensi oleh barat. Bisa dikatakan bidan SJSN dan BPJS termasuk JKN adalah barat. Barat pun terus mengawalnya dan mengasistensinya hingga pada tahap implementasi. Semua itu dilakukan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, GIZ sebuah badan kerjasama pembangunan Jerman dan berbagai organisasi dan LSM. Dana yang digelontorkan dalam bentuk utang dengan berbagai judulnya mencapai miliaran dolar.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa asing sampai seperti itu terkait UU SJSN dan BPJS termasuk JKN? Yang jelas hal itu memang bagian dari misi ideologis mereka agar negara-negara di dunia makin total menerapkan kapitalisme. Di luar itu, jelas ini adalah proyek utang yang disertai bunga, dimana jumlah utang mencapai miliaran dolar. Tentu secara bisnis keuangan, jumlah itu bukan jumlah kecil.
Namun di luar kedua itu, ada kepentingan besar di balik SJSN dan BPJS, yaitu kepentingan bisnis. Secara tampak luar, asuransi sosial SJSN termasuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditampakkan seolah itu untuk kepentingan rakyat. Padahal dari pelaksanaan asuransi sosial itu akan terkumpul dana sangat besar. Itulah yang sebenarnya menjadi incaran dalam jangka panjang, yaitu menghimpun dana murah untuk disalurkan ke instrumen investasi melalui investasi finansial yang sebagiannya berujung untuk menopang keuangan negara melalui surat utang negara dan bagian lebih besarnya berujung ke para kapitalis melalui berbagai skema investasi finansial di pasar finansial.
Sebagai gambaran, terkait transformasi empat BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES), itu sudah menyangkut dana sekitar 190 triliun, baik dalam bentuk aset korporat maupun aset dana jaminan! Dari 240 juta rakyat Indonesia, baru sebagian kecil saja yang ikut program empat BUMN itu. Padahal SJSN itu mewajibkan seluruh rakyat jadi peserta asuransi sosial, khususnya asuransi sosial kesehatan. Bisa dibayangkan, berapa besar dana yang akan dikumpulkan oleh BPJS.
Dari asuransi sosial kesehatan yang dimulai awal tahun 2014 ini, dari iuran peserta yang termasuk penerima bantuan iuran sebanyak 86,4 juta orang total dana yang akan disetor pemerintah dari APBN ke BPJS kesehatan sebesar Rp 19,6 triliun rupiah. Jumlah itu masih ditambah dengan iuran dari para pekerja termasuk PNS, TNI dan Polri serta pensiunan dan veteran. Dan ditambah lagi dengan iuran pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, yang ditetapkan iurannya per bulan sebesar Rp. 25.500 per jiwa (mendapat layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah mereka kelompok ketiga ini mencapai 115 juta orang lebih. Pada tahun 2019 nanti, jika diasumsikan jumlah mereka tetap (kemungkinan besar bertambah), besarnya iuran juga tetap, dan semuanya membayar iuran untuk rawat inap kelas 3 yaitu Rp. 25.500 per orang maka akan terkumpul dana iuran Rp. 2,9325 triliun per bulan atau Rp. 35,19 triliun per tahun.
Yang jelas, total dana iuran yang bisa terkumpul akan sangat besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun.
Apakah jumlah dana sebesar itu akan habis untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta asuransi sosial nasional kesehatan atau JKN? Jawabannya jelas tidak. Sebab seperti diungkapkan oleh Fachmi Idris berdasarkan bukti yang didapatkan dari sejumlah negara, nyatanya setiap bulan dari 1.000 penduduk, sekitar 250 orang berobat atau 25%. Dari jumlah itu, hanya 21 atau 2,1 % orang yang harus dirujuk untuk rawat jalan dan hanya 9 orang atau 0,9 % dirawat inap di RS daerah. Hanya 1 orang atau 0,1 % dirujuk ke pusat rujukan nasional. Itu artinya, jumlah penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan ternyata hanya 25%, dan dari jumlah itu hanya 2,1 % yang harus dirujuk untuk rawat jalan, hanya 0,9 persen yang harus rawat inap dan hanya 0,1 % yang harus dirujuk ke pusat rujukan nasional.
Jika diasumsikan dengan asumsi tinggi bahwa setengah dari dana terkumpul itu habis untuk operasional pelayanan kesehatan, itu artinya tiap tahun masih ada sisa dana sekitar Rp. 40 triliun. Pada tahun ke-5 bisa akumulasi sisa dana iuran mencapai lebih sedikitnya 200 triliun, tahun ke-15 lebih sedikitnya Rp 600 triliun. Jumlah ini makin lama akan makin besar. Ini baru dari asuransi sosial kesehatan. Padahal masih ada empat asuransi sosial lainnya yaitu, asuransi sosial jaminan hari tua, asuransi sosial kecelakaan kerja, asuransi sosial kematian dan asuransi sosial pensiun. Semua itu adalah sumber dana yang sangat besar.
Di dalam draft White Paper SJSN yang disusun oleh Depkeu bersama ADB dan Mr. Mitchell Wiener ahli asuransi sosial Bank Dunia disebutkan, “Program Jaminan Hari Tua SJSN akan menghimpun aset dalam jumlah yang sangat besar. Dengan asumsi besar iuran JHT 3% dari upah dimana total upah sebesar 35% PDB maka aset rogram Jaminan Hari Tua dinyatakan dalam persen PDB pada tahun ke-5 sebesar 5%, tahun ke-10 sebesar 9,6%, tahun ke-15 sebesar 13,6 % dan tahun ke-20 sebesar 17,0%.”
Menurut perkiraan Standard Chartered Research dalam laporannya “The Super-Cycle Report” pada 15 November 2010, PDB Indonesia tahun 2020 diperkiraan akan mencapai US$ 3,2 triliun atau sekitar Rp 32.000 triliun (kurs Rp 10.000) dan pada 2030 mencapai US$ 9,3 triliun atau sekitar Rp 93.000 triliun. Artinya perkiraan total dana Jaminan Hari Tua tahun 2020 bisa mencapai Rp 1.600 triliun (5% PDB) dan tahun 2030 mencapai Rp 12.648 triliun (13% PDB). Itu merupakan jumlah dana yang sangat sangat besar. Dana inilah yang menjadi incaran.
Lalu dana sangat sangat besar itu diapakan? Jawabannya adalah diinvestasikan dalam berbagai instrumen investasi di pasar finansial. Hal itu jelas dinyatakan di UU SJSN dan UU BPJS. Pasal 47 ayat 1 UU SJSN menyatakan, “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai”. Pasal 11.b UU BPJS: “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.”
Dana itu diinvestasikan dalam bentuk apa dan dimana? Tentu dalam bentuk investasi finansial di pasar finansial. Bisa dalam bentuk Surat Utang Negara RI atau surat utang negara barat, deposito perbankan baik on call atau berjangka, obligasi korporasi, dan surat-surat berharga lainnya. Dengan begitu, maka dana sangat-sangat besar itu akan terserap oleh negara termasuk negara barat terutama AS dan Eropa yang sedang terpuruk, perbankan BUMN dan perbankan dalam negeri juga bank asing, perusahaan-perusahaan finansial dalam negeri dan juga perusahaan finansial asing dan terutama tentu saja AS dan Eropa dan korporasi terutama korporasi besar barat (AS dan Eropa).
Di AS, dana jaminan sosial pekerja dihimpun dalam Social Security Trust Fund dan diinvestasikan pada surat utang pemerintah AS (nilanya US$ 2,6 triliun dari US$ 14,3 triliun (18%). Kantor berita Associated Press menuliskan bahwa utang AS yang sebesar US$ 14,3 triliun diantaranya US$ 4,6 triliun (32,17%) dari dalam negeri, dan hampir semua berasal dari penggunaan sementara penerimaan Jaminan Keamanan Sosial (Social Security Revenues). Penerimaan dari sektor ini tidak langsung dialokasikan ke pembayaran jaminan sosial, tetapi ditumpuk di pos tertentu. Dana-dana ini dipakai sementara untuk membiayai defisit anggaran pemerintah AS, dan tetap dianggap utang (Kompas.com, 8/8/2011).
Kalau selama ini dipropagandakan seolah-olah dana Asuransi Sosial itu akan aman, dan jikapun diinvestasikan pasti aman dan untung, itu hanya propaganda kosong. Faktanya, investasi finansial bisa rugi. Jika terjadi krisis finansial yang makin sering terjadi, investasi finansial bisa saja lenyap, menguap begitu saja tanpa bekas. Pada krisis finansial yang terjadi sejak tahun 2008, ribuan triliun dana investasi lenyap termasuk yang berasal dari dana asuransi sosial, terutama di AS.
Sialnya, jika hal itu terjadi maka sangat sulit diusut oleh aparat penegak hukum termasuk KPK. Sebab BPJS bukan lembaga negara dan uangnya bukan berasal dari uang negara (APBN) melainkan dari iuran peserta yang diwajibkan UU menjadi peserta. Karena tidak berasal dari uang negara, maka akan sangat sulit bahkan hampir mustahil dijerat dengan tuduhan merugikan keuangan negara, hal itu seperti dalam kasus Century. Itulah yang terjadi di dunia. Di AS Warren Buffet bersama Greenberg, Boss AIG (American International Group ) perusahaan Asuransi Sosial terbesar di AS, tahun 2008 membuat AIG bankrut dalam transaksi pasar uang yang dipicu dafault nya Lehman Brothers. Sampai kini keduanya tak tersentuh hukum. Sebab AIG bukanlah asset negara. Jadi yang berlaku adalah hukum pasar, free entry free fall. Sebelumnya tahun 1990-an, ada skandal Long Term Investment Manajemen di AS yang melibatkan dana ratusan juta dollar asuransi pensiun. Solomon sebagai pencipta skandal tidak tersentuh hukum. Malah pemerintah AS membail-outnya dengan skema merger bersama Smith Barney. Masih banyak lagi daftar hitam bagaimana pengusaha dan penguasa menjadikan dana asuransi sosial sebagai bahan bancakan.
Begitu pula jika nanti terjadi pada BPJS, dan kemungkinan itu jelas ada. Jika investasi BPJS di pasar finansial yang berasal dari Dana Jaminan Sosial yang jumlahnya sangat-sangat besar satu saat lenyap, maka para pejabat BPJS akan sangat sulit tersentuh hukum. Lalu bagaimana dengan BPJSnya sendiri? Dalam kondisi itu, Pemerintah wajib bertindak menyelamatkan BPJS, yang artinya wajib memberi talangan kepada BPJS. Ini jelas disebutkan di UU BPJS Pasal 56 Ayat 2 dan 3. Dan jika dana APBN tidak cukup, harus dicari cara penyelamatan itu. Salah satu cara adalah peningkatan pajak. Atau diterbitkan Surat Utang dan dengan itu skandal BLBI bisa akan terulang lagi.
Inilah sesungguhnya yang diincar oleh barat. Dengan SJSN dan BPJS sumber dana investasi murah yang sangat sangat besar bisa dengan mudah dihimpun. Lalu dana sangat sangat besar itu dihisab oleh pasar finansial. Yang banyak menikmati secara langsung adalah perbankan, perusahaan finansial global, Asset management, Securities agent, dan di belakang semua itu adalah para kapitalis. Jika investasi dengan Dana Jaminan Sosial itu lenyap, para pejabat BPJS sangat sulit tersentuh hukum, dan negara wajib menyelamatkan BPJS tentu dengan uang negara yaitu uang rakyat. Jelas sekali yang untung besar adalah perusahaan finansial dan para kapitalis, sementara rakyat justru buntung besar. Itulah hasil dari UU SJSN dan BPJS yang dibidani oleh asing (ADB), dan hal itu besar kemungkinan nanti terjadi.
Sebagian manfaat dari asuransi itu memang bisa didapatkan oleh peserta, khususnya jaminan hari tua, asuransi pensiun dan asuransi kematian. Sementara asuransi yang lain bisa saja tidak atau jarang didapatkan manfaatnya yaitu asuransi sosial kesehatan, jika orang tidak pernah atau jarang sakit hingga memerlukan pelayanan kesehatan. Bisa jadi pula ada asuransi sosial yang tidak pernah dirasakan manfaatnya yaitu asuransi sosial kecelakaan kerja, jika ternyata tidak terjadi kecelakaan kerja hingga pensiun.
Melihat uraian di atas, maka SJSN dan BPJS sebagai pelaksananya menjadi mesin penghisapan dana rakyat (baca pemalakan rakyat) atas nama UU. Rakyat disuruh terus bekerja dan membayar iuran asuransi sosial. Dana jaminan sosial yang terkumpul pada akhirnya akan dihisap oleh negara termasuk negara barat dan oleh korporasi termasuk korporasi barat terutama di sektor finansial. Inilah pemalakan rakyat Indonesia secara sistematis atas nama undang-undang. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS DPP HTI]