Politik Figuritas

Andri Saputra, Politikus Nonparlemen
Terjawab sudah teka teki siapa yang bakal diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjungan (PDIP) sebagai capres pada pilpres September mendatang. Sebagaimana diprediksikan banyak pihak, PDIP melalui Ketua Umum Megawati Soekarnoputri secara resmi telah memberi mandat kepada Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) sebagai kandidat capres PDIP pada Jumat (14/3). Jokowi sendiri secara terbuka menyatakan siap menerima amanat partai moncong putih untuk bertarung dalam pilpres mendatang.
Majunya Jokowi sebagai capres PDIP tak pelak menjadikan suhu politik jelang pemilu legislatif (pileg) pada April mendatang semakin hangat. Tak pelak, kehadiran Jokowi menambah panjang daftar capres dari sejumlah partai yang sudah lebih dulu mendeklarasikan diri. Ada Aburizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra dan Wiranto yang diusung Hanura. Bagaimanapun juga, pendeklarasian Jokowi sebagai capres lebih awal atau sebelum pileg bukan tanpa sebab. Hal ini ditempuh sebagai strategi untuk mengangkat elektabilitas (tingkat keterpilihan) partai agar mampu panen suara dalam pileg pada April mendatang. “Ini sebagai momentum dan bagian daripada strategi dengan cermat dipikirkan dan dilihat oleh Bu Mega maka waktu yang tepat adalah Jumat kemarin.
Penunjukan Jokowi sebagai caon presiden untuk menaikkan elektabilitas partai,” kata Seken PDIP Tjahjo Kumolo saat menghadiri deklarasi kampanye berintegritas pemilu 2014 di pelataran Monas, Jakarta, Sabtu (antara.com). Lewat penetapan Jokowi sebagai capres, PDIP berharap tercipta jokowi effect dalam bentuk  perolehan suara yang signifikan hingga mencapai target suara nasional sebesar 27 %.  Jika target ini tercapai, maka rencana PDIP untuk mengusung capres-cawapres dari internal partai bisa dipastikan berjalan mulus tanpa harus berkoalisi.
Boleh dikata, PDIP sedang berjudi dengan memasang Jokowi sebagai kartu truf. Nasib PDIP ke depan apakah akan keluar sebagai pemenang atau justru kembali menjadi pecundang kini terletak di tangan Jokowi. Begitu juga citra partai sangat ditentukan sejauh mana kiprah dan kinerja dari seorang Jokowi dalam menjaga reputasi sebagai pemimpin wong cilik idaman rakyat. Inilah yang disebut sebagai politik figuritas dimana elektabilitas partai sangat bergantung oleh sosok personal/tokoh sentra dalam partai tersebut. Selain PDIP, Politik figuritas juga nampak dari ketergantungan Partai Demokrat terhadap sosok SBY dan Gerindra yang ditopang oleh pesona Prabowo selaku ketua umum.
Meski berbekal status sebagai partai opisisi nasionalis, pengusung ideologi marhaenisme dan identik dengan citra sebagai partai wong cilik, rupanya tak jua membuat PDIP percaya diri untuk mencari tokoh lain atau setidaknya menunda pencapresan Jokowi hingga pileg April mendatan usai.
Hal ini mengindikasikan ideologi dan mesin partai sudah tidak mampu bekerja secara efektif menjaring kekuatan pemilih di masyarakat. Penyebabnya sama. PDIP sebagaimana partai partai yang lain telah terseret pada pragmatisme politik akut yang berorientasi pada asas manfaat dan kepentingan politik jangka pendek. Akibatnya, PDIP mengalami krisis kader, krisis identitas dan tak sedikit kader partai yang duduk di legislatif atau eksekutif tersandung kasus korupsi.
Hal ini memunculkan kekecewaan dan distrust publik kepada partai. Sehingga, ketika ada satu dua kader partai yang memiliki rekam jejak bersih, kinerja yang memuaskan, disukai publik dan memiliki integritas seperti sosok Jokowi, maka menjadi modal beharga bagi partai untuk  dijadikan sebagai tameng dan bintang iklan guna menutupi catatan buruk partai selama ini. Dari sisi hitungan politik, mengusung Jokowi sebagai capres merupakan solusi praktis dan jitu untuk mengangkat citra partai yang turut terpuruk karena ulah sejumlah kader yang tersandung kasus korupsi. Sayangnya, Partai Demokrat tidak memiliki sosok serupa yang dianggap mampu memperbaiki citra partai.
Alhasil, dalam sejumlah survey, diprediksikan perolehan suara partai berlambang mercy pada pemilu 2014 anjlok hingga dibawah 10 %. Harus diakui,  politik figuritas terbukti ampuh dalam mendongrak suara partai dalam setiap pemilu. Menurut Direktur Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda menyebut figur masih jadi faktor utama bagi para pemilih. Figur juga akan mendongkrak tingkat keterpilihan (elektabilitas) partai politik. Pemilu 2004 dan 2009 menjadi contoh pembuktian figur mendorong suara parpol. Saat itu faktor Susilo Bambang Yudhoyono bisa membawa Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009. (detiknews.com).
Namun, politik figuritas bukan tanpa masalah. Pada awalnya, partai yang menjalankan politik figuritas menciptakan visualisasi (perwujudan) nilai nilai ideal partai ke dalam sosok kader yang dianggap representatif. Sehingga, ketika orang ingin mengenal apa visi, misi dan nilai nilai perjuangan PDIP serta bagaimana kiprah selama ini, maka lihatlah sosok Jokowi. Kira kira begitu.
Begitu juga, ketika publilk ingin mengetahui gagasan gagasan Partai Demokrat, maka tengoklah sepak terjang Presiden SBY. Justru pada titik ini masalah muncul. Pertama, politik figuritas menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap tokoh sentral/individu yang menjadi anggota partai. Ketika sosok sentral tersebut tiba tiba mundur dari panggung politik atau pindah perahu ke partai lain karena suatu sebab tertentu, maka sejak detik itu partai akan kehilangan kekuatan dan pengaruh di masyarakat.
Kinerja para kader yang duduk di eksekutif dan legislatif –meski memuaskan –  menjadi tidak bernilai karena selama ini tertutupi oleh pesona sang tokoh sentral. Partai harus kembali berjuang dari nol untuk membangun citra dan kekuatan politik di tengah tengah masyarakat lewat usaha melelahkan serta memakan waktu yang lama. Kedua, politik figuritas menciptakan kesadaran irasional. Para pemilih yang mendukung sang tokoh sentral lebih didorong oleh pesona sang tokoh dan hasil pencitraan oleh media melalui iklan atau pemberitaan. Para pemilih menjadi abai dan tidak terlalu mempersoalkan gagasan/ide yang diusung oleh si calon. Padahal, selain kapabilitas dan popularitas,  dalam menjalankan sistem politik demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat secara riil memerlukan oleh gagasan/ide yang cemerlang. Ketika nanti memimpin misalnya, kita perlu tau bagaimana konsep politik sang calon dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dan bebas korupsi.
Dalam bidang ekonomi, bagaimana cara mewujudkan kedaulatan ekonomi, menghentikan penjarahan SDA yang melimpah oleh asing dan menghapus berbagai UU liberal yang mensengsarakan rakyat. Dalam bidang hukum, apa langkah sang pemimpin dalam memberantas mafia peradilan, mewujudkan keadilan hukum bagi semua, dan menegakkan hukum yang efektif menekan angka kriminalitas ? dan masih banyak lagi. Gagasan/konsep kehidupan inilah yang akan menentukan baik buruknya tatanan masyarakat yang terbangun nantinya. Apakah lima tahun ke depan negeri ini masih tetap terpuruk atau mampu bangkit dan menjadi negara kuat berdaulat, sangat ditentukan oleh  gagasan kehidupan yang diusung sang pemimpin. Singkat kata, popularitas (elektabilitas) para kandidat hanya efektif untuk menghantarkan ke singasana kekuasaan. Namun, tidak cukup untuk menjawab problematika umat yang begitu kompleks dan sistemik. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama dan masalah pertama yang harus senantiasa di gali dari para calon pemimpin kita baik di eksekutif maupun legislatif.

Ketika berbicara gagasan/sistem kehidupan yang ingin dibangun, maka tidak akan lepas dari nilai nilai dasar perjuangan partai yang disebut ideologi sebagai sumber kebenaran tertinggi partai. Sayangnya, kata ideologi kini hanya menjadi formalitas di atas kertas. Terasa hambar dirasakan dan terdengar sumbang untuk didengar.

Ideologi sudah menjadi barang usang yang tak laku dalam alam demokrasi yang mendasarkan kursi kekuasaan pada pilihan rakyat, bukan pada kebenaran ideologi sendiri. Sehingga, agar terpilih menjadi anggota legislatif/menduduki kursi eksekutif, membangun popularitas menjadi hal utama dan pertama yang harus dimiliki oleh para caleg /kandidat pemimpin di negeri ini. Ketika kapabalitas, visi-misi (ideologi), kemampuan intelektual, jiwa sosial dan integritas sudah dimiliki, maka semua itu menjadi tidak berarti tanpa di sempurnakan dengan popularitas.

Dengan membangun popularitas melalui berbagai sarana, si calon yang bermental koruptor bisa dengan mudah terlihat begitu amanah dan si kapitalis yang individualistik tiba tiba menjelma menjadi sosok yang memiliki jiwa sosial tinggi di mata pemilih.  Jadilah negeri ini di pimpin oleh para negarawan bermuka dua dan bermental artis. Mengedepankan pencitraan, berorientasi pada kepentingan pribadi, menumpuk materi (kekayaan) dan menomorduakan pelayanan kepada publik. Hasilnya adalah seperti yang terlihat dan dirasakan bersama. Rakyat menjadi semakin sengsara.

Sementara para wakil rakyat dan para pemimpin bersuka cita tanpa rasa berdosa. Sudah saatnya kita sadar dan menghentikan pembodohan oleh sistem demokrasi yang bobrok. Penting bagi kita menjadi pemilih cerdas dan hanya menjatuhkan pilihan pada partai politik dan para pemimpin yang memiliki visi ideologi paripurna. Sebuah ideologi yang datang dari sang pencipta segala yakni Allah SWT dan terbukti mampu memberikan keadilan bagi semua. Ideologi yang hakiki, bukan sekedar bungkus semata. Itulah ideologi Islam yang termanifestasikan melalui penerapan Syariah Islam dalam institusi politik Khilafah Islamiyah. Insya Allah.

Di muat dalam kolom mimbar harian borneonews, edisi senin, 24 maret 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*