Menjadi Mualaf di Amerika Tidaklah Mudah

Meskipun Will Caldwell dilahirkan, dibesarkan dan berpendidikan perguruan tinggi di Georgia, namun dia merasa tidak nyaman beribadah di sana.

Seperti yang ditulis www.huffingtonpost.com (20/2), perasaan tidak nyaman seperti itu muncul dari pengalaman yang tidak mengenakkan. Suatu malam di  musim panas yang cerah tahun 2007, di sebuah pompa bensin di suatu negara bagian di antara Savannah dan Macon, Caldwell sedang dalam perjalanan pulang ke Saint Simons Island dari Emory University.

Dia baru saja menyelesaikan tahun pertama kuliahnya. Caldwell memasukkan Mini Cooper merahnya  ke rest area. Saat itu matahari mulai terbenam, karena dia telah memeluk agama Islam, itu berarti saatnya menjalankan shalat Maghrib.

Di sebidang tanah kosong di sebelah pompa bensin itu, dia menemukan sebuah sudut, lalu mulai membentang sajadahnya. Setelah takbir, dia mulai melafalkan ayat-ayat suci, berdiri untuk melakukan shalat di rakaat pertama, ruku’, hingga sujud. Saat itu dia melihat dua orang sedang memperhatikannya, diam-diam mengintip dari balik truk mereka.

Caldwell merasa gelisah  dan terpaksa mempercepat shalatnya, melipat sajadah dan kembali ke mobil lalu pergi. Saat dia pergi, dia bisa melihat dari kaca spion belakangnya sebuah mobil polisi masuk ke tempat parkir. Orang-orang yang tadi menatapnya memberi isyarat kepada polisi itu dan menunjuk ke Caldwell. Dia lalu menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang, dia melihat polisi tidak mengikutinya. Namun sejak itu dia mulai berpikir ulang untuk melakukan hal yang sama, shalat di tempat umum di wilayah selatan.

Caldwell orang yang lembut bicaranya. Dia berhenti sejenak untuk berpikir sebelum berbicara dan kadang-kadang berhenti di antara kalimat-kalimatnya ketika berbicara. Dia memakai baju kemeja kotak-kotak, kacamata yang kecil bulat dan kendur, dengan berbingkai kawat. Matanya yang hijau menatap keluar dengan tatapan serius dengan wajah putihnya yang kekuningan.

Siapapun yang bertemu dengannya akan merasa bahwa dia adalah orang baik dan relijius. Mungkin ini justru itulah kesalahannya yang fatal. Setelah tumbuh di Gereja Episkopal, Caldwell menemukan kembali spiritualitas dalam Islam dan memutuskan untuk menjadi mualaf. Sekarang, kurang seratus mil dari tempat dia dibesarkan, orang-orang melihat cara shalat Caldwell sebagai ancaman potensial. Mengapa hal ini terjadi?

“Konteks politik kita sangat penuh dengan retorika anti-Muslim sehingga hampir tidak mungkin, saya katakan demikian, menjadi mualaf tanpa memiliki konsekuensi politik bahkan jika seorang mualaf sama sekali tidak bermaksud melakukan hal itu,” kata Brannon Ingram, seorang profesor studi agama di Universitas Northwestern yang mengkhususkan diri dalam Islam dan tasawuf.

Dalam kondisi maraknya retorika anti Islam, pantas Muslim Amerika kerap mengalami diskriminasi. Pada tahun 2013, Pew Research Center for People & Press Study menemukan fakta berdasarkan hasil surveinya , 45 persen orang Amerika percaya bahwa umat Islam mengalami banyak diskriminasi.

Sentimen negatif tentang Muslim seringkali mengaitkan Islam dengan radikalisme dan terorisme. Ironisnya, retorika anti Islam ini justru dibangun oleh lembaga resmi negara seperti kepolisian. Sebuah dokumen tahun 2007 yang ditulis oleh Departemen Kepolisian New York berjudul “Radikalisasi di Barat: Ancaman di Dalam Negeri”, menjadi salah satu bukti.

Dalam dokumen itu dikatakan ideologi jihadis adalah pendorong yang memotivasi para pemuda dan kaum perempuan, yang lahir atau tinggal di Barat, untuk melaksanakan jihad sendiri melalui tindakan terorisme terhadap negara-negara di mana mereka tinggal.

Karena anggapan khas “Islamophobia “ seperti ini  polisi melakukan pengawasan atas masjid-masjid di New York City dan komunitas Muslim. Polisi memanfaatkan informan, pemetaan lingkungan, foto-foto dan rekaman video. Ketika American Civil Liberties Union menangkap kebijakan ini pada bulan Juni 2013, mereka menggugat NYPD.

Jauh Dari Agama

Pindah agama ke agama apapun tampaknya semakin tidak normal mengingat negara Paman Sam ini semakin menjauh dari agama. Menurut sebuah studi Pew Research, jumlah orang Amerika yang tidak mengafiliasikan dirinya dengan agama terus meningkat. Naik sebesar 5 persen dalam lima tahun terakhir, dari 15,3 persen di 2007 menjadi 19,6 persen di tahun 2012.

Di lain sisi, jumlah Muslim di Amerika Serikat meningkat. Dalam tujuh tahun setelah serangan 11/9 di World Trade Center tahun 2001, populasi Muslim Amerika tumbuh dari 1.104.000 menjadi 1.349.000 berdasarkan sensus tahun 2012. Dan menariknya, Pew Forum on Religion & Public Life menemukan bahwa 40 persen Muslim Amerika justru tidak dibesarkan dengan agama Islam. Tapi mereka menjadi lebih dekat dengan Islam setelah dewasa.

Untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman ini, sebagian mualaf membentuk kelompok-kelompok mereka sendiri. Salah satunya adalah Ta’leef Collective. Kelompok ini didirikan untuk membantu orang yang baru masuk Islam dan calon mualaf. Ta’leef membuka kelas, diskusi dan kelompok pendukung. Kantor pusatnya terletak di Fremont, California. Kelompok ini membuka Cabang Chicago tahun 2012. Ta’leef  memilih menghindari publikasi media karena takut media akan menggambarkan mereka dengan buruk. (rz)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*