HTI Press, Malang. Konsep kedaulatan di tangan rakyat (demokrasi) kufur dan ilusif. “Dikatakan kufur karena manusia dilegalkan membuat hukum padahal yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT,” tegas aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Malang Warih Salim dalam acara Kajian Islam dan Peradaban (KIP) Lowokwaru, Senin (21/3) di Big Burger, Jl Soekarno Hatta, Malang.
Dikatakan ilusif, lanjut Warih, karena, rakyat dimanipulasi supaya tetap beranggapan bahwa kedaulatan milik mereka, padahal sejatinya kedaulatan adalah di tangan para pemilik modal. Karena tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk membuat UU. Maka dipilihlah perwakilannya.
Nah, untuk menjadi wakil maka harus dipilih rakyat. Agar terpilih harus populer. Agar populer harus kampanye. Biaya kampanye mahalnya luar biasa. Maka hanya pemilik modal atau orang yang dibiayai pemodal saja yang dapat melenggang menjadi anggota legislatif mau pun eksekutif. Sehingga UU dan kebijakan yang dibuat mestilah pro pemodal meski pun harus mengorbankan rakyat banyak.
Sebagai bukti empirik, dalam KIP yang bertema Refleksi Perjalanan Demokrasi: Demokrasi untuk Siapa? dievaluasi pula hasil pesta demokrasi 2009. Menurut aktivis HTI Malang M Rifa’i Qomarrudin 29,13 juta rakyat tetap di bawah garis kemiskinan. Utang negara terus membengkak hingga lebih dari Rp 1.991,59 trilyun. Korupsi kian menggila hingga 281dari 528 kepala daerah terkait tindak korupsi. Dekadensi moral meningkat baik pada kalangan remaja, dewasa, maupun orang tua.
Padahal, jelas Rifa’i, rakyat sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar. “Untuk pemilu 2009 saja KPU menghabiskan dana Rp 10,4trilyun, biaya per pilkada rata-rata Rp 40 milyar, belum lagi di tahun 2013 anggaran pembuatan satu RUU mencapai Rp 12 milliar.
Repotnya lagi, bebernya, rakyat disuguhi tontonan para wakil yang bolos atau tertidur saat sidang. Dan lebih malang lagi Undang-Undang yang dihasilkan justru berpihak kepada asing. Rakyat ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga,” pungkasnya.[]Salim/Joy