Ulama adalah salahsatu panutan di dalam masyarakat. ucapannya didengar dan diperhatikan. Di sebagian wilayah di negeri ini, suara dan perintah ulama terkadang lebih ditaati dibanding pejabat negara. Banyak diantara ulama yang memiliki pecinta (muhibbin) dan jamaah hingga puluhan ribu bahkan ratusan ribu, baik pesantren maupun majlis ilmu yang mereka bina. Jamaah dan muhibbin tersebut bisa digerakkan oleh ulama mereka kapan dan kemanapun. Oleh karena itu, tidaklah heran jika menjelang pemilihan umum, april 2014 yang akan datang, banyak para calon legislatif berusaha mendekati para alim ulama. Tentu saja untuk memanfaatkan pengaruhnya. Mereka berharap para ulama itu memberikan fatwa kepada para muhibinnya agar memilih dirinya. Untuk mencapai tujuan itu, biasanya mereka memberikan iming-iming dan janji manis baik disampaikan langsung oleh mulut mereka maupun melalui tim suksesnya.
Melihat realitas diatas, sudah saatnya para alim ulama memiliki kesadaran politik Islam tentang posisi penting dirinya, demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin dan juga dirinya sebagai ulama pewaris Nabi SAW. Ulama bukanlah calo bekerja mengumpulkan penumpang supaya naik kendaraan, lalu ditinggal dan puas dengan mendapat uang recehan sebagai imbalan.
Kesadaran ulama akan makna kekuasaan
Kekuasaan dan jabatan adalah amanah. Oleh karenanya harus dipegang juga oleh orang yang amanah. Amanah sendiri memiliki makna perintah dan larangan Allah SWT berupa hukum-hukum Islam. Allah SWT. berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)
Menurut Ibnu Abbas kata amanah dalam ayat tersebut adalah
الأمانة الفرائض التي افترضها الله على عباده.
kefardhuan yang telah Allah fardhukan kepada hamba-hambaNya.
وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس، الأمانة: الفرائض، عرضها الله على السموات والأرض والجبال، إن أدوها أثابهم. وإن ضيعوها عذبهم
Berkata Ali Ibnu Abi Tholhah dari Ibnu Abbas ra:”Al Amanah adalah kefardhuan, yang ditawarkan Allah SWT kepada langit, bumi dan gunung, jika ditunaikan mendapatkan pahala, jika diabaikan mendapat siksa. (Tafsir at Thobari hal 427)
Pendek kata amanah adalah syariah Allah, hukum-hukum yang Allah SWT turunkan kepada para dan rasulNya, atau syariah Islam bagi umat Nabi Muhammad SAW.
Oleh karenanya, amanah kekuasaan inipun harus diberikan kepada orang yang amanah. Siapa orang yang amanah? orang yang amanah adalah orang muslim yang mau melaksanakan syariah Islam dan terikat dengan hukum-hukumnya.
Orang yang amanah bukanlah orang yang bangga dengan sebutan pluralis, demokratis, liberalis ataupun moderat. Karena semua istilah tersebut mengandung makna sekulerisasi ajaran Islam dari panggung politik dan kekuasaan.
Orang pluralis, demokratis, moderat apalagi liberalis dipastikan tidak mau menerapkan syariat Islam dalam negara. Bahkan mungkin saja menolak dan phobi. Oleh karena itu mereka bukanlah orang-orang amanah, tidak layak memegang kekuasaan mengatur urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، فقال الأعرابي: وكيف إضاعتها يا رسول الله؟! قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فتلك إضاعتها). وفي لفظ ورواية عند البخاري : (إذا أسند الأمر إلى غير أهله).
“Ketika amanah telah disia-siakan maka tunggulah tibanya kiamat” al Arabiy berkata”Bagaimana kesia-siannya itu ya Rasulullah?. Beliau SAW berkata,”Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya” (HR AL Bukhari)
Orang yang amanah adalah orang yang berkomitmen untuk terikat dan melaksanakan hukum syariat Islam. Dia faqih dalam agama serta memiliki skill dan kemampuan pada bidang yang diamanahkan kepadanya.
Kekuasaan yang Menolong
Menjelang Hijrah dari Makkah ke Madinah, Allah SWT mengajarkan doa kepada Rasulullah SAW salahsatunya memohon kekuasaan. Doa tersebut termaktub dalam al Quran Surah al Isra [17] ayat 80
وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
“…dan jadikanlah bagiku kekuasaan yang menolong”
Tentang ayat ini Abu Qotadah berkata,
إن نبي الله صلى الله عليه وسلم، علم ألا طاقة له بهذا الأمر إلا بسلطان، فسأل سلطانًا نصيرًا لكتاب الله، ولحدود الله، ولفرائض الله، ولإقامة دين الله؛ فإن السلطان رحمة من الله جعله بين أظهر عباده، ولولا ذلك لأغار بعضهم على بعض، فأكل شديدهم ضعيفهم.
”Sesungguhnya Rasulullah SAW menyadari bahwa beliau tidak akan bisa mengimplementasikan Islam kecuali dengan kekuasaan. Oleh karena itu, beliau SAW meminta kekuasaan yang bisa menolong (sulthonan nashiro) menerapkan kitabullah, melaksanakan hudud, menunaikan kefardhuan hingga agama Allah SWT bisa tegak. Sesungguhnya kekuasaan (yang menerapkan Islam) adalah rahmat dari Allah SWT yang diberikan kepada hambaNya. Tanpa kekuasaan, sebagian akan menyerang sebagian yang lain, yang kuat akan memakan yang lemah. (Tafsir Ibnu Katsir Hal. 290)
Sementara menurut Imam Hasan al Bashri, kekuasaan itu diperlukan oleh Rasulullah SAW untuk mengalahkan Kerajaan Persia dan Romawi, dua negara adidaya saat itu yang lalim dan dhalim dan menundukkan keduanya pada kekuasaan Islam.
قال الحسن البصري في تفسيرها: وعده ربه لينزعن ملك فارس، وعز (4) فارس، وليجعلنه له، وملك الروم، وعز الروم، وليجعلنه له.
Kekuasaan sejatinya dimiliki untuk mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hukum Islam. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Khalifah Abu Bakar ash Shidiq Radhiyallahu ‘anhu:
إن الله لَيَزَع بالسلطان ما لا يَزَعُ بالقرآن
“Sesungguhnya Allah akan mencegah dengan kekuasaan apa-apa yang tidak bisa dicegah dengan al Quran”
Dari penjelasan diatas, jelas kekuasaan diraih hanya untuk menerapkan hukum Islam saja, menolong agama Allah dan menghilangkan kedhaliman yang dilakukan oleh negara-negara adidaya penjajah seperti Amerika hari ini. Menyelamatkan darah umat Islam dari kebrutalan orang-orang kafir seperti di Palestina, Miyanmar, afrika selatan, Suriah dan muslim di belahan dunia lainnya yang kini sedang tertindas.
Sikap Ulama Dihadapan Para Caleg Dan Capres
Ulama harus tegas menolak para caleg dan partai yang berjuang untuk demokrasi, pluralisme, liberalisme, sekulerisme meskipun berbaju Islam. Ulama berkewajiban menasehati mereka yang ingin berkuasa tapi tidak memiliki pemahaman Islam. Ulama Harus menasehati mereka yang ingin berkuasa tapi tak memiliki kapabilitas. Saatnya ulama dengan fatwanya mengarahkan umat ini untuk menolak demokrasi dan segala bentuk perundangan kufur dan menyeru umat untuk segera bergerak menuntut penerapan hukum syariah Islam dalam naungan institusi Khilafah Islamiyah. (Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI)