KPK Daerah: Mau Kemana?
Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Demi memulihkan kepercayaan publik, Indonesia harus membuktikan keseriusannya dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Mengacu pada kriteria good governance yang dirumuskan United Nations Development Programme (UNDP), pemerintah harus memiliki karakter transparan, bertanggungjawab, efektif dan berkeadilan, serta jaminan supremasi hukum. Akuntabilitas menjadi prasyarat yang harus dipenuhi pemerintah terutama saat proyek-proyek yang melibatkan sumber daya asing menuntut kepastian itu. Maklum saja, groundbreaking (peletakan batu pertama) 40 proyek infrastruktur MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) periode 2014-2017 sudah dilaksanakan, juga menjelang penerapan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) Desember 2015.
Good governance dipandang sebagai instrumen preventif terhadap tindakan korupsi. Melalui UU No.30/2002 pemerintah mengukuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai katalisator bagi aparat dan institusi lain untuk mewujudkan good and clean governance. Namun dalam perjalanannya KPK dinilai lebih banyak menangani kasus-kasus korupsi di tingkat pusat. Akibatnya, selain terjadi penumpukan perkara di Jakarta, sulit pula bagi pihak-pihak yang beperkara untuk beracara di Ibu Kota. Karena itulah keinginan untuk membentuk KPK daerah amat menguat.
Pada diskusi “Potensi Pendirian Kantor Wilayah KPK” di Yogyakarta, Jumat 28 Maret 2014, Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, mempertimbangkan akan membuka kantor perwakilan di daerah. Daerah yang dibidik adalah Surabaya, Medan, Palembang, Semarang, Banjarmasin, Makassar dan Jayapura. Busyro mengatakan, pentingnya kehadiran KPK di daerah karena era otonomi justru telah melahirkan raja-raja korupsi di daerah. Pernyataan itu didukung Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, yang memaparkan kepala daerah yang ditetapkan tersangka oleh kejaksaan atau KPK berjumlah 318 orang sejak pilkada langsung digelar (INDOPOS, 15/2/2014).
Ekonom UGM, Rimawan Pradipto mengatakan, kehadiran KPK menjadi lebih penting karena kasus korupsi di daerah akan semakin rumit, terutama dari sisi pengelolaan keuangan. Kepolisian dan Kejaksaan selama ini lemah dalam penanganan kejahatan korupsi, karena itu dibutuhkan kemampuan yang lebih mengikat (voaindonesia, 28/3/14). Namun tak semua kalangan akademisi sepakat dengan pembentukan KPK daerah. Prof. Amzulian Rifai, PHd -Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang- dalam tulisannya yang disalin dari Seputar Indonesia 18 Mei 2011- menegaskan ada beberapa sisi kelemahan pembentukan KPK di daerah.
Amzulian mengkuatirkan nasib KPK di daerah ini nanti sama saja dengan lembaga kepolisian dan kejaksaan level daerah yang selama ini memiliki kewenangan dalam bidang tindak pidana korupsi, tetapi kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Tak dapat dipungkiri jika pengaduan kasus korupsi masih terjadi atas dasar sakit hati, dendam, atau terkait dengan politik dan pemerasan. Apalagi KPK daerah hanya berwenang menerima pengaduan tanpa ada kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Resistensi Pemberantasan Korupsi
Tidak hanya kekuatiran tentang masa depan KPK daerah, kinerja KPK (Pusat) pun masih dipertanyakan banyak pihak. Walaupun Ketua KPK, Abraham Samad, berdalih minimnya jumlah personel penyidik-lah yang menyebabkan kinerja KPK tidak optimal dalam menangani kasus-kasus korupsi, namun publik tidak mudah menerima alasan itu. Ketidakpuasan publik mengarah pada tugas-tugas pokok KPK, yakni koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, pencegahan, serta pemantauan.
Koordinasi KPK dengan aparat hukum lainnya amat lemah sehingga muncul kasus Bibit-Chandra yang dipersonifikasi sebagai kasus Cicak vs Buaya (KPK versus kepolisian). Di luar itu semua, masih banyak megakasus yang belum tuntas pengusutannya seperti Bail Out Bank Century dan Korupsi Wisma Atlet Hambalang. Karena itulah aroma tebang pilih amat menguat pada kasus-kasus yang melibatkan kaum elite negeri ini.
Tak berlebihan jika Wakil Ketua MPR RI, Melani Leimena Suharli meminta KPK tidak tebang pilih dan menelusuri dugaan korupsi yang melibatkan elite partai politik. Komentar tersebut disinyalir berkaitan dengan dugaan keterlibatan petinggi partai seperti Sekjen Golkar Idrus Marham dan Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anggota komisi II DPR RI Chairunnisa. Politikus Golkaritu bersaksi di KPK bahwa ada pemberian uang Rp2 miliar dari Sekjen Golkar Idrus Marham kepada Akil Mochtar -saat masih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)- sebagai sogokan terkait sengketa hasil Pilkada Palangkaraya.
Tebang pilih KPK juga ditudingkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam perkara dugaan gratifikasi di Kementerian ESDM. KPK mencegah dua anggota DPR, Sutan Batugana dan Tri Yulianto bepergian ke luar negeri. Sebaliknya dalam kasus korupsi Simulator SIM, sejumlah pihak dibiarkan bebas, termasuk lima anggota Komisi III DPR yang diduga menerima aliran dana Simulator SIM.
Demikianlah adanya. Harapan luar biasa yang dlekatkan pada KPK, menghadapi hambatan resistensi elite penguasa. Jangankan di tingkat daerah –yang kekuasaan primordial ‘raja-raja’-nya lebih dominan-, di tingkat pusat dengan struktur masyarakat yang lebih egaliter-pun pemberantasan korupsi menemui berbagai rintangan. Dinasti politik berkembang subur di banyak daerah, dan menyebabkan mereka menguasai aset dan sarana vital daerah, termasuk kemampuan menyetir peraturan dan aparat penegak hukum. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama” menjadi alat penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. Perilaku memperkaya diri sendiri bukan lagi perkara haram, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Begitulah tabiat kekuasaan yang disetir oleh keserakahan sebagaimana jargon yang diungkapkan oleh sejarawan dan politikus Inggris, Lord Acton. Menurut Acton “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely; Great men are almost always bad men” ( “Kekuasaan cenderung berlaku korup, dan kekuasaan mutlak akan mengkorup secara mutlak, (karena) tokoh utama hampir selalu orang jahat”). Jelas ungkapan itu berlaku hanya pada sistem yang buruk. Sistem busuk dan membusukkan karakter baik seseorang. Ya, demokrasi menjadi biang kerok aliran pemujaan pada materi yang pada ujungnya resisten pada upaya penegakan kebenaran.
Demokrasi Suburkan Korupsi
Tak dapat dipungkiri, bahwa mekanisme demokrasi memberi andil dalam menyuburkan korupsi. Pada setiap proses pemilihan umum, peluang korupsi amat terbuka lebar. Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Girindra Sandino berpendapat ada sejumlah titik rawan dalam proses produksi logistik kebutuhan pemilu. Dalam penetapan Data Pemilih Tetap (DPT), pejabat daerah (pencatatan sipil) di berberapa wilayah memungut biaya dari petugas KPU. Kerawanan serupa terjadi semisal pada pengadaan tinta sidik jari yang harus memenuhi ketentuan Peraturan KPU No. 16 Tahun 2003 yang mengamanatkan tinta harus berwarna ungu dan/atau biru tua, harus halal, tidak menimbulkan iritasi/ alergi kulit, memiliki daya lekat kuat, tahan selama 24 jam dan tahan terhadap proses pencucian dengan sabun, deterjen, alkohol maupun pembersih lainnya. (hukumonline, 15/2/2014).
Belum lagi potensi korupsi yang terjadi di badan legislatif yang berpotensi mengurangi akuntabilitas dalam pembentukan kebijaksanaan. Wakil Ketua DPR, Pramono Anung mengatakan peristiwa korupsi di DPR tidak hanya terjadi di badan anggaran tapi ternyata juga terjadi pada proses legislasi. Kondisi itu diperparah dengan korupsi terjadi di sistem pengadilan sehingga menghentikan proses hokum terhadap tersangka korupsi.
Demokrasi menjadi pangkal korupsi karena sistem demokrasi membentuk sistem politik yang sangat mahal. Hal itu dikarenakan dalam demokrasi selalu terjadi transaksi jual beli kekuasaan dengan suap dan korupsi. Menurut data Mendagri, dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya adalah gubernur. Demi menjaring loyalitas semu dari para pemilih, partai melakukan kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Untuk mengembalikan modal politik ini terjadilah transaksi jual beli kekuasaan dengan suap menyuap dan korupsi. Wajar jika survei Transparency International Indonesia (TII) menempatkan partai politik menjadi lembaga keempat terkorup di Indonesia setelah kepolisian, parlemen dan peradilan.
Pengamat ekonomi Rizal Ramli menyatakan, “Praktik korupsi dari pusat hingga daerah semakin meluas karena demokrasi di negara kita sudah mengarah pada demokrasi kriminal. Segala sesuatunya diukur dengan uang. Para pemimpin akhirnya dicetak menjadi mesin pengumpul uang oleh masing-masing partai yang mengusungnya.” Lebih lanjut Rizal Ramli mengatakan, saat ini untuk maju menjadi calon bupati/wali kota dibutuhkan modal R p5-10 miliar, sedangkan calon gubernur setidaknya harus menyediakan uang Rp50-500 miliar. Padahal kasus korupsi pada pejabat dan aparat hukum, karut marut otonomi daerah, liberalisasi pertambangan, tidak cukup diselesaikan oleh lembaga pengawas. KPK pun masih terkesan tebang pilih selain kualitas SDM yang tidak steril dari aroma kekuasaan dan uang. Karena, semua bermuara pada demokrasi yang membebaskan.
Pemberantasan Korupsi Demi Swastanisasi
KPK sebagai bagian masyarakat sipil dalam sistem tata kelola pemerintahan yang baik, menjadi komponen penting untuk menjaga sistem demokrasi. Proyek demokratisasi yang sudah diperjuangkan Barat –sebagai pemilik asli Kapitalisme- telah berkembang luas melalui mekanisme good governance. IMF , World Bank dan World Trade Organization (WTO) memiliki peran utama dalam memformalkan peran tersebut bagi tiap negara. Ketika memberikan hutang, IMF dan World Bank memaksa pemerintah negara-negara Asia dan Afrika untuk melakukan asistensi di badan pemerintahan dan pelatihan pejabat publik yang diberi nama institution building. Baru pada tahun 1990-an konsep ini mengalami revitalisasi menjadi institutional capacity building dibawah rubrik governance for development. Gagasan tersebut digulirkan dalam rangka mendorong reformasi ekonomi dan demokratisasi politik.
Berbeda dengan keindahan namanya, good governance sejatinya adalah upaya sistematis untuk menjerumuskan negara-negara dalam perdagangan bebas. Padahal sudah jelas, sejak Indonesia menerapkan konsep ekonomi neoliberal, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi. Bank Dunia, dalam rangka memperlakukan tata pemerintah yang lebih baik sebagai persyaratan ‘bantuan pembangunan’ menerapkan Structural Adjustment Program/SAP (program penyesuaian struktural). Indonesia ikut terseret aplikasi tersebut pada tahun 1997 ketika pemerintah dipaksa menjalankan dua resep ala IMF, yakni program penyesuaian struktural dan kebijakan deregulasi. Akibatnya, pemerintah secara tidak langsung telah menyetujui perampokan besar-besaran pada kekayaan negara.
Inilah yang tengah terjadi di Indonesia. Konsep good governance diterapkan dengan tujuan agar hubungan pemerintah baik dengan masyarakat maupun dengan pelaku bisnis dapat berlangsung secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel. Secara ambisius, dunia internasional meramalkan Indonesia bersama Meksiko, Nigeria, dan Turki (MINT) sebagai calon raksasa ekonomi dunia. MINT diperkirakan akan menggeser pesona Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC). Karena itu Indonesia ‘dipaksa’ mengejar pertumbuhan ekonomi dua digit (padahal proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah untuk 2014 adalah 5.8 persen).
Indonesia dianggap ‘layak’ menjadi raksasa ekonomi baru, mengingat potensi SDA, SDM, geografis, kondisi politik dan sosial budaya. Namun Indonesia masih memiliki masalah dalam desain infrastruktur, hanya terpusat di Jawa, pembangunan dijalankan sesuai rezim penguasa, serta birokrasi dan manajemen pemerintahan yang buruk. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan perencanaan matang (master plan) untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi untuk mendukung transformasi menjadi negara maju pada tahun 2025. Sejatinya, pemerintah yang dikendalikan kekuatan ekonomi global menginginkan untuk menumbuhkan kelas menengah yang lebih kuat. Kelas menengah inilah yang akan menjadi jaminan bahwa negara dan warganya akan memiliki daya beli yang lebih tinggi. Ujung-ujungnya, semua barang dan jasa yang ditawarkan korporasi global akan dibeli dan dikonsumsi oleh bangsa yang tidak dimandirikan pemerintahnya sehingga tidak mampu berproduksi dengan baik.
Demi mewujudkan rencana tersebut, pemerintah diyakinkan bahwa anggaran yang dimiliki negara terbatas sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur bagi perekonomian yang berkembang pesat. Karena itu, mekanisme good governance memfatwakan penyediaan infrastruktur harus dilakukan melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership /PPP). Untuk memancing ketertarikan swasta dalam menanamkan modalnya, pemerintah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi insentif bagi dunia usaha dalam membangun kegiatan produksi dan infrastruktur berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Pada kondisi inilah peran KPK amat diperlukan, mengingat peluang korupsi bisa terjadi di setiap lini transaksi dunia usaha, apalagi jika melibatkan jasa pelayanan publik.
Korupsi jelas menimbulkan kekacauan dalam pelayanan publik dengan cara mengalihkan investasi pada proyek-proyek yang sogokan/imbalan yang tersedia lebih banyak. Akibatnya, syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain tidak terpenuhi lagi. Di sisi lain, korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan, infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan dengan gamblang realitas tersebut. Pada tahun 2013, Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara. Indeks itu disusun berdasarkan data dari Bank Dunia, pebisnis, pakar dari negara-negara tertentu dan jejak pendapat pada rakyat negara itu yang berada di dalam dan luar negeri. Peringkat Indonesia yang amat buruk memberi gambaran tentang betapa banyak kasus penyogokan dan proses memperkaya diri yang dilakukan anggota pemerintahan, aparat negara dan institusi umum lainnya.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa ciri khas korupsi di Indonesia, antara lain bersifat integralistik, yaitu dipraktekkan begitu menyatu antara penguasa dan pengusaha. Penguasa yang berkolusi dengan pengusaha tidak saja di tingkat rendahan dan menengah, tetapi terutama sekali di tingkat atas. Sebenarnya hal itu tidak hanya di Indonesia. Korupsi politis ada di banyak negara, yang ditandai dengan begitu sering kebijaksanaan pemerintah termasuk politikus yang duduk dalam parlemen menguntungkan pemberi sogok, bukan kepentingan rakyat. Pemerintah dan politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil, apalagi masyarakat kebanyakan selaku konsumen barang dan jasa.
Tabiat penguasa dan pengusaha seperti itulah yang menuntut peran institusi watch dog seperti KPK. Pasar dan penanam modal –yang belum terlibat korupsi dan kolusi- amat menantikan jaminan tersebut demi keuntungan ekonomis karena mereka telah menanam proyek yang melibatkan uang dalam jumlah besar. Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Hediyanto W Husaini, Rabu 5 Maret 2014, menyatakan, jumlah badan usaha jasa konstruksi asing dalam tiga tahun terakhir melonjak cukup tinggi. Pada tahun 2011 jumlah keseluruhan kontraktor asing di Indonesia sebanyak 253 perusahaan. Angka ini meningkat pada 2012, menjadi 275 kontraktor dan pada 2013 menjadi 302 perusahaan. Sedangkan tahun 2014 menjadi tahun krusial karena 40 proyek infrastruktur MP3EI yang diprioritaskan pemerintah dengan nilai investasi Rp 337 triliun siap dimulai.
Begitulah realitas kehidupan dalam sistem demokrasi kapitalis yang melakukan pemujaan pada materi. Akan sangat sulit membasmi korupsi pada negara yang masih memberi ruang bagi makelar politik yang menjual harta benda masyarakat pada cukong serakah. Wajar jika Joseph E. Stiglitz -peraih Nobel ekonomi tahun 2001, penasihat ekonomi presiden AS pada masa Bill Clinton- melukiskan realitas itu dalam esainya The Globalization of Protest. Stiglitz menyatakan bahwa sistem demokrasi ini telah gagal dan keyakinan proses electoral (pemilu) ini tidak bisa membetulkan kesalahan karena para kapitalis (pengejar rente kaya) menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi legislasi demi melindungi,meningkatkan kekayaan mereka dan mempengaruhi arah politik. Lantas, masihkah berharap pada sistem demokrasi busuk dan membusukkan ini?
Penyelesaian Tuntas Masalah Korupsi
Persoalan politik, ekonomi ataupun korupsi yang membelit negeri ini seharusnya segera diakhiri. Pembentukan KPK daerah atau revitalisasi kerja KPK (Pusat) tidak akan menyelesaikan masalah korupsi secara tuntas karena korupsi menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalistik. Karena itu, saatnya mencampakkan sistem demokrasi dan terapkan solusi tuntas untuk mencabut korupsi hingga ke akarnya. Solusi hakiki hanya bisa terealisir melalui tatanan sistem yang berasal dari Allah SWT, yakni syariat Islam dan Khilafah Islam.
Syariat Islam yang diterapkan dalam Khilafah Islam akan bisa memberantas korupsi ini secara tuntas melalui integrasi tatanan pemerintahan dan kenegaraan yang komprehensif. Caranya, pertama, negara Khilafah akan memberikan sistem penggajian yang layak bagi aparatur negara dan keluarganya demi mencegah kecurangan. Kedua, negara Khilafah melarang aparat pemerintah menerima suap dan hadiah. Ketiga, menerapkan perhitungan kekayaan (pembuktian terbalik) untuk menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Bila gagal, pejabat itu dipaksa menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua kekayaan itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Keempat, keteladanan pemimpin dalam melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut kepada Allah. Kelima, menjamin kepastian hukum dengan memberi hukuman setimpal yang sekaligus berfungsi sebagai pencegah (zawajir), sehingga membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam sistem sanksi Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Keenam, pengawasan masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerin-tahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.
Demikianlah cara syariat Allah menuntaskan problem korupsi yang telah berurat akar dalam kehidupan anak Adam. Tanpanya, mustahil keserakahan manusia terhadap harta akan diberikan solusi yang menentramkan seluruh kalangan, baik rakyat ataupun penguasanya. []